Kala Hantu Pindah ke Kota
Kalau dulu hantu muncul di kuburan, pohon, hutan, atau tempat sepi, kini mereka muncul di kota.
SEBUAH kuburan meletus. Bersamaan dengan keluarnya asap yang mengikutinya, sebuah pocong perlahan muncul dari dalam kuburan itu. Ia lalu melompat. Dua pocong lain sudah menunggu, satu di pohon, satu lagi berdiri dekat kuburan.
Salim (diperankan Benyamin S.) dan warga desa yang sedang duduk di warung kopi bergidik ketakutan melihat kejadian itu. Mereka lari tunggang-langgang setelah pocong yang melompat-lompat mengejar mereka.
Adegan dalam film Setan Kuburan (1975) itu memperkuat pandangan mengenai kuburan, pohon, dan tempat alami seperti telaga atau danau sebagai tempat favorit kemunculan hantu. Pandangan itu tak hanya terdapat dalam film. Lagu “Rintihan Kuntilanak” karya The Panas Dalam, misalnya, liriknya juga mengungkapkan pandangan serupa. “Malam sunyi kusendiri, duduk sepi di atas pohon,” demikian penggalan lirik lagu tersebut.
“Film dulu (1980-an, red.) mencoba mengangkat sesuatu yang ada dalam masyarakat berdasarkan cerita rakyat, misalnya,” kata Suma Riella Rusdiarti, dosen sastra Prancis di Universitas Indonesia yang menulis disertasi tentang "Kaidah, Makna Das Unheimliche, dan Konstruksi Nilai Kajian Genre Atas Empat Film Horor Rumah Angker Indonesia."
Baca juga: Khazanah Hantu Indonesia
Ada kecenderungan film horor tahun 1970-an hingga 1980-an menjadikan pohon, danau, atau kuburan sebagai tempat kemunculan hantu meski ada juga yang menjadikan rumah angker sebagai seting lokasi seperti film Cinta Berdarah (1989).
Pemilihan lokasi kemunculan hantu tersebut jelas bukan tanpa sebab. Ia berangkat dari tradisi-budaya beragam etnis di Indonesia. Dalam kebudayaan Jawa, misalnya, ada tempat-tempat yang dianggap keramat dan dikuasai makhluk gaib. “Orang Jawa percaya Tuhan telah memberikan tempat pada mereka yang berbeda. Hutan, pohon besar, atau tempat-tempat wingit (sakral, red.)," kata Prapto Yuwono, dosen sastra Jawa Universitas Indonesia.
Bagaimana kemunculan hantu di kuburan juga dikisahkan antara lain oleh Kidung Sidumala. Selain menyebut pemakaman Setra Ganda-mayu, kidung itu juga melukiskan para hantu bertengger di pohon kepuh dan randu.
Baca juga: Pengabdi Setan Tanpa Klenik
Namun, lokasi kemunculan hantu berubah seiring bergantinya zaman. Film-film horor yang diproduksi tahun 2000-an ke atas cenderung menampilkan hantu-hantu yang muncul di tempat-tempat publik. “Ada perpindahan lokasi hantu, dulu di pohon sekarang di apartemen, terowongan,” kata Riella.
Pergantian tempat kemunculan hantu itu tak semata menyangkut perubahan tren, tapi berkait erat dengan faktor sosial-ekonomi masyarakat. Perubahan itu berawal dari pembangunan yang menggusur tempat-tempat yang semula dianggap angker, semisal penggusuran kuburan untuk dijadikan perumahan mewah. Pembangunan membuat tempat sepi menjadi jarang.
“Kota menjadi semakin padat dengan urbanisasi, dan ruang-ruang yang tadinya untuk kuburan, danau, sekarang dijadikan ruang manusia sebagai rumah, mal, apartemen, sekolah,” kata Riella.
Baca juga: Asal Usul Valak, Setan dari Masa Kegelapan
Dari pembangunan itulah kemudian muncul legenda urban yang cenderung menceritakan hantu perkotaan. Legenda-legenda urban itu kemudian diangkat oleh sineas ke layar lebar. Terowongan Casablanca (2007), Kereta Hantu Manggarai (2008), Hantu Diskotik Kota (2014), dan Rumah Angker Pondok Indah (2013) merupakan beberapa di antara film horor itu.
Namun, film horor produksi tahun 2000-an yang memilih kuburan, pohon, dan telaga sebagai tempat kemunculan hantu tetap masih ada. “Dalam film ada semacam perebutan kekuasaan ruang antara manusia dan hantu. Hantu dalam film itu kemudian seperti dianggap intruder (pengacau, red.), mereka harus diusir. Padahal, kalau dulu kita percaya bahwa kita bisa hidup bersama,” ujar Riella.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar