LEBIH dari dua tahun Pramoedya Ananta Toer dipenjara Belanda karena menyebarkan pamflet-pamflet dan majalah perlawanan di masa revolusi. Pram akhirnya keluar dari penjara Bukit Duri, Jakarta pada 3 Desember 1949. Usai menghirup udah bebas, sastrawan kelahiran Blora, 6 Februari 1925 itu kembali menata hidupnya.
Selain mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari –ia sempat bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka bagian Kesusasteraan Modern dengan gaji sebesar Rp204 lewat bantuan Menteri PPK dr. Abu Hanifah–, Pramoedya juga bergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka yang didirikan pada pertengahan 1946 atas prakarsa Chairil Anwar. Sastrawan dan seniman Angkatan 45 yang berhimpun dalam Gelanggang antara lain Asrul Sani, Baharuddin, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, Sito Situmorang, Rivai Apin, Mochtar Apin, dan lain-lain. Perkumpulan ini mengklaim sebagai Generasi Gelanggang. Pada 19 November 1946, lahirlah preambul Gelanggang.
Menurut Maman S. Mahayana, dosen sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dalam Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia, dalam mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang disebutkan sebagai generasi muda Indonesia, Generasi Gelanggang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pembentukan bangsa. Atas dasar ini, mereka hendak melepaskan diri dari tatanan lama yang dianggap tidak lagi sejalan dengan semangat revolusi yang mereka perjuangkan. Segala pandangan, sifat, dan anasir lama yang melemahkan revolusi sudah sepatutnya ditentang untuk menyalakan api kekuatan baru.
Baca juga:
“Pembukaan Anggaran Dasar Generasi Gelanggang ini menjadi semacam sikap para pendukungnya dengan menegaskan kembali pernyataan itu sebagaimana tertuang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang. Dokumen bertarikh 18 Februari 1950 itu anehnya baru dipublikasikan dalam rubrik ‘Gelanggang’ majalah Siasat, 22 Oktober 1950,” tulis Maman.
Jeda antara penyusunan dan pemuatan Surat Kepercayaan Gelanggang terjadi bukan tanpa alasan. Kehadiran Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dipandang sebagai penyebabnya. Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950 atas inisiatif dua pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit dan Njoto, bersama A.S. Dharta, M.S. Ashar, Henk Ngantung, Herman Arjuno, Joebaar Ajoeb, dan Sudharnoto.
“Berdirinya Lekra, pesatnya kemajuan yang dicapai Lekra, gencarnya Lekra menolak humanisme universal dengan menawarkan gagasan realisme sosialis, kecenderungan memasukkan kesusatraan dan kesenian sebagai bagian dari kehidupan politik, serta adanya pembelotan sikap dari beberapa anggota Generasi Gelanggang sendiri boleh jadi dipandang sebagai faktor yang melatarbelakangi pemuatan Surat Kepercayaan Gelanggang yang baru dilakukan lebih dari delapan bulan setelah konsep dokumen itu diselesaikan. […] Sejak itulah, dimulai polemik terbuka antara pendukung Surat Kepercayaan Gelanggang dan seniman Lekra,” tulis Maman.
Gesekan antara Gelanggang dan Lekra semakin memanas ketika A.S. Dharta alias Klara Akustia menulis tulisan berjudul “Angkatan ‘45 Sudah Mampus” pada 1951. Menurut Martina Heinschke dalam Between Gelanggang and Lekra: Pramoedya's Developing Literary Concepts, melalui tulisan kontroversialnya itu, Dharta menuntut para pengarang untuk membuat sebuah awal yang baru berdasarkan komitmen politik yang tegas. Revolusi dianggap gagal karena tujuannya untuk mewujudkan demokrasi rakyat tidak tercapai. Dalam situasi ini, semua pengarang harus mendukung gerakan rakyat. Dan menurut sastrawan yang memiliki nama asli Endang Rodji itu Manifesto Lekra menyerukan kepada para seniman untuk menggunakan seni sebagai alat untuk membantu mewujudkan tujuan masyarakat yang demokratis dan pro-rakyat.
Baca juga:
Pramoedya Melancong ke Negeri Belanda
Pramoedya ikut serta dalam pertemuan di mana Surat Kepercayaan Gelanggang dirumuskan dan disetujui pada 1950. Selain itu, Pram juga sempat menjadi sekretaris kelompok selama beberapa bulan. Namun, Pram termasuk sastrawan yang “membelot” dari Gelanggang ke Lekra.
Pramoedya Gabung Lekra
Pada Oktober 1956, Pramoedya berkunjung ke Beijing atas undangan Lembaga Sastrawan China Pusat untuk berpartisipasi dalam peringatan kematian Lu Hsun, penulis terkemuka sastra China modern. Kunjungan itu memberi kesan mendalam bagi Pram, yang semakin memperkuat tekad dan gagasannya mengenai penggunaan sastra untuk membentuk dan memperkuat identitas nasional.
Koh Young Hun, pengajar dan peneliti sastra Indonesia asal Korea Selatan, menulis dalam Pramoedya Menggungat: Melacak Jejak Indonesia, Pramoedya begitu mengagumi keberhasilan revolusi China, bukan hanya kemajuan dalam bidang sosial dan ekonomi, tetapi juga dalam usaha pembangunan negaranya. Kala itu, ia sangat yakin bahwa “demokrasi liberal Barat, yang di dalamnya segala sesuatu bergerak di sekitar soal uang, akan gagal”. Ia menganggap sistem demokrasi liberal sebagai biang keladi kegagalan Indonesia, yang tidak mempertimbangkan faktor kejiwaan (manusia Indonesia) yang setiap saat berkembang.
“Perbedaan pemikiran Pramoedya terlihat jelas dalam karyanya selepas kunjungan ke Beijing. Meskipun harus diakui, bahwa sebelum itu rasa simpatinya perlahan-lahan mulai bergeser ke kiri, dan sejak tahun 1954, ia mulai meluaskan kegiatan dalam lapangan kemasyarakatan-kebudayaan,” tulis Young Hun.
Sekembalinya dari China, Pramoedya lebih banyak menulis dan melakukan penelitian sejarah kebudayaan, seperti buku tentang Tionghoa dan buku tentang RA Kartini. Ketika Presiden Sukarno menyampaikan gagasan Demokrasi Terpimpin, Pram bersama para seniman menemui Sukarno untuk menyatakan dukungan pada sistem tersebut. “Walaupun dalam delegasi ini termasuk tokoh-tokoh Lekra, seperti Henk Ngantung dan Kotot Sukardi, sampai saat itu Pramoedya belum masuk Lekra,” tulis Young Hun.
Baca juga:
Ketika Pram Dipenjara Gegara Membela Etnis Tionghoa
Namun, Pramoedya sudah terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang dilakukan Lekra. Pada 24 Maret 1957, Pram memberikan ceramah pada peringatan lima tahun berdirinya Lekra cabang Bandung. Pada 1958, Pram menerjemahkan karya Maxim Gorki berjudul Ibunda yang diterbitkan Yayasan Pembaruan, penerbitan PKI. Karya ini dianggap sebagai peletak dasar konsep realisme sosialis. “Ini mendorong pihak Lekra/PKI untuk menerima Pramoedya, seorang tokoh sastra yang berpengaruh, sebagai anggota Lekra,” tulis Young Hun.
Pramoedya hadir dalam Kongres Nasional I Lekra yang diselenggarakan di Solo pada 22-28 Januari 1959. Ia diangkat sebagai salah seorang anggota dalam Pimpinan Pusat Lekra meski belum menjadi anggota resmi. Tak hanya itu, Pram juga menjadi wakil ketua Lembaga Sastra Indonesia (Lestra), sebuah divisi Lekra yang mengurusi sastra.
Sejak 1959, Pram bersama para sastrawan Lekra gencar mensosialisasikan gagasan realisme sosialis dalam sastra. Selain itu, Lekra juga memulai serangan terbuka terhadap tokoh-tokoh kebudayaan atau organisasi yang dianggap bertentangan dengan dasar perjuangan pemerintah. Young Hun menyebut Pram menyerang Hamka karena dianggap menolak himbauan Sukarno supaya kembali ke UUD 1945. Namun, Pram juga menyerang pemerintah jika berlaku tidak adil. Akibatnya, Pram dipenjara selama sembilan bulan karena membela minoritas Tionghoa sebagaimana ditulisnya dalam Hoakiau di Indonesia.
Pramoedya Mengasuh Lentera
Setelah bebas dari penjara, Pramoedya mengasuh rubrik “Lentera”, lembaran kebudayaan yang terbit seminggu sekali dalam surat kabar Bintang Timur sejak tahun 1962. “Lentera” berisi sebagian besar tulisan budaya, ditambah sajak atau cerpen, dan kolom. “Pram sendiri lebih banyak menulis tentang budaya dan sastra. Tapi kadang ia juga menulis kritik pedas terhadap sastrawan yang dipandangnya tidak memihak revolusi,” tulis majalah Tempo, 6 Oktober 2013.
Young Hun mencatat, ada 20 judul karya Pramoedya yang dimuat dalam “Lentera” yang mencakup kritik sastra dan masalah-masalah bahasa Indonesia, riwayat hidup beberapa tokoh kemerdekaan Indonesia ditambah satu kajian mengenai peranan negatif Trotkisme dalam revolusi Indonesia.
Baca juga:
Pramoedya Ananta Toer Tentang Kota Jakarta
Menurut Eka Kurniawan dalam Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, “Lentera” menjadi media utama yang mempublikasikan tulisan-tulisan Pramoedya, dan melalui rubrik itu pula Pram memulai polemik-polemiknya yang menyeretnya ke dalam prahara budaya antara Lekra dengan musuh-musuhnya, terkhusus Manifes Kebudayaan. Salah satu yang menjadi sasaran Pram adalah H.B. Jassin, pemimpin majalah Sastra yang menjadi wadah bagi banyak sastrawan “tak berpartai”. Ketegangan di antara Pram dan Jassin sesungguhnya cukup ironis. Mengingat Jassinlah yang mengirimkan karya Pram yang berjudul Perburuan untuk diikutsertakan dalam sayembara Balai Pustaka, di mana Pram berhasil mendapatkan hadiah pertama pada Januari 1950. Melalui Perburuan pula Pram semakin mendapatkan pengakuan sebagai pengarang.
Tak hanya mengkritik gagasan “humanisme-universal” yang dianggap melemahkan revolusi, Pramoedya juga menerbitkan “daftar hitam” para seniman yang mendukung Manifes Kebudayaan. Manifes Kebudayaan berawal dari deklarasi yang ditandatangani oleh 20 seniman; 16 penulis, 3 pelukis, dan seorang komponis. Dideklarasikan pada 17 Agustus 1963, tujuan Manifes Kebudayaan adalah memberikan ruang yang lebih longgar bagi para seniman dan budayawan untuk mengekspresikan kesenian yang mandiri, yang berarti bebas dari kepentingan politis. Idealisme Lekra yang mencuatkan istilah “Politik Sebagai Panglima” dalam kerja seni dianggap sebagai bentuk pemasungan terhadap kreativitas seorang seniman.
“Pertentangan antara Lekra dan Manifes Kebudayaan, atau antara Lentera dan Sastra, atau antara realisme sosialis dan humanisme universal, akhirnya membuahkan peristiwa pahit bagi para penandatangan Manifes Kebudayaan dan para simpatisannya. Tak lama setelah Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) diselenggarakan pada awal Maret 1964, Manifes Kebudayaan dinyatakan terlarang oleh Pemimpin Besar Revolusi, Sukarno. Tepatnya pada 8 Mei 1964,” tulis Eka.
Manifes Kebudayaan menjadi bulan-bulanan “Lentera” dan Bintang Timur yang memplesetkan KKPI menjadi KK-PSI untuk mengesankan konferensi itu diselenggarakan oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI). “Bintang Timur menuding pendukung Manikebu simpatisan PSI dan Masyumi, yang ketika itu partai terlarang,” tulis Tempo.
Baca juga:
Pramoedya Ananta Toer dan Jenderal Soemitro
Setahun setelah Manifes Kebudayaan “disuntik mati” pemerintahan Sukarno, giliran Lekra, PKI dan para simpatisannya yang dibabat habis imbas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pramoedya ditangkap karena aktivitasnya dalam Lekra, Lestra, dan Lentera. Setelah ditahan di berbagai tempat, Pram dibuang ke Pulau Buru selama 14 tahun.
Pramoedya sendiri sesungguhnya menolak dianggap sebagai “orang penting” Lekra. Dalam percakapan dengan adiknya, Koesalah Soebayo Toer, yang dibukukan berjudul Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer, Pram membantah dirinya termasuk dalam tokoh penting Lekra. “Aku di Lekra itu ditunjuk jadi anggota Pleno, ditunjuk, itu saja. Lantas orang bilang, aku Wakil Ketua Lekra segala macam!” kata Pram.
Pramoedya juga menyebut bahwa orang-orang Lekra sendiri bersikap sinis kepadanya. “Semua sinis. Njoto itu sinisnya sama aku bukan main. Padahal aku termasuk pengagum dia,” katanya kepada Koesalah. “Apa sebabnya, ya karena aku punya kepala sendiri! Orang-orang partai itu kan nggak senang kalau ada orang yang punya pendapat sendiri.”*