Hari sudah terang. Jamuan makan malam masih tersisa di meja itu. Lemper, kroket, dan pisang goreng. Melihat itu, Mohamad Roem, ketua delegasi Indonesia dalam pelaksanaan keputusan Persetujuan Renville, menahan liurnya. Perutnya keroncongan. Dia belum sempat sarapan di rumah. Tapi panggilan untuk menghadap presiden sudah datang pagi itu.
Di meja itulah dia menunggu Presiden Sukarno. Dia tak berani menyantap panganan itu sebelum Sukarno datang. Setelah ditunggu beberapa lama, Sukarno muncul.
Roem berharap Sukarno segera mempersilakannya makan atau minum. “Menjadi kebiasaan presiden, sebelum tamu duduk, diminta dulu mau minum apa, dan kalau meja itu penuh dengan makanan, meskipun sisa tadi malam, tamu diminta ikut menikmati,” kata Roem dalam Bunga Rampai Dari Sejarah I.
Sukarno agak berbeda pagi itu. Dia tak menawarkan makanan atau minuman kepada Roem. Dia menyilakan Roem untuk duduk dan langsung berbicara tentang kemungkinan alotnya perundingan untuk melaksanakan poin-poin Persetujuan Renville antara Indonesia dan Belanda pada 1948. “Saya ingin singkat saja. Perundingan pada waktu itu kelihatannya berjalan sangat seret,” ujar Sukarno.
Baca juga: Berjudi di Atas Renville
Setelah perundingan Renville, delegasi Indonesia merasa Belanda enggan memenuhi empat poin Perjanjian Renville: kemerdekaan rakyat Indonesia, kerja sama Indonesia-Belanda, pengakuan kedaulatan, pembentukan Uni antara Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda. Di luar empat poin utama itu, Belanda juga melanggar gencatan senjata dengan melakukan agitasi di wilayah Republik seperti upaya pendirian negara boneka.
“Harapan yang telah terkandung bahwa setelah penandatanganan Persetujuan Renville akan timbul suasana baru antara pihak-pihak yang bersangkutan... menjadi buyar,” ungkap Anak Agung Gde Agung dalam Renville.
Dalam situasi itu, Sukarno menginginkan delegasi Indonesia tak kalah ngotot dengan Belanda. Delegasi Indonesia harus bernyali dan jangan kendor. Ini diutarakan oleh Sukarno kepada Roem. “Saya pandang saudara harus diperkuat jiwanya... Saudara ketua delegasi. Kalau jiwa saudara diperkuat, maka itu akan meliputi seluruh delegasi,” tutur Sukarno.
Roem mengerti kemana arah pembicaraan Sukarno. Dia pernah mendengar desas-desus tentang seorang dukun yang bekerja untuk Sukarno. Dia menduga ucapan “memperkuat jiwa” itu mengarah ke dunia perdukunan.
Roem menanyakan bagaimana Sukarno akan memperkuat jiwanya. Tiba-tiba perutnya mendesak lagi. Dia tak tahan. Tangannya menyamber sepotong lemper yang menganggur walaupun Sukarno belum menyilakannya. Dia melahapnya cepat-cepat. Sukarno lalu berkata kepada Roem agar menemui Panglima Besar Jenderal Soedirman, pemimpin Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Baca juga: Jenderal Soedirman Menjadi Tawanan
Roem melihat masih cukup banyak makanan untuk disantap. Perutnya juga belum terisi penuh.
“Saya mau sarapan dulu dengan presiden,” kata Roem beralasan sembari berharap Sukarno memberinya waktu sedikit lagi.
“Masih ada kesempatan banyak untuk sarapan dengan presiden. Makanlah lemper itu, kemudian suadara saya minta terus ke rumah Panglima Besar. Beliau sudah menunggu,” timpal Sukarno.
Roem beranjak pamit tanpa sempat minum seteguk air pun. Dia menuju ke rumah Soedirman. Saat itu, pusat pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta. Rumah para tokohnya berdekatan. Di sana, Soedirman telah menunggu bersama seorang anak muda. Roem, Soedirman, dan pemuda itu bersalaman, lalu berbincang.
Soedirman menjelaskan siapa anak muda itu. Seorang dukun sakti. Orang yang kakinya lumpuh bisa berjalan lagi lewat sentuhannya. Orang yang sudah sekian lama dirawat di rumah sakit dan membuat putus asa dokter bisa sehat walafiat kembali. Pasangan yang puluhan tahun tak punya anak bisa memperoleh anak karena bantuan si anak muda itu.
“Saudara Roem kan kenal dengan saudara itu,” kata Soedirman, menyebut nama pasangan tersebut.
Roem mulai heran. Mengapa dirinya harus menggunakan jasa dukun itu. Dia memang agak pincang akibat terjangan peluru Belanda yang bersarang di kakinya. Tapi secara umum, dia sehat-sehat saja. Begitu katanya pada Soedirman.
“Bukan itu yang kami maksudkan,” kata Soedirman.
Baca juga: Roem: Tidak Ada Waktu Membenci Sukarno
Soedirman menjelaskan, delegasi Belanda cukup tangguh. Tapi dia juga percaya pada kemampuan diplomasi Roem. Dan alangkah baiknya jika kemampuan itu diperkuat. Cara memperkuatnya dengan sebuah jimat. “Lipatan kertas yang diikat dengan benang putih,” kata Roem.
Ingatan Roem terbang ke masa silam. Dia sekarang berada dalam situasi yang hampir mirip dengan pengalamannya semasa kecil. Saat itu, neneknya juga pernah memberinya jimat karena Roem kecil sakit-sakitan.
Roem menghadapi situasi sulit. Antara menolak atau menerima jimat itu. Penolakannya muncul dari andil pendidikan modern Islam dan Barat yang dia tempuh. Dia mendapat pendidikan Islam dari Pak Wongso, seorang kyai kampung di Temanggung, Jawa Tengah. Sedangkan pendidikan Barat diperoleh dari Hollandsch Inlandsche School (HIS). Dua latar ini sangat kuat mempengaruhi tindakan Roem.
“Pilihan jalan hidup yang diambilnya kemudian, sebagaimana Roem yang dikenal sekarang, menunjukkan pengaruh suasana itu ke dalam dirinya,” catat Fachry Ali dalam “Mohamad Roem Diplomat Pejuang”, tertuang di Prisma No. 6, 1984.
Roem ingin menolak jimat pemberian neneknya itu. Tapi dia tak bisa mengatakannya langsung kepada neneknya. Karena itu, dia tetap menerimanya. Dia pergi menemui ayahnya dan mencari jawab atas kebimbangannya.
“Besok kamu pergi ke sekolah dengan jimat seperti nenek kehendaki. Kalau sudah cukup jauh dari rumah jimat itu kamu masukkan kantong. Nanti kalau kamu pulang sebelum dekat di rumah, kamu pakai lagi,” saran ayahnya.
Baca juga: Jurus Roem Menolak Sukarno
Roem mengiyakan saran ini. Menurutnya, saran ini sangat bagus. Dia tetap bisa menjaga perasaan neneknya sekaligus mempertahankan pendiriannya tak percaya jimat. Keduanya sama-sama menang. Tak ada yang merasa kalah.
Berbekal pengalaman itu, Roem tahu bagaimana tetap menghormati Sukarno dan Soedirman. Dia menyambut jimat dari Soedirman dan berjanji menjaganya baik-baik seperti yang diminta Soedirman. Dia menaruhnya di saku celana sehingga tak seorang pun tahu dia menggunakan jimat. Sekalipun orang terdekatnya.
Tapi suatu hari Roem khilaf. Dia mengganti celana panjangnya dan menggantungnya di pintu. Tanpa dia ketahui, angin menjatuhkan celana itu dari gantungannya. Istrinya menyerok celana itu, lalu mencucinya.
Roem kembali ke kamar. Dia kaget melihat celana dan jimatnya hilang. Istrinya memberitahu celananya dicuci dan sedang dijemur di belakang.
Roem bergegas ke belakang. Dia merogoh saku celananya. Jimat kertas itu hancur jadi serpihan. Dia kepikiran untuk meminta jimat lagi kepada Sukarno dan Soedirman.
“Tapi pikiran ini saya kesampingkan karena tidak sesuai dengan pandangan hidup saya,” kata Roem.
Roem sebenarnya lega jimat itu lepas dari dirinya lewat kejadian yang dia tak duga. Dia tak perlu susah-susah membuang jimat itu. “Katakanlah itu sudah takdir Tuhan,” tutup Roem.
Jimat itu belum sempat menunjukkan keampuhannya.