top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Membuka Bab Sejarah Jilbab

Sempat dianggap aneh bahkan dilarang, memakai jilbab kini menjadi bagian dari keseharian.

Oleh :
14 Mar 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Suatu hari, aktris senior Ida Royani merasakan keganjilan ketika berbelanja di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan. Orang-orang menatapnya dengan pandangan aneh.


Tapi, pasangan duet Benyamin Sueb itu tak peduli. Dia menikmati shopping time-nya. Ida mafhum orang-orang kaget terhadap penampilannya. Hal itu membuatnya tetap enjoy ketika merasakan pengalaman serupa di sebuah acara pernikahan yang dia datangi.


"Tahun 1978 itu aku pergi ke pesta kawin. Nggak ada satu pun orang pakai jilbab, cuma aku sendiri. Orang ya pada aneh ngelihatin," ujarnya kepada Historia.id ketika ditemui di rumahnya, Cinere, Jakarta Selatan.


Ida mulai memakai jilbab pada 1978 ketika banyak orang belum tahu apa itu jilbab. Keputusan itu membongkar citranya di masyarakat. Saat kerap tampil bareng Benyamin, penampilan Ida bak koboi: bawahan hotpants, baju yukensi, dan sepatu lars. Maka ketika memutuskan berjilbab, Ida berhenti menyanyi.


Anak Kandung Revolusi


Hingga 1970-an, jilbab –pakaian muslimah yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan– belum populer di Indonesia. Kebanyakan perempuan mengenakan kerudung, kain tipis panjang penutup kepala yang disampirkan ke pundak, dengan leher masih terlihat. Selain Ibu Negara Fatmawati, istri-istri ulama mengenakan kerudung.


" Kelompok Islam sejak awal ada di Indonesia sampai tahun 1970-an, kerudung yang populer," kata Samsul Maarif, peneliti di Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM).


Jilbab baru mulai dikenal pada 1980-an. Hal itu bermula dari pengaruh Revolusi Iran, 1979. Penyebarluasan berita kemenangan Ayatollah Khomeini yang berhasil mendirikan Republik Islam Iran mendorong rasa solidaritas dunia Islam, termasuk Indonesia.


Pada 1980-an, tulis Wiwiek Sushartami dalam disertasinya di Universitas Leiden yang berjudul Representation and Beyond: Female Victims in Post Suharto Media, kelompok diskusi informal di kalangan pelajar dan mahasiswa muslim mulai berkembang dibarengi dengan penerbitan buku-buku Islam.


Semangat Revolusi Iran yang anti-Barat masuk ke Indonesia dan menyebar lewat kelompok diskusi mahasiswa Islam. Hal itu mendorong para aktivis Islam menunjukkan identitas keislaman mereka, salah satunya dengan penggunaan jilbab. "Setelah Revolusi Iran, identitas Islam hadir bukan hanya merespons konteks nasional tapi internasional," kata Samsul.


"Gerakan kampus mulai berkembang akibat pengaruh gerakan Islam dari Timur Tengah, khususnya Persaudaraan Islam (Islam Brotherhood) makin merebak tahun 1980-an. Itu yang memopulerkan model jilbab," kata Samsul.


Makin populernya penggunaan jilbab membuat pemerintah, yang sedang galak terhadap Islam, melarang penggunaannya di sekolah umum lewat SK 052/C/Kep/D.82. Keputusan itu memicu protes dari para cendekiawan dan aktivis Islam.


Di sisi lain, pelarangan itu justru kian mempopulerkan jilbab. "Jilbab salah satu wujud pemberontakan di era Orde Baru. Menjadi perlawanan identitas Islam di nasional juga internasional," kata Samsul.


Baru pada 1991 pemerintah mengizinkan kembali penggunaan jilbab di sekolah umum. Hal itu tak bisa dilepaskan dari mendekatnya Soeharto ke kalangan Islam setelah "pecah kongsi" dengan Benny Moerdani.


Jilbab Era Reformasi


Pasca Reformasi, ketika pemaknaan atas identitas keislaman makin beragam dan mendapat ruang di muka publik, komersialisasi pun memasuki jilbab. Sebagai bagian dari sebuah mode, model jilbab dan pakaian muslim berkermbang pesat mulai jilbab segi empat sampai burka (pakaian muslimah bercadar).


"Karena terbukanya kondisi pasca Reformasi, kehadiran jilbab menjadi politik identitas yang memfasilitasi munculnya berbagai ekspresi. Artinya, banyak kelompok punya berbagai cara mengekspresikan identitas keislamannya, mulai dari yang politis sampai untuk kesalehan, atau yang jilbabnya besar sampai cadar," lanjut Samsul.


Meski masih memegang arti penting secara politis, jelas Wiwiek, wujud, praktik penggunaan, dan motif penggunaan jilbab sudah beragam. Jilbab tak lagi sebatas simbol pengabdian terhadap keyakinan beragama dan perlawanan pada suatu rezim, ia juga hadir sebagai ekspresi status kelas dan kesadaran mode.


"Kalau dulu awal 1980-an yang jualan jilbab masih jarang. Di Sarinah, Thamrin baru aku. Sekarang banyak banget. Sekarang juga banyak anak muda pakai kerudung. Kalau dulu, orang pakai kerudung disangka norak, kepalanya kutuan. Wah, macam-macam," kata Ida Royani yang memelopori bisnis busana muslim.



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page