Dari Telinga Turun Ke Mata
Berangkat dari sandiwara radio yang populer, Saur Sepuh versi layar lebar menuai sukses besar.
SIAPA tak kenal Brama Kumbara dengan ajian serat jiwanya? Atau Mantili dengan pedang setannya? Karakter utama dalam sandiwara radio Saur Sepuh karya Niki Kosasih ini begitu ditunggu-tunggu para pendengarnya pada 1980-an. Sandiwara radio ini diproduksi Sanggar Prativi.
“Setiap sore, saya membawa radio transistor rumah, saya kalungkan di leher sembari mencari gelombang radio yang menyiarkan sandiwara radio Saur Sepuh,” ujar Devi, salah satu pengunjung acara nonton bareng dan diskusi film Saur Sepuh 3, yang digelar Komunitas Pecinta Film Indonesia Jadul di Pisa Kafe Jalan Mahakam, Jakarta (16/4).
“Jika sinyal gelombang jelek,” kenang Devi, “saya tak segan mencari tempat lebih tinggi, seperti pohon, untuk mendapatkan gelombang yang jernih. Supaya tidak ketinggalan ceritanya.”
Demam sandiwara radio sudah melanda sejak decade 1970-an. “Sebuah survei membuktikan bahwa pendengar acara sandiwara meledak. Bahkan sampai ada yang celaka terkena aliran listrik gara-gara sandiwara radio,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia, Lahir dan Berkembangnya Orde Baru.
Kesuksesan Saur Sepuh menarik perhatian sutradara Imam Tantowi untuk mengadaptasinya ke layar lebar. Namun, usaha itu tak semudah membalikkan telapak tangan. “Kesulitannya adalah membawa imajinasi pendengar yang sudah terbentuk dalam sandiwara radio ke visual,” kata Tantowi, dalam acara diskusi. “Saya takut gagal menerjemahkan sandiwara radio ini.”
Selain Tantowi, hadir pula beberapa pemeran film Saur Sepuh seperti Murti Sari Dewi (Lasmini), Fendy Pradana (Brama Kumbara), dan Candy Satrio (Raden Bentar).
Menurut Tantowi, dia melakukan riset sejarah ke Museum Nasional untuk mencari literatur yang menggambarkan keadaan sehari-hari Majapahit. Dia juga menggarap aspek visual secara sungguh-sungguh. Misalnya, visualisasi burung Rajawali, tunggangan Brama Kumbara. “Boneka burung Rajawali dibuat sedemikian besar karena teknologi komputer saat itu belum memungkinkan untuk membuat semacam tiga dimensi,” ujar Tantowi.
Tak hanya aspek visual, Tantowi menggandeng Harry Sabar sebagai penata musik. “Latar belakang film ini adalah masa Majapahit, menurut yang saya pelajari dari para arkeolog, bahwa alunan musik pada waktu itu plain saja, polos,” ujar Harry Sabar.
Hasilnya? Film Saur Sepuh dibanjiri penonton. Saur Sepuh I menjadi film terlaris selama tahun 1988 dengan 575.480 penonton. Sedangkan Saur Sepuh II (1989) dengan 583.604 penonton dan Saur Sepuh III (1990) dengan 611.073 penonton.
Masalahnya, apakah film itu berhasil memenuhi imajinasi pendengar radio? Jika Anda pendengar setia Saur Sepuh dan menonton filmnya, tentu punya jawabannya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar