Masuk Daftar
My Getplus

Preman Medan dari Zaman ke Zaman

Preman hadir di setiap zaman. Pernah menjadi pembela kaum lemah. Kini, kehadirannya membuat masyarakat resah.

Oleh: Martin Sitompul | 19 Feb 2016
Pekerja kuli kontrak perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Utara. (KITLV).

Beberapa waktu lalu, kota Medan terasa mencekam. Di kota penghasil penganan Bika Ambon itu, dua organisasi pemuda tersohor terlibat bentrok: Pemuda Pancasila (PP) versus Ikatan Pemuda Karya (IPK). Aksi anarkis berdarah pecah di Jalan Thamrin, 31 Januari 2016, yang menjadi kawasan pertokoan orang-orang Tionghoa. Seorang ketua ranting IPK tewas dikeroyok dan ditombak anggota PP. Bentrokan meluas ke sejumlah kawasan dalam kota. Pasca tragedi itu, status kota Medan siaga satu. Di Medan, sudah menjadi rahasia publik jika dua organisasi ini merupakan perkumpulan para preman.

Preman. Kata itu begitu identik dengan kota Medan. Reputasi preman telah bermula sejak zaman kolonial Belanda di awal abad 20. Mereka adalah kuli non-kontrak atau tenaga lepas yang dibayar harian. Tuan-tuan kebun Belanda (Planters) yang menjadi penguasa tanah Deli menyebutnya “Vrije Man” yang berarti orang bebas. Meski dipekerjakan, para Vrije Man acap kali menjadi gangguan bagi tuan kebun Belanda dalam menjalankan usahanya.

Menurut Kompas, 30 November 1986, Vrije Man muncul sebagai pembela kuli kontrak asal Jawa, Tionghoa, dan India yang disiksa mandor kebun atas perintah tuan kebun. Beraneka keresahan ditebarkan oleh Vrije Man. Merusak tanaman kebun, minum-minum sampai mabuk dan memancing keributan, hingga menantang berkelahi merupakan cara Vrije Man unjuk taji terhadap penguasa kebun.

Advertising
Advertising

Sebagai tanda balas jasa, para Vrije Man digratiskan untuk mengambil makanan dan minuman di warung. Dari konteks inilah istilah Vrije Man berubah menjadi “preman”. “Ia menjadi akronim untuk ‘pre minum dan makan’. Pre disingkat dari prei yang asalnya dari vrije. Bebas minum dan makan,” tulis Kompas.

Di masa mempertahankan kemerdekaan, preman turut serta dalam perjuangan revolusi. Peristiwa Jalan Bali pada Oktober 1945 menjadi salah satu medan juang preman Medan melawan penjajah. Di masa ini, kelompok preman pejuang yang paling terkenal adalah Laskar Naga Terbang pimpinan Timur Pane.

“Anggota-anggota dari pasukan Naga Terbang ini kebanyakan dari anak-anak Medan, yang mulanya berasal dari jagoan-jagoan kota Medan yang dibina oleh Matheus Sihombing,” tulis Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera dalam Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara.

Baca juga: Lencana Merah Putih Dilucuti, Pejuang Medan Pasang Badan

Memasuki tahun 1950-an, eksistensi preman masih cukup diterima di tengah masyarakat. Wali Kota Medan, Haji Moeda Siregar (menjabat 1954-1958) bahkan pernah memberikan penghargaan kepada preman. Saat itu, preman Medan berperan mendamaikan perkelahian antarsuku yang terjadi antara pemuda Aceh dengan pemuda Batak. Preman juga membantu menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang mengalami pencurian atau perampokan. Preman akan mencari pimpinan copet dan rampok setempat agar barang-barang yang dicuri lantas dikembalikan kepada pengadu.

Pada masa pemerintahan Sukarno, preman terhimpun ke dalam organisasi pemuda bernama Pemuda Pancasila. Pemuda Pancasila didirikan sebagai organisasi sayap Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang dibentuk Jenderal Abdul Haris Nasution pada 28 Oktober 1959. Pemuda Pancasila secara formal diresmikan dalam kongres IPKI tahun 1961.

“Pemuda Pancasila dihadirkan untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 ketika banyak kelompok pemuda saat itu beralih mendukung Nasakom,” tulis Loren Ryter, “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto′s Order” dalam Violence and The State in Suharto′s Indonesia suntingan Ben Anderson.

“Ketika Presiden Sukarno menyerukan mobilisasi umum untuk pembebasan Irian Barat, Pemuda Pancasila mendukungnya dengan mempersiapkan diri bertempur sebagai milisi,” tulis Ryter. Mereka tergabung ke dalam front Pasukan Djibaku Irian Barat (PDIB).

Effendi Nasution alias Pendi “Keling”, adalah preman legendaris dan mantan petinju yang dikenal sebagai pemimpin Pemuda Pancasila kota Medan. Menurut Pendi Keling, mencuri, merampok, dan tindak kejahatan lainnya haram bagi preman.

Baca juga: Jaringan Preman Sisa Orde Baru

“Banyak cara terhormat, yang penting preman itu bukan bandit. Misalnya, menjaga keamanan bandar dan arena perjudian, menjadi pengawal pengusaha kaya, menjaga pusat-pusat keramaian dan bioskop. Dan sesekali mendapat order memukuli jagoan pengusaha lain,” kata Pendi Keling menjelaskan cara preman menghidupi diri, dikutip Kompas.

Pada nyatanya, prahara 1965 menandai penyalahgunaan kekuasaan dan kekuatan yang dilakukan oleh preman. Di Sumatera Utara, oknum preman dalam Pemuda Pancasila menjadi pelaku penjagalan kaum komunis. Mereka membersihkan orang-orang yang berafiliasi dengan PKI sampai ke akar-akarnya.

“Semua sayap PKI menjadi target mereka: Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan lembaga masyarakat Tionghoa (Baperki),” tulis Ryter.

Seiring waktu, di Medan makin banyak preman yang tergabung dalam perkumpulan berbasis organisasi kelompok pemuda. Aktivitasnya pun kian rapat dengan dunia kriminal. Pertarungan dan bentrokan antarorganisasi pemuda kerap kali terjadi. Mulai dari masalah sepele hingga rebutan lahan keamanan bisa memicu kerusuhan anarkis. Dari pertikaian antarpreman yang banyak terjadi, tak pelak, masyarakat sipillah yang paling dibuat resah.

Pada paruh kedua tahun 1980, premanisme menjadi satu dari 53 jenis kejahatan yang setiap 24 jam harus dilaporkan Polda Sumatera Utara ke Mabes Polri.

TAG

preman medan

ARTIKEL TERKAIT

Brigjen M. Noor Nasution di Panggung Seni Hiburan Westerling Nyaris Tewas di Tangan Hendrik Sihite Menculik Pacar Westerling T.D. Pardede Bandit Medan Berjuang dalam Perang Kemerdekaan Kota Medan dari Sarang Preman hingga Begal Helvetia, Tanah Tuan Kebun Swiss di Medan Kisah Amat Boyan, Raja Bandit dari Medan Kisah Tarigan, Laskar Buronan Westerling di Medan Cerita di Balik Cadas Pangeran