Sastrawan Martin Aleida mewawancarai 19 orang Indonesia yang terpaksa kehilangan tanah airnya setelah peristiwa 1 Oktober 1965. Mereka menyeberangi berbagai negara dalam ketakutan, tanpa paspor, untuk menghindari pengejaran dari rezim Orde Baru yang berkuasa lebih dari tiga dasawarsa.
Mereka, yang oleh Gus Dur disebut “orang-orang klayaban”, tidak menyangka akan kehilangan kewarganegaraan. Padahal, mereka berada di negara lain dengan tujuan kembali ke Indonesia untuk menyumbangkan kemampuannya bagi kemajuan Indonesia. Akhirnya, mereka mendapat suaka dan tinggal di berbagai negara Eropa. Meski sudah menjadi warga negara lain, kecintaan terhadap Indonesia tidak pudar. Mereka tetap merasa Indonesia sebagai tanah airnya.
Sebagai orang yang terhalang pulang, mereka memang mendapat pengetahuan dan bisa melihat dunia. Tetapi mereka tidak dapat menyumbangkan kemampuannya untuk membangun Indonesia.
“Kemerdekaan bagi para eksil adalah pulang,” kata sejarawan Asvi Warman Adam dalam acara peluncuran buku Tanah Air yang Hilang karya Martin Aleida di Galeri Cemara, Jakarta, Sabtu, 12 Agustus 2017.
Sastrawan Leila S. Chudori mengatakan bahwa buku Tanah Air yang Hilang membantu anak muda untuk mengetahui banyak hal yang tidak tertera di buku pelajaran sejarah resmi. Hingga saat ini, pengajaran sejarah di sekolah tentang peristiwa 1 Oktober 1965 masih satu versi, yaitu versi Orde Baru. Kurikulum sejarah yang hanya mengajarkan satu versi tentang peristiwa 1965 membuat para siswa tidak banyak tahu tentang peristiwa tersebut. Oleh karena itu, guru sejarah menjadi ujung tombak dalam pengajaran sejarah kritis.
“Paling guru-guru sejarah progresif yang mengenalkan sejarah versi lain. Saya pernah tahu guru-guru di sekolah Katolik mengajarkan sejarah 1965 dalam versi lain, bukan versi pemerintah,” ujar Leila.
Selain itu, kata Leila, guru juga menjadi agen informasi untuk mengajak para siswa membaca buku-buku sejarah bangsanya agar bisa lebih kritis dalam menilai peristiwa sejarah. Oleh karena itu, pengajaran sejarah yang lebih kritis bisa didapatkan dari buku-buku memoar eksil dan buku sejarah yang menceritakan versi lain tentang 1965.
“Yang paling penting adalah mengajarkan sejarah sedini mungkin. Kalau anak kuliah sudah pasti tahu ke mana harus mencari,” kata Leila. “Buku memoar tentang para eksil dan versi lain dari peristiwa 1965 bisa menjadi jalan untuk para siswa mengetahui tentang sejarah bangsanya.”
Sementara itu, Asvi mengatakan bahwa pemerintah harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah para eksil. Tidak hanya mengupayakan mereka kembali ke Indonesia, pemerintah juga harus menjamin hidup mereka.
“Presiden tidak perlu minta maaf karena permintaan maaf belum tentu diterima. Yang perlu dilakukan adalah mengakaui ini sebagai fakta sejarah dan kesalahan yang terjadi di masa lalu,” kata Asvi.