KEHADIRAN perempuan Indonesia di legislatif merupakan hasil dari perjuangan panjang untuk mendapatkan hak pilih yang fondasinya dimulai dari jajaran Dewan Kota. Usaha tersebut bermula ketika Cornelia Hendrika Razoux Schultz-Metzer ditunjuk sebagai anggota Dewan Rakyat pada 1935. Perempuan Indonesia keberatan atas penunjukan itu lantaran tak ada wakil perempuan pribumi di Dewan Rakyat. Mereka lantas memprotes pemerintah Hindia Belanda agar memberikan hak pilih pada perempuan Indonesia.
Kendati pemerintah mengabaikan protes itu, Cornelia mau mendengarkannya. Pada 1937, dia ikut mengajukan mosi mendesak pemerintah kolonial memberikan hak pilih perempuan dari semua kelompok masyarakat. Usul Cornelia, tulis Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia, juga diabaikan Dewan Rakyat.
Desakan pada pemerintah Belanda terus dilancarkan. Banyaknya protes membuat pemerintah akhirnya mengabulkan keinginan mereka. Pemerintah menjamin hak pilih pasif perempuan dari semua ras untuk mengikuti pemilihan Dewan Kota (Gemeente Raad). Tapi para perempuan tidak punya hak untuk memilih dan hanya bisa dipilih. “Kemenangan itu 100% tergantung dari kemauannya kaum laki-laki karena kita, kaum perempuan, tidak berhak memilih anggota-anggota dewan gemeente,” tulis Maria Ullfah dalam artikelnya di Majalah Isteri Indonesia tahun 1941, “Soal Hak Pilih”.
Baca juga: Lika-liku Perjuangan Hak Pilih Perempuan
Pemberian hak pilih pasif di tingkat Dewan Kota itu menjadi setitik cahaya bagi gerakan perempuan. Menanggapi pemberian hak pilih pasif Dewan Kota pada Februari 1938, para perempuan kembali berkumpul. Kongres Perempuan Indonesia (KPI) III di Bandung, Juli 1938, membahas tentang kemungkinan diraihnya hak pilih aktif bagi perempuan dan strategi mengajukan wakil perempuan di Dewan Kota dalam pemilihan berikutnya. Hasilnya, empat perempuan Indonesia terpilih di Dewan Kota pada 1939. Siapa saja mereka?
Emma Poeradiredja
Emma malang-melintang dalam dunia pergerakan bersama beragam organisasi. Sejak mahasiswa dia aktif di Jong Java dan mengusulkan agar perempuan menduduki jabatan di organisasi tersebut karena melulu didominasi laki-laki. Sembari aktif di Jong Java, Emma rutin menulis di Majalah Tri Koro Darmo.
Selepas dari Jong Java, Emma bergabung dengan Jong Islaminten Bond (JIB) pada 1925. Kariernya melesat. Tak lama setelah masuk JIB, Emma dipercaya menjabat sebagai wakil JIB mendampingi Ir Moh. Nur. Pada akhir 1925, Emma naik menjadi ketua JIB, organisasi yang diwakilinya di Kongres Pemuda Indonesia.
Tergerak dengan semangat Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1927, Emma mendirikan Dameskring dengan tujuan memupuk semangat kepemimpinan perempuan. Anggotanya terdiri dari sembilan perempuan muda di Jawa Barat dengan rentang usia 17-23 tahun.
Emma, tulis Susan, merupakan tokoh penting dalam gerakan perempuan dan nasionalis di Jawa Barat. Pada peristiwa Sumpah Pemuda, Oktober 1928, Emma menjadi satu dari sedikit perempuan yang hadir. Pada April 1930, dia kembali mendirikan organisasi perempuan bernama Pasundan Istri (Pasi).
Di Kongres Perempuan Indoensia III di Bandung, Emma menjabat sebagai ketua kongres. Hasil kongres pimpinan Emma inilah yang menyepakati gerakan mulai mengawal isu hak pilih perempuan pribumi dalam tubuh parlemen Hindia. Keaktifan Emma memuluskan jalannya menduduki kursi anggota Dewan Kota Bandung pada 1939.
Baca juga: Perempuan Pertama di Parlemen Bandung
Siti Sukaptinah
Siti Sukaptinah atau Nyonya Sunario Mangunpuspito dikenal sebagai tokoh elite dalam gerakan perempuan. Sukaptinah aktif di Kongres Perempuan Indonesia (KPI) sejak pertama diselenggarakan, 1928. Ketika beberapa organisasi perempuan dilebur menjadi Isteri Indonesia, Sukaptinah dipercaya menjadi ketua selama dua periode.
Semasa kepemimpinannya, lewat Kongres Isteri Indonesia di Semarang, Isteri Indonesia memutuskan untuk memperingati KPI Pertama sebagai hari ibu. Di masa kepemimpinan Sukaptinah pula Isteri Indonesia getol mengawal isu hak pilih perempuan pribumi. Kedua usulan itu lantas dibawa ke KPI III di Bandung, yang dipimpin Emma Poeradiredja, dan diterima.
Selain di gerakan perempuan, Sukaptinah juga aktif dalam gerakan nasionalis. Sejak sekolah di MULO Ngupasan, Yogyakarta, dia ikut Jong Java –tempat dia bertemu Sunario Mangunpuspito yang kemudian jadi suaminya. Sukaptinah juga ikut JIB cabang Yogyakarta dan menjadi ketua JIBDA. Ketika pindah ke Semarang, Sukaptinah bergabung dengan Parindra sekaligus menjadi ketua Isteri Indonesia. Ketika hak pilih perempuan pribumi akhirnya diberikan, Sukaptinah masuk ke Dewan Kota Semarang melalui Parindra.
Baca juga: Kepak Sayap Dara asal Yogyakarta
Siti Sundari Sudirman
Sundari merupakan tokoh lama dalam gerakan perempuan. Di Kongres Perempuan Indonesia pertama (22 Desember 1928), Sundari yang hadir mewakili Putri Budi Sejati menjadi salah satu pembicaranya. Pidatonya membahas tentang nasib perempuan dalam perkawinan. Sundari mendorong perempuan untuk belajar, meningkatkan kepandaian diri, dan berani menyampaikan pendapat.
“Kita kaum perempuan haruslah memperpandai diri kita agar bisa dengan sungguh-sungguh mencukupi kebutuhan umum sesuai dengan tuntutan kehidupan zaman,” kata Sundari dalam pidatonya seperti dikutip Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama.
Putri Budi Sejati, organisasi asal Surabaya pimpinan Sundari atau dikenal dengan Nyonya Sudirman (bukan Siti Sundari adik dr. Soetomo), bergerak di bidang pemajuan dan pendidikan perempuan. Dalam Konferensi Putri Budi Sejati tahun 1937, Sundari mengatakan bahwa organisasinya tidak ikut dalam soal politik namun memberi kelonggaran pada anggotanya bila ingin bergerak di jalur politik.
Sundari menikah dengan R. Soedirman, wakil pengurus besar Parindra di Surabaya. Lewat Parindra pula Sundari masuk Dewan Kota Suarabaya pada 1939.
Baca juga: Di Balik Rapat Raksasa di Surabaya
Sri Oemiati
Sri Oemiati atau biasa disapa Yat, adalah adik dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo. Perempuan kelahiran 1903 ini menempuh pendidikan dasar di Koningin Wilhelmina School, Yogyakarta. Dia lantas melanjutkan pendidikannya ke Lyceum di Batavia.
Setamat sekolah, Oemiati menjadi guru sambil aktif dalam gerakan perempuan. Menurut Yat, gerakan perempuan dan guru berada di jalur yang sama, keduanya ingin mendidik dan memajukan kaum perempuan. Keseriusannya dalam bidang pendidikan membuat Yat memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Belanda pada 1927.
Di Belanda, Yat kuliah selama dua tahun di Den Haag untuk mengambil ijazah guru kepala sekolah (hoofdacte). Bersamaan dengan itu, adik Yat, Siti Sundari, berangkat ke Leiden untuk belajar hukum dan kemudian berteman dekat dengan Maria Ullfah. Sepulang dari Belanda, Yat aktif dalam gerakan perempuan, terutama dalam Kongres Perempuan Indonesia. Ketika usaha perempuan untuk mendapatkan hak pilih di tingkat kota dikabulkan pemerintah, Yat diangkat untuk mengisi kursi Parindra yang kosong di Cirebon pada 1941, dua tahun setelah pemilihan anggota Dewan Kota.
Baca juga: Soendari Gigih Lawan Poligami