Masuk Daftar
My Getplus

Pramoedya dan Perlawanan Pemuda

Dalam karya-karyanya, Pramoedya Ananta Toer memunculkan karakter pemuda yang berani melawan penindasan meski perlawanan tak selalu berakhir dengan kemenangan.

Oleh: Amanda Rachmadita | 10 Feb 2025
Dari kiri-kanan: Reza Muharam, Max Lane, Anwar Sastro, dan Roy Murtadho hadir dalam diskusi ''Mencintai yang Belum Tuntas dan Menuntaskannya: Pramoedya, Indonesia dan Kaum Muda'' yang diselenggarakan untuk memperingati seratus tahun kelahiran sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang diselenggarakan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Sabtu (8/2/2025). (Amanda Rachmadita/HIstoria.ID).

“SEJARAH Indonesia adalah sejarah pemuda Indonesia, dari sejak Perhimpunan Indonesia di Belanda, Sumpah Pemuda, Revolusi Agustus 1945, sampai penggulingan diktator Soeharto. Banyak mereka menjadi korban. Hanya sayang mereka tidak melahirkan pemimpin,” kata Pramoedya Ananta Toer sebagaimana dicatat oleh adiknya, Koesalah Soebagyo Toer, dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali.

Pramoedya Ananta Toer dikenal sebagai sastrawan yang memiliki perhatian besar terhadap isu kemanusiaan. Dalam setiap karyanya, ia kerap memunculkan karakter pemuda sebagai tokoh sentral yang muncul untuk melawan penindasan. Hal ini bukan tanpa alasan, pengarang kelahiran Blora, 6 Februari 1925 itu dibesarkan dalam iklim perjuangan rakyat Indonesia yang telah lama dibelenggu oleh penjajahan –Belanda dan Jepang. Ia menjadi saksi perjuangan rakyat Indonesia yang sebagian besar digerakkan oleh kaum muda. Pram sendiri di masa mudanya ikut andil dalam mempertahankan kemerdekaan yang membuatnya dijebloskan ke penjara ketika Belanda melancarkan agresi militer untuk kembali menguasai Indonesia.

Pramoedya yang pernah dipenjara di masa Orde Lama karena mengkritik kebijakan diskriminatif terhadap warga Tionghoa, dan dibuang ke Pulau Buru selama 14 tahun oleh rezim Orde Baru, tak hanya menjadi saksi keberhasilan kaum muda dalam mengusir penjajah. Ia juga menyaksikan para pemuda menggulingkan kekuasaan Soeharto yang telah bercokol selama 32 tahun hingga melahirkan era reformasi.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Tetralogi Buru: Roman Sejarah yang Lahir dari Balik "Penjara" Orba

Tak heran bila Pram memiliki kepercayaan besar terhadap para pemuda untuk membangun dan memajukan bangsa. Inilah topik pembahasan dalam diskusi untuk memperingati seratus tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer bertajuk “Mencintai yang Belum Tuntas dan Menuntaskannya: Pramoedya, Indonesia dan Kaum Muda” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Sabtu, 8 Februari 2025.

“Sejarah Pramoedya adalah sejarah pemberontakan. Lahir di ujung kekuasaan Belanda, sepedanya pernah dirampas Jepang. Dipenjara Belanda di Bukit Duri sewaktu agresi militer. Ia kembali masuk bui di masa Orde Lama... Dibuang ke Pulau Buru semasa Orde Baru dan menjadi saksi runtuhnya Soeharto yang didongkel anak-anak muda. Tokoh-tokoh fiksinya adalah pemberontak. Arok, Minke, Hardo, hingga Gadis Pantai adalah tipe-tipe pemberontak. Mereka berjuang demi cita-cita dan idealisme. Banyak di antara mereka yang kalah, namun perjuangan bukan berarti kemenangan. Tetapi mewujudkan apa yang diinginkan,” kata Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Dika Muhammad ketika membuka acara diskusi.

Di sisi lain, dalam video sambutannya, sejarawan Hilmar Farid menyebut Pramoedya bukan hanya seorang sastrawan besar yang memiliki peran penting dalam dunia sastra dan pemikiran Indonesia. Ia juga pejuang hak asasi yang sepanjang hidupnya tidak pernah tunduk pada kekuasaan yang menindas.

“Pram tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga menantang narasi resmi, mengangkat mereka yang suaranya dibungkam dan menyusun kembali sejarah yang dirampas. […] Relevansi Pramoedya hari ini semakin kuat, ketika sensor, pembungkaman kritik dan distorsi sejarah masih menjadi tantangan. Oleh karena itu, peringatan seabad Pramoedya tak hanya dilakukan untuk mengenang atau sekadar menengok ke belakang, tetapi untuk memahami warisannya dan melanjutkan perjuangan, api pemikiran dan keberanian Pramoedya dalam memperjuangkan kebebasan intelektual, demokrasi, dan hak asasi manusia,” kata Hilmar Farid.

Baca juga: 

Penulisan Sejarah Indonesia di Tangan Pram

Sikap keras kepala dan keberanian itu pula yang membuat Pramoedya tak berhenti menulis meski menjadi pesakitan dari berbagai rezim. Tetralogi BuruBumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca– yang menceritakan tentang periode kebangkitan nasional Indonesia justru lahir ketika Pram menjadi tahanan politik di Pulau Buru dan kini dikenal sebagai magnum opus sang sastrawan. Menariknya, aktivis IPT65 Reza Muharam yang hadir sebagai salah satu pembicara, menyebut kendati dua buku Pram yakni Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa diberangus rezim Orde Baru, perhatian terhadap sang sastrawan dan karya-karyanya justru semakin besar, khususnya dari kalangan internasional.

Menurut Max Lane, penulis dan akademisi asal Australia yang juga kawan karib Pramoedya, perhatian besar kalangan internasional terhadap karya-karya Pramoedya muncul karena melalui karya-karya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris itulah mereka bisa mengenal Indonesia. “Pada tahun 1980-1990-an, yang diketahui orang-orang Barat tentang Indonesia hanyalah Soeharto dan militernya, serta korupsinya. Tetapi itu bukanlah Indonesia. Indonesia itu justru terwujudkan oleh perjuangan rakyatnya sejak awal abad 20 sampai sekarang. Dan melalui buku-buku Pram, orang dapat mengetahui Indonesia yang sejati,” kata Max Lane.

Seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto, karya-karya Pramoedya semakin luas menjangkau masyarakat. Buku-bukunya banyak dicari, bahkan kutipan-kutipan dari karya-karyanya banyak bermunculan, mulai dari kata-kata mutiara untuk disematkan di status media sosial hingga menjadi dekorasi di berbagai pakaian anak muda. Namun, pengaruh dari karya Pramoedya tak sekadar kata-kata mutiara. Lebih dari itu, dalam setiap karya-karyanya, Pram seakan hendak mendorong mereka yang membaca bukunya untuk melawan segala penindasan.

“Keempat buku yang diciptakan Pram di Pulau Buru tak ada satupun yang menyebut nama Indonesia. Tetapi Pram mampu menggambarkan proses tumbuhnya nasionalisme, gagasan kebangsaan Indonesia, di masa-masa awal abad ke-20. Melalui buku itu pula Pram menggambarkan berbagai karakternya untuk berani melawan. Meski perlawanan tak selalu berakhir dengan kemenangan, Pram berhasil menangkap realitas bahwa Indonesia tercipta dari perlawanan,” jelas Max Lane.

Baca juga: 

Pramoedya, Lekra, dan Lentera

“Menurut saya, Pram seakan hendak menyampaikan pesan yaitu bahwa intervensi ke dalam proses-proses yang sedang berlangsung dalam sikap melawan bisa menciptakan hal di atas bumi manusia yang sebelumnya tidak ada. Pesan terselubungnya untuk generasi muda Indonesia yaitu, dulu rakyat Indonesia melalui mereka yang berani melawan bisa melakukan intervensi untuk menciptakan sesuatu yang baru. Tapi mengapa tidak bisa dilakukan lagi? Menciptakan situasi baru untuk Indonesia,” tambahnya.

Selain itu, Pram melalui karyanya Tetralogi Buru seakan hendak menyampaikan bahwa senjata untuk melawan penindasan dapat dilakukan dengan dua hal, yakni menulis dan berorganisasi. “Jika mereka yang tertindas memiliki pandangan atau analisa, itu harus disebarluaskan jangan sampai yang tersebar di masyarakat hanya ide-ide dari penguasa, dan menggalang kekuatan melalui organisasi,” sebut Max Lane.

Menulis sebagai alat melawan penindasan juga disorot oleh aktivis perburuhan, Anwar Sastro sebagai pemberi tanggapan atas paparan Max Lane. Menurutnya, menulis menjadi salah satu tantangan yang dihadapi kaum muda masa kini yang terjun dalam dunia aktivisme tanah air. “Kebanyakan kaum muda yang bergerak dalam dunia aktivisme suka membaca, tetapi menulis kurang. Padahal, munculnya teori-teori baru hasil dari praktik-praktik di lapangan yang disampaikan melalui tulisan juga penting untuk dilakukan. […] Sebab bila tak dilakukan, pada akhirnya hanya golongan-golongan tertentu saja yang tahu dan memahaminya,” ucapnya.

Sementara itu, aktivis dan Pengasuh Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar Bogor, Roy Murtadho, menyampaikan bahwa perhatian besar Pramoedya pada kemanusiaan dan perlawanannya terhadap penindasan yang tergambar jelas dalam berbagai tulisanya membuat karya-karyanya menjadi penting untuk dibaca oleh anak-anak muda di masa kini. “Agenda hidup Pramoedya adalah agenda pembebasan,” kata Roy.

Baca juga: 

Pramoedya dan Gelanggang Asia-Afrika

Menurutnya, karya-karya Pram menunjukkan semangat yang serupa, yakni untuk “menjebol” dan “membangun”. Feodalisme menjadi sasaran untuk dijebol, sementara gagasan membangun diartikannya untuk melanjutkan “proyek pembangunan” Indonesia yang belum selesai sejak negara ini merdeka.

Selain menulis dan berorganisasi, Max Lane juga menyerukan pentingnya menyediakan pelajaran sastra nasional untuk anak sekolah. Menurutnya, banyak sekolah di luar negeri telah membiasakan murid-muridnya untuk membaca, mendiskusikan, dan mengkritisi karya-karya para sastrawan. Pentingnya mempelajari sastra nasional mendorong sembilan organisasi yang menginisiasi diskusi ini –SPRI, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Serikat Pekerja Kampus (SPK), Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO), Solidaritas.net, dan Koreksi.org– membuat petisi yang mendesak pemerintah agar menjadikan sastra nasional Indonesia sebagai bagian dari kurikulum yang diberikan kepada anak sekolah, khususnya murid SMP dan SMA.

“Sebagai suatu karya sastra, karya-karya Pram ini adalah senjata untuk para pekerja. Jika Anda tahu siapa yang menindas, siapa yang mengisap, siapa yang mengambil keuntungan; pertanyaan-pertanyaan eko-politik itu bisa diketahui dari membaca karya Pram. Dari membaca itu, orang-orang akan menjadi kritis dan berani,” kata Roy.*

TAG

pramoedya ananta toer

ARTIKEL TERKAIT

Kala Berkidung Berujung “Awan Mendung” Dari Jalan Tengah ke Dwifungsi ABRI Lagi, Ribuan Arsip JFK Dirilis ke Publik Bayang-bayang Ali-Baba dalam UU Minerba Sintong Panjaitan jadi Incaran Imam Imran Trotskis yang Masuk Golkar Delegasi Srilanka Curi Perhatian dalam Konferensi Islam Asia Afrika Corak Militeristik dari Masa ke Masa Islam di Asia-Afrika Mendukung Palestina Konferensi Islam Asia Afrika Bikin Malaysia Senewen