Masuk Daftar
My Getplus

Setan Influenza Menyerang Hindia Belanda

Hanya dalam hitungan bulan, gelombang kedua Flu Spanyol yang lebih ganas merajalela di wilayah Hindia Belanda.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 23 Jul 2021
Kondisi bangsa perawatan pasien Flu Spanyol di Amerika tahun 1918 (Wikimedia Commons)

Saat ini, Indonesia sedang menghadapi gelombang kedua pandemi Covid-19. Kondisi tersebut ditandai dengan munculnya berbagai virus baru, meningkatnya jumlah orang yang terkena virus Corona, serta adanya angka kematian yang masih tinggi. Indonesia pun tercatat sebagai negara dengan kasus harian tertinggi di Asia Tenggara.

Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan puncak gelombang pertama kasus Covid-19 di Indonesia terjadi pada Januari 2021 dengan kasus mingguan menyentuh angka 89.902 kasus. Sementara pada pekan terakhir bulan Juni 2021 angkanya jauh lebih tinggi, mencapai 125.396 kasus.

“Hal ini menandakan second wave atau gelombang kedua kenaikan kasus Covid di Indonesia,” ujar Wiku, sebagaimana dilansir laman Tempo.

Advertising
Advertising

Baca juga: Wabah di Jawa Abad ke 17

 

Dalam sejarah, kasus serupa juga pernah terjadi di Indonesia pada permulaan abad ke-20. Kala itu, Hindia-Belanda harus menghadapi dua gelombang penyebaran virus Flu Spanyol yang merenggut nyawa lebih dari satu juta jiwa. Gelombang pertama terjadi antara bulan Juli hingga September 1918. Sedangkan gelombang kedua berlangsung antar November hingga Desember 1918. Di beberapa wilayah bahkan masih mewabah sampai pertengahan 1919.

Lebih Mematikan

Efek yang ditimbulkan gelombang kedua pandemi Flu Spanyol ternyata lebih destruktif ketimbang gelombang pertama. Dalam Koloniaal Verslag (Laporan Kolonial) pemerintah Hindia-Belanda tahun 1919, sebagaimana dikutip Ravando dalam Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919, tercatat bahwa selama bulan November 1918 terjadi peningkatan angka kematian mencapai 416.000 jiwa bila dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun sebelumnya. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan Flu Spanyol dan komplikasi pneumonia.

“Saking parahnya serangan gelombang kedua tersebut, laporan Burgerlijke Geneeskundige Dienst (Dinas Kesehatan Rakyat) menyebutkan bahwa hampir tidak ada satu pun daerah di kawasan Indonesia kolonial yang luput dari serangan influenza,” kata Ravando.

Baca juga: Cara Bumiputera Menghalau Flu Spanyol

Disebutkan Samudra Eka Cipta dalam “Upaya Penanganan Pemerintah Hindia Belanda dalam Menghadapi Berbagai Wabah Penyakit di Jawa 1911-1943” dimuat Jurnal Candrasangkala Vol. 6, No. 1 Tahun 2020, daerah pelabuhan menjadi pusat persebaran penyakit. Virus asal Benua Biru tersebut dibawa oleh para pelaut dan pedagang di pelabuhan yang sebelumnya telah terpapar kemudian membawanya ke pedalaman.

Menurut Ravando, di wilayah dekat pelabuhan, persebaran virus mencapai puncaknya selama kurun waktu satu minggu. Biasanya dalam periode tersebut, muncul banyak laporan mengenai penduduk yang terinfeksi dan meninggal dunia. Namun jika melihat angka mortalitas antara November-Desember 1918, baik di daerah maupun kota besar, persebaran virus tidak jauh berbeda. Hanya durasi yang membedakannya, di kota besar lebih lama karena populasi yang tertular jauh lebih banyak.

“Dari hasil penyelidikan yang dilakukan, baik di daerah maupun dari laporan hasil penelitian laboratorium, sumber penularan penyakit diduga berasal dari udara (lucht). Untuk itu pemerintah kolonial kemudian mengeluarkan instruksi pembagian masker yang diserahkan kepada warga yang tinggal di daerah yang terjangkit,” tulis Arie Rukmantara, dkk dalam Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda.

Tidak Terbendung

Ketika pertama kali muncul pada Oktober 1918, tidak ada satu pun yang menyangka jika gelombang kedua pandemi Flu Spanyol akan begitu menyengsarakan. Sejumlah surat kabar masih menganggap penyakit itu tidak berbahaya. Koran Andalas, misalnya, menyebut jika Flu Spanyol hanya suatu penyakit yang lebih berat dari flu biasa. Pernyataan serupa juga tertulis dalam Sinar Makassar yang menyatakan jika penyakit itu tidak lebih berbahaya ketimbang penyakit kronis lain, seperti disentri, malaria, atau kolera.

Ironisnya, pernyataan yang muncul di surat kabar itu diperkuat oleh argumen sejumlah dokter yang menyebut jika Flu Spanyol hanya sedikit berbahaya dari influenza biasa. Dalam Sinar Makassar, dikutip Ravando, seorang dokter membuat sebuah pernyataan tentang Flu Spanyol: “Pada permulaan orang kata itu penyakit namanya Spanische Influenza, tetapi menurut keterangan seorang thabib, maka penyakit ini tidak lain daripada penyakit pilek yang lebih jahat dari biasa.”

Baca juga: Kain Kafan, Peti Mati dan Flu Spanyol

Munculnya berbagai argumen itu, imbuh Ravando, terjadi lantaran gelombang pertama Flu Spanyol tidak terlalu mematikan bila dibandingkan dengan pes, cacar, atau kolera. Tetapi gelombang kedua sangat berbeda. Serangannya jauh lebih mematikan. Banyak ahli di Hindia-Belanda yang tidak siap menerimanya karena tidak akrab dengan jenis penyakit tu, juga kekurangan informasi untuk menelitinya.

Pandangan masyarakat tentang serangan Flu Spanyol gelombang kedua juga mulai berubah ketika ribuan orang menjadi korban hanya dalam kurun waktu beberapa minggu saja. Selain itu aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat pun lumpuh total. Pemandangan seperti itulah yang membuka mata masyarakat tentang betapa berbahayanya gelombang kedua Flu Spanyol. Sampai-sampai surat kabar Tjhoen Tjhioe menyebut jika tidak ada tempat yang aman dari terjangan virus, kecuali hutan rimba. Sementara Pewarta Soerabaia berulang kali menyebut penyakit itu dengan sebutan ‘setan influenza’ dan ‘penyakit bangsat’.

“Banyak penduduk yang berpikir bahwa tidak lama lagi dunia akan kiamat. Di berbagai daerah, hampir mustahil bagi satu keluarga untuk bisa terbebas sepenuhnya dari Flu Spanyol. Minimal pasti ada satu orang di dalam satu rumah yang terjangkit virus tersebut,” tulis Ravando.

Baca juga: Hoax Masa Pandemi Flu Spanyol

Berdasarkan laporan BGD, selama gelombang kedua Flu Spanyol itu para penderita mulai menunjukkan gejala dan komplikasi yang beragam, sehingga durasi kesembuhan dari penyakit tersebut menjadi lebih lama dan tingkat kematian juga menjadi lebih tinggi. Tingkat mortalitas di sejumlah tempat meningkat secara signifikan. Kondisi itu menjadi pembeda antara gelombang kedua dengan gelombang pertama.

Hal lain yang membuktikan bahwa gelombang kedua lebih ganas dari sebelumnya adalah meningkatnya angka kematian di kawasan timur Hindia Belanda. Di wilayah seperti Maluku dan Sulawesi, pada gelombang pertama pandemi, sangat jarang ditemukan laporan tentang kasus Flu Spanyol. Akan tetapi selama gelombang kedua, hampir setiap hari beragam kasus kematian akibat Flu Spanyol dilaporkan di wilayah tersebut.

“Peningkatan hubungan dagang antar wilayah di Indonesia kolonial, yang dibarengi dengan semakin mudahnya mobilisasi manusia dari satu tempat ke tempat lainnya, ditengarai menjadi penyebab utama penularan virus tersebut hingga ke pelosok-pelosok daerah,” ujar Ravando.

TAG

flu spanyol

ARTIKEL TERKAIT

Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Di Balik Operasi Bayi Biru yang Bersejarah Penyakit Sifilis di Hindia Belanda Asal Nama Bengkulu Babak Awal Sejarah Sepeda Motor Besi dan Nama Sulawesi Jejak Mesin Faks Menerangi Sejarah Lampu Melihat Lebih Jernih dengan Kacamata