Batu Akik dari Zaman Purba
Manusia purba menjadikan batu akik sebagai perhiasan manik-manik untuk bekal kubur.
DEMAM batu akik melanda. Orang-orang membicarakan, mengenakan, dan saling menunjukkan batu akik mereka. Penjual sekaligus pengasah batu akik bermunculan di pinggir-pinggir jalan. Media tak henti memberitakan batu akik. Tren baru? Tidak.
Batu akik sebagai perhiasan sudah digunakan manusia purba pada zaman logam sekira 3000-2000 SM. Pada tingkat perundagian ini, menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia Volume 1, mereka membuat manik-manik (perhiasan kalung) dari bermacam-macam bahan dengan berbagai bentuk dan warna, antara lain batu akik (komalin), kaca dan tanahliat yang dibakar.
Mingguan Djaja, 1964, mencatat bahwa batu akik dan batu-batu lain yang dianggap menarik memainkan peran penting dalam kehidupan rohaniah manusia-manusia prasejarah. “Batu setengah mulia yang diasah sebagai manik sering dijumpai sebagai bekal kubur bagi manusia nirleka itu.”
Pada masa Hindu-Budha, batu akik juga menjadi salah satu benda yang dikuburkan dalam candi –berasal dari Candika, salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut. Menurut arkeolog R. Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, yang dikuburkan (cinandi) di situ bukanlah mayat atau pun jenazah, “melainkan bermacam-macam benda, seperti potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik, yang disertai dengan saji-sajian.”
Kerajaan-kerajaan Nusantara menjadikan batu akik sebagai salah satu komoditas perdagangan. Barang-barang yang diekspor kerajaan Aceh, menurut sejarawan Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, antara lain perhiasan bebatuan seperti batu mulia, akik, batu ambar, dan hablur.
Batu akik menjadi perhiasan yang lazim bagi masyarakat Nusantara setidaknya sejak 1930-an. Hal ini diketahui dari naskah berbahasa Jawa, Kawruh Makelar Barang Kina, karya P. Rubadi Wangsadimeja, yang tinggal di Ambarawa. Naskah ini menceritakan berbagai kisah tentang benda-benda yang umum diperjualbelikan sekira 1930 di daerah Kedu, Jawa Tengah. Masing-masing cerita dilengkapi dengan gambar-gambar sebagai ilustrasi.
“Benda-benda seperti dhuwung atau keris, batu akik, dan kulit binatang yang dipercaya mengandung kekuatan magis, sangat digemari dan diburu oleh para peminat,” tulis T. E. Behrend dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3-A. "Para pedagang atau makelar sebagai orang yang menawarkan barang-barang tersebut, berupaya mendapatkannya dari masyarakat, untuk kemudian dijualnya kembali dengan harga yang sangat tinggi.” Naskah ini menunjukkan pada masa itu batu akik telah menjadi barang yang digemari masyarakat.
Dalam Lembaga Budi, terbit tahun 1940, Buya Hamka, menyinggung hobinya mengoleksi tongkat, sekaligus batu akik yang lagi tren. “Berapa banyaknya tongkat yang harganya sampai Rp200, seketika musim bertongkat! Berapa banyaknya cincin akik yang berharga beribu rupiah, seketika musim bercincin,” kata Hamka. Baca juga: Hamka dan Tongkatnya
Tambahkan komentar
Belum ada komentar