Di Balik Fort Rotterdam
Benteng berusia ratusan tahun ini masih berdiri kokoh, seakan menegaskan bahwa dirinya telah berhasil melewati berbagai zaman dan peradaban.
SENJA mulai merayap di kota Makassar. Tak jauh dari pelabuhan, beberapa muda-mudi asyik bercengkrama di atas sebuah tembok besar. Belaian lembut angin laut memanjakan mereka yang sesekali berfoto-ria. Beberapa pedagang ramai berjualan di taman yang terletak berhadapan dengan tembok benteng.
Tembok besar yang tersusun dari bebatuan padas itu berdiri memanjang, mengelilingi areal seluas tiga hektare lebih. Di salah satu sisi, tepat di atas sebuah gapura yang jadi pintu masuk, terdapat tulisan “Fort Rotterdam”.
Benteng Fort Rotterdam, sering disebut Benteng Ujung Pandang –ada juga yang menyebutnya Benteng Penyu dan Kota Towaya– lagi berbenah. Di dalamnya, selain pengunjung dan pegawai Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar (BP3M), banyak kuli bangunan. Mereka sedang mengerjakan revitalisasi bangunan-bangunan besar di dalam kompleks benteng. “Kalau rencana pemerintah provinsi, ini (rampung) sampai 2015. Revitalisasinya bukan hanya lingkungan dalamnya, tapi juga lingkungan di luar benteng,” ujar Muhamad Natsir, pegawai BP3M yang ditemui Majalah Historia Online.
Bangunan-bangunan besar itu merupakan peninggalan Belanda. Jumlahnya ada 15 buah –tapi menurut Natsir ada 16. Selain bangunan, di dalam kompleks benteng juga terdapat taman yang luas. Fort Rotterdam merupakan saksi bisu perkembangan Makassar. Peranannya sangat penting. Benteng ini merupakan satu dari beberapa benteng yang dibangun setelah ketegangan Makassar-VOC (kongsi dagang Belanda) meningkat.
Para pedagang Belanda kala itu tertarik dengan pertumbuhan pesat Makassar sejak akhir abad ke-16. Perwakilan dagang dari berbagai negara ada di sana. Jalinan niaga, diplomatik, dan militernya juga sangat luas. Mau tak mau, “Dutch East India Company yang mengetahui hal itu harus memutus Makassaragar monopoli cengkeh dan pala mereka di Maluku berjalan efektif,” tulis Anthony Reid dalam “The Fall of Mighty Makassar”, dimuat dalam antologi Sulawesi Indonesia karya Kal Muller (editor).
VOC menyerang perahu-perahu dagang Makassar di perairan Maluku dekat Ambon. Penguasa Makassar memprotes perwakilan VOC di sana tapi tak diindahkan. VOC malah mendesak Sultan Alauddin agar tak menjual beras ke orang Portugis di Malaka. Seorang utusan VOC dari Maluku tiba di Makassar tak lama kemudian. Pesannya kepada raja Makassar: raja diharapkan melarang orang Makassar berniaga di Maluku. Sultan Alauddin pun marah. “Negeri saya terbuka untuk semua bangsa dan tidak ada perlakuan istimewa untuk Tuan, sebagaimana juga untuk orang Portugis,” kata sultan sebagaimana disitir Edward Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim.
Tak terima atas jawaban sultan, VOC melakukan serangan yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Enckhuyzen –merujuk kapal yang dinahkodai Dirck de Vries dan berlabuh di Pelabuhan Makassar– pada 28 April 1615. Ketika acara malam ramah-tamah antara para awak kapal dan para pembesar serta bangsawan Makassar di kapal itu, tanpa diduga pihak VOC melucuti semua persenjataan para undangan. Perlawanan terjadi. Korban jiwa berjatuhan. Syahbandar Makassar Encik Husen dan dua anggota keluarga raja ditawan lalu dibawa ke Banten.
Makassar lalu menutup perwakilan VOC di sana. Mereka juga menggiatkan pembangunan benteng di pesisir-pesisir kota. Yang pertama adalah Benteng Tallo di perbatasan utara (selatan muara Sungai Tallo) dan Benteng Panakkukang di perbatasan selatan (selatan muara Sungai Jeneberang). Menyusul kemudian Benteng Ujung Pandang, Barokbaso, Barombong, Garasi, Mariso, dan Ujung Tanah –hanya Benteng Ujung Pandang yang kini masih berdiri kokoh. Di dalam benteng-benteng inilah perdagangan berlangsung.
Semasa pemerintahan Sultan Hasanuddin, “Benteng Ujung Pandang pernah dijadikan sebagai pusat persiapan perang dan upacara membasuh panji-panji Kerajaan Gowa dengan darah untuk menghadapi VOC,” tulis leaflet keluaran Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.
Ketika Perang Makassar pecah (1666-1667) dan akhirnya VOC berhasil memaksakan penandatanganan Perjanjian Bongaya yang merugikan Makassar, Benteng Ujung Pandang lepas dari tangan Makassar. Pasal 11 perjanjian itu menyatakan, Makassar harus menyerahkan Benteng Ujung Pandang berikut perkampungan dan lingkungannya kepada VOC.
Di tangan Laksamana Cornelis Speelman, pemimpin ekspedisi Makassar yang kemudian jadi gubernur jenderal, benteng yang dibangun kali pertama pada 1545 ini diganti namanya menjadi Fort Rotterdam –kota kelahiran Speelman. Perbaikan dilakukan di sana-sini. Speelman juga mengubah benteng dan kawasan sekitarnya menjadi kota baru. Cakupannya meliputi benteng pertahanan, kota dagang yang dinamakan Vlaardingen di utara benteng, dan perkampungan di sekitar Vlaardingen.
Penguatan benteng juga dilakukan. Yang paling mencolok, penggunaan batu padas berbentuk balok –sebelumnya tembok benteng hanya menggunakan bahan gundukan tanah, lalu batu bata– dan pembangunan lima bastion atau sudut pertahanan (Amboina, Bacan, Bone, Buton, Mandarsyah). Tiap bastion berterap tiga. Tangga menjadi alat untuk naik ke atasnya. Jenis tangganya terbagi dua: yang berjenjang untuk personel dengan senjata ringan, sementara yang datar untuk meriam dan senjata berat. “Itu kan sebetulnya fungsi-fungsi dalam kaitannya dengan pertahanan,” ujar Natsir.
Di depan pintu masuk sebuah bangunan di pojok Bastion Bacan terdapat sebuah papan petunjuk bertuliskan “Ruang Tahanan P. Diponegoro”. Di tempat inilah konon Pangeran Diponegoro dulu ditahan. Setelah dibuang ke Manado, Diponegoro dipindahkan ke Makassar. “Berdasarkan arsip, waktu di Makassar dia ditahan di Fort Rotterdam. Tapi itu hanya visualnya. Kita buatkan biar lebih mudah. Tempat pastinya di mana, tak ada yang tahu,” ujar Natsir.
VOC, kemudian juga pemerintah Hindia Belanda, juga membangun gedung-gedung bergaya gothik yang masih berdiri hingga kini. Satu di antaranya lalu dipakai sebagai kantor gementee (kotapraja) Makassar. Gedung itu sekarang sudah berubah atap depannya.
Fungsi Benteng Ujung Pandang sebagai pusat komando pertahanan, perdagangan, pemerintahan, dan permukiman terus berlanjut hingga kekuasaan Hindia Belanda berakhir. Setelah itu, benteng itu menjadi Kantor Pusat Penelitian Pertanian dan Bahasa di masa Jepang, markas tentara KNIL pascaproklamasi hingga 1950, lalu permukiman hingga 1969. Baru tahun 1970 benteng itu diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan guna dipelihara. Empat tahun kemudian, panggung pertunjukan seni dibangun dan Benteng Ujung Pandang ditetapkan sebagai Pusat Budaya Sulawesi Selatan sekaligus tempat wisata budaya.
Di dalam benteng, terdapat Museum Lagaligo yang diresmikan tahun 1970. Sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda pernah mendirikan museum serupa pada 1938, dengan mendirikan Celebes Museum. Letaknya di bekas kediaman Cornelis Speelman. Kemudian ditutup psda saat Jepang masuk.
Fort Rotterdam masih kokoh berdiri hingga kini. Tak lagi berfungsi sebagai pusat pertahanan, politik, niaga, tapi sebagai “pusat sejarah” kota Makassar. Fort Rotterdam merupakan bukti visual yang masih tersisa dari dinamika sebuah peradaban.
Revitalisasi, termasuk mengembalikan kanal di luar benteng yang sempat hilang, dimaksudkan untuk tetap menjaga kelestarian Fort Rotterdam beserta kisah-kisah di baliknya. “Versi catatan sejarahnya, ada peta lama tahun 1800-an yang kita pegang, ada data tentang kanal,” ujar Natsir. “Jadi kita mengembalikannya berdasarkan catatan riil yang ada pada saat ditemukan.”
Ratusan tahun sudah usia Fort Rotterdam. Keanggunannya masih terjaga. Tak berlebihan bila wartawan New York Times Barbara Crossette melukiskannya sebagai, “the best preserved Dutch Fort in Asia.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar