TRI Utami Satriastuti atau Tuti menantu Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW) Lasijah Soetanto, masih ingat ketika suatu hari mertuanya berselisih dengan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Sudomo. Lasijah tak setuju dengan pengiriman tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri yang jadi program Sudomo.
“Ibu ribut dengan Pak Domo. Ibu tidak setuju pengiriman TKW. Pak Domo memberi penghargaan, ya diterima di depan orang-orang tapi lalu disobek sama ibu dan dibuang. Penolakan ibu tegas,” kata Tuti kepada Historia.
Sejak 1970, pemerintah mengirim tenaga kerja secara besar-besaran ke Malaysia, Hongkong, Filipina, dan Arab Saudi. Tingginya permintaan membuat pemerintah meresponnya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 tahun 1970. PP ini mengatur pengiriman tenaga kerja melalui program Antar Kerja Antar Daerah dan Antar Kerja Antar Negara.
Setelah PP ini keluar, gelombang pengiriman TKI dan TKW semakin besar, bahkan pihak swasta ikut-ikutan menjadi penyalur tenaga kerja. Dalam waktu singkat pemerintah bisa mengrekrut 1.500 TKI untuk diberangkatkan. Sejak 1979 pemerintah berupaya mengirimkan tenaga kerja secara langsung lewat program Government to Government (G to G).
Tenaga kerja yang dikirim pemerintah merupakan tenaga bukan ahli. Mereka tak diberi pembekalan keterampilan terlebih dahulu. Mereka dikirim untuk dipekerjakan di sektor informal seperti pembantu rumahtangga.
Hal itu menjadi pangkal protes dari berbagai pihak di tanah air, salah satunya dari Lasijah. Lasijah berpendapat, tenaga kerja yang dikirim seharusnya tenaga kerja ahli. Para TKW yang akan dikirim seharusnya dibekali keterampilan terlebih dulu oleh pemerintah sehingga tenaga kerja yang dikirim adalah tenaga yang terampil sesuai bidang yang dibutuhkan, bukan tenaga kerja nirkemampuan. Dengan mengirim tenaga ahli, representasi Indonesia sebagai sebuah bangsa akan naik di mata negara lain dan memiliki posisi tawar.
“Ibu itu dimusuhi sama menteri-menteri di sini. Ibu maunya yang dikirim ke negara luar itu dokter, suster, orang-orang yang punya keahlian,” kata Tuti.
Mengirimkan warga negara untuk bekerja di luar negeri pada sektor informal tanpa pembekalan, menurut Lasijah, membuat mereka mudah mengalami pelecehan dan kekerasan. Terlebih bila tenaga kerja yang menjadi korban adalah perempuan, itu bakal menjadi urusan Lasijah sebagai menteri UPW.
Pada pemberangkatan TKW kloter pertama, Lasijah menolak datang. “Ibu tidak mau, kecuali sebelum diberangkatkan ke luar negeri calon-calon TKW dibikin terampil dulu,” kata Duswanto Harimurti, anak kedua Lasijah.
Pemerintah akhirnya berupaya mengurangi pengiriman tenaga kerja berpendidikan rendah. Depnaker, sebagaimana ditulis Ana Sabhana Azmy dalam Negara dan Buruh Migran Perempuan, membentuk Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga kerja Indonesia (APJATI) pada 1981. Tujuannya, untuk mengurus dan menyeleksi pengiriman TKI ke ke berbagai negara.
Namun, upaya tersebut mengendur pada pertengahan 1980-an ketika angka pengangguran tinggi. Pengiriman TKW ke luar negeri dianggap sebagai solusi mengurangi pengangguran. Pemerintah meloloskan begitu saja tenaga kerja berpendidikan rendah untuk bekerja di negeri orang.
Hal yang dikhawatirkan Lasijah terjadi. Beberapa TKW mengalami masalah, seperti penyiksaan, pelecehan seksual, dan kekerasan yang dilakukan atasan. “Penolakan ibu tentang pengiriman TKW tantangannya berat. Dulu masih dibelain sama Pak Harto,” kata Tuti. Namun, setelah digencet oleh Fraksi ABRI dan kalah adu argumen melawan menteri lain, Lasijah kalah.
Pengririman TKW tanpa keterampilan alih-alih mengurangi angka pengangguran malah menimbulkan masalah baru. Pemerintah pusing. Menaker pengganti Sudomo, Cosmas Batubara akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri No. 5 tahun 1988 yang mengatur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.
“Ketika pengiriman TKW itu ramai, ibu dikirimi uang. Itu per kementerian dikirimi semua. Tapi ibu menolak,” kata Duswanto. “Sampai mati saya tak mau terima,” kata Duswanto menirukan ucapan ibunya.