Ritual Panen Raya Kerajaan Adat Marusu di Sulawesi Selatan
Ungkapan syukur atas panen raya (Katto Bakko) yang dilakukan secara gotong royong.
SABTU malam, 19 Maret 2016, di Balla Lompoa (rumah adat kerajaan Marusu) Kabupaten Maros, berkumpul kerabat kerajaan, masyarakat dan perwakilan petani. Mereka duduk bersama, tak ada kursi yang lebih tiggi untuk sang raja, semua sama rata.
Raja Adat Marusu, Andi Abdul Waris Karaeng Sioja, bahkan menjadi pembawa acara sekaligus pembicara utama malam itu. Bahkan sebelum pertemuan itu dimulai, sang raja merapikan meja jamuan, menata meja, dan membersihkan lantai. “Raja dari dulu itu nak, tugasnya melayani. Bukan memerintah,” katanya.
Setelah rembuk bersama, suara gendang, pui-pui (alat musik tiup), dan gong dibunyikan. Seorang pinati (pemimpin ritual) membawa nampan berisi dupa. Dia duduk dengan takzim, membaca doa, lalu menyentuh daun sirih yang telah digulung sedemikain rupa hingga membentuk huruf arab Lam, Alif dan Hu (Allahu).
Sang raja, duduk di bagian lain. Kerabat kerajaan tak ada yang mendekat. Malam itu, prosesi begitu hikmat. Namanya appabattu, yaitu ritual untuk ucapan syukur pada yang maha kuasa. Setelah itu, sang pinati bersama sang raja membawa gulungan sirih ke lantai dua rumah. Di letakkan berdekatan pajekoang (alat bajak sawah sebagai pusaka kerajaan).
Lantai dua rumah merupakan tempat sakral dan penuh rahasia bagi keluarga kerajaan. Masyarakat umum tak diperkanankan menapaki tangga lantai itu. Tapi, di ruang utama Balla Lompoa, tempat prosesi berlangsung, saya melihat sang raja dari jendela sirkulasi kecil di lantai duanya. Mengangkat tangan bertakbir. Sang raja salat dua rakaat.
Prosesi itu berlangsung sekitar 30 menit. Suara gendang, gong dan pui-pui pun tak boleh terputus. Pemainnya bermandi keringat dan semua orang duduk dengan hikmat menunggu.
Subuh hari berikutnya, sekitar pukul 04.00, gendang pun kembali ditabuh. Namanya appabangung (membangunkan masyarakat). Saat azan subuh, gendang dihentikan. Pukul enam, masyarakat yang berkumpul akan menuju torannu (gelar untuk sawah kerajaan)dipimpi pinati. Orang-orang ini membawa katto (ani-ani).
Sang pinati akan memulai memotong pucuk padi. Lalu diikuti masyarakat. Ada sekitar seratusan orang memadati petak sawah seluas 10 are itu. Dari mulai anak-anak, orang dewasa, hingga orang tua, laki-laki dan perempuan turun bersama.
Suasana pagi di sawah itu benar-benar ramai. Inilah inti dari ritual katto bakko (panen raya). Masyarakat bergotong royong, ada yang memotong padi, ada yang mengumpulkan, ada pula yang memilah. Beberapa lainnya membuat bakko (padi yang digulung besar) diikat menggunakan rotan.
Menjelang duhur, dua bakko besar dan empat belas bakko kecil pun sudah selesai. Puluhan masyarakat dengan gembira mengarak hasil panen itu menuju Balla Lompoa, yang jaraknya sekitar satu kilometer. Jalanan menjadi ramai. Orang-orang berseru.
Katto Bakko dilakukan kerajaan adat Marusu setiap tahun, sebagai tanda dimulai panen. Sebelum ritual ini dilaksanakan sawah-sawah yang berada di sekitar dan dalam kawasan adat Marusu tidak dibolehkan memanen. “Jadi di sawah kerajaan, kita selalu menanam duluan, agar panen duluan. Jadi nanti tak ada sawah masyarakat yang masak duluan,” kata Karaeng Sioja.
Ritual panen ini berpasangan dengan ritual menanam (appalili). Di satu sisi, sawah kerajaan yang menanam duluan akan menjadi penanda apakah ada hama atau tidak. “Jadi sawah kerajaan menjadi pembelajaran,” lanjut Karaeng Sioja.
Setelah padi itu menapaki anak tangga Balla Lompoa, maka kerabat kerajaan akan memilahnya menjadi beberapa ikatan-ikatan kecil. Ikatan itu kemudian hari akan dibagikan pada keluarga atau masyarakat yang kurang mampu. Dan malam selanjutnya, sebagai penutup ritual panen raya, digelar pa’dendang (menumbuk padi dalam lesung dengan iringan musik). “Itu sebagai sarana hiburan juga. Jadi semua orang bergembira,” kata Karaeng Sioja.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar