Perjuangan mempertahankan kemerdekaan tak hanya tanggung jawab laki-laki. Para perempuan juga terpanggil untuk turut berjuang, mulai dari dapur umum, palang merah, hingga menjadi mata-mata.
Banyak perempuan yang berperan besar dalam perjuangan, namun kurang dikenal. Di antaranya lima perempuan ini yang menerima penghargaan Bintang Gerilya karena jasanya selama perjuangan melawan Belanda.
Erna Djajadiningrat Wani Menghadapi Belanda
Erna Djajadiningrat lahir di Serang, Banten, 4 Maret 1911. Dia merupakan perempuan pertama yang menerima Bintang Gerilya pada 1949 berkat jasanya selama perjuangan kemerdekaan. Dia mendirikan organisasi Wani (Wanita Indonesia) bersama Suwarni Pringgodigdo dan Maria Ullfah di Jakarta pada Oktober 1945. Dalam bahasa Sunda dan Jawa, wani artinya berani.
Menurut buku Seperempat Abad Badan Penghubung Organisasi-organisasi Wanita (BPOW) DKI Jakarta, Erna bertugas di dapur umum Wani bersama Maria Ullfah dan Ibu Subari, mula-mula di Jalan Mampang 47 kemudian pindah ke Pegangsaan Timur 19. Dapur umum menghimpun bahan makanan seperti ikan asin, rokok, daging kering, gula, kopi, beras dan lain sebagainya. Bahan-bahan makanan ini kemudian dikirim ke garis depan.
Baca juga: Para Perempuan dalam Perang Kemerdekaan
Sementara itu, bagian penjahit membuat pakaian seragam yang dikirimkan ke garis depan bersama pengiriman makanan. Anggota Barisan Putri Indonesia dan ibu-ibu pekerja di kantor-kantor membantu mengumpulkan bahan-bahan makanan dan mengirimkannya ke garis depan.
Erna yang dijuluki “Si Nona Keras Kepala” oleh Jepang dalam menyelenggarakan dapur umum benar-benar berkarakter wani. Dia pernah diperiksa oleh Belanda setelah mereka mengetahui kegiatan dapur umum Wani yang sebenarnya. Kepada Belanda, Erna mengatakan bahwa kegiatan dapur umum untuk membantu rakyat dengan makanan. Sementara itu, kegiatan pokok mengirim makanan ke garis depan tetap berlangsung.
Baca juga: Tonggak-tonggak Gerakan Perempuan Indonesia
Belanda juga menggeledah rumah Erna. Meski tidak berhasil menemukan bukti bahwa Wani bekerja untuk kepentingan perjuangan, Belanda tetap melarang Wani. Erna mengubah Wani menjadi PSKP (Panitia Sosial Korban Politik) agar pengiriman makanan ke garis depan tetap berjalan, sehingga para pejuang bisa terus melanjutkan perjuangan.
Pada waktu penandatanganan penyerahan kedaulatan di Jakarta pada 27 Desember 1949, Erna bersama Maria Ullfah dan Ibu Yamin menjadi anggota delegasi dengan ketua Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. Roofink.
Erna pernah menjadi kepala urusan pendidikan wanita pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dia meninggal di Rumah Sakit Setia Mitra Jakarta, 8 November 1984 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Bu Ruswo Pahlawan dari Dapur Umum
Bu Ruswo berperan penting pada masa revolusi fisik di Yogyakarta. Ia tak mengangkat senjata dan maju ke medan pertempuran, tapi berjuang di belakang layar dengan memasok logistik bagi para prajurit.
Lahir dengan nama Kusnah pada 1905 di Yogyakarta, ia kemudian lebih dikenal sebagai Bu Ruswo sejak menikah dengan Ruswo Prawiroseno. Pada 1928, ia mulai aktif dalam berbagai organisasi. Mulanya ia bergabung dengan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO), organisasi kepanduan yang berdiri pada 1926. INPO kemudian melebur dengan beberapa kepanduan lain menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).
Baca juga: Sejarah Kepanduan hingga Pramuka
Selama aktif dalam kepanduan, Bu Ruswo sering kali mengurus logistik. Pada zaman pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Badan Pembantu Prajurit Indonesia (BPPI). BPPI kemudian berubah menjadi Badan Penolong Keluarga Korban Perjuangan. Karena keaktifannya, ia bersama Lasmidjah Hardi pernah dipanggil pemerintah Dai Nippon.
Selama revolusi fisik di Yogyakarta, Bu Ruswo mengorganisir dapur-dapur umum di setiap kantong pasukan Republik. Ia juga menggerakkan para perempuan agar turut membantu perjuangan dari belakang layar, di samping mengumpulkan sumbangan penduduk untuk memenuhi kebutuhan logistik.
Baca juga: Dapur Umum: Dapur Ngebul, Senapan Ngepul
Meski dikenal sebagai pahlawan dari dapur umum, Bu Ruswo sebenarnya tak melulu mengurus makanan. Ia sempat bergabung dengan Komite Pembela Buruh Perempuan Indonesia, Komite Penyokong Perguruan Indonesia, hingga Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A).
Dalam Penghancuran Gerakan Perempuan, Saskia Wieringa mencatat, Bu Ruswo turut hadir dalam Kongres Persatuan Perkumpulan Isteri Indonesia (PPII) II di Surakarta pada 1932 di mana isu perdagangan perempuan santer diperbincangkan. Namun, lantaran sudah terlanjur dikenal sebagai pahlawan dari dapur umum, aktivitas maupun pemikiran Bu Ruswo dalam berbagai organisasi perempuan hampir tak tercatat. Atas jasa-jasanya, pada 1958 Bu Ruswo dianugerahi Bintang Gerilya oleh Presiden Sukarno yang diberikan bersama penganugerahan untuk almarhum Jenderal Soedirman dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Nama Bu Ruswo diabadikan menjadi nama jalan di Yogyakarta, Jalan Ibu Ruswo.
Raharti Pengagum Kartini yang Berani
Raharti yang mengagumi R.A. Kartini turut andil dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bersama suaminya seorang tentara dengan pangkat letnan dua di masa revolusi, Raharti berperan sebagai penghubung para pejuang di kota sebagai medan pertempuran.
Dalam Mutiara, 2 Januari 1985 (koleksi surat kabar langka Perpustakaan Nasional RI) disebut Raharti bertugas sebagai pemasok makanan untuk para pejuang di garis depan dengan berpura-pura sebagai wanita desa membawa bahan pangan seperti jagung, ketela, beras, dan lainnya. Lama-kelamaan pasukan Belanda mencium gerak-geriknya.
Baca juga: Kisah Perempuan Pemenggal Prajurit Gurkha
Pada 21 April 1949, ketika Raharti sedang salat Isya, satu peleton serdadu Belanda menggeladah rumahnya. Ia akhirnya dibawa untuk diinterogasi tentang pasukan gerilya Indonesia terutama tempat persembunyian mereka. Karena Raharti tidak membuka mulut, rentetan peluru menembus tubuhnya. Beruntung nyawanya masih dapat diselamatkan.
Raharti meninggal dunia pada 1957. Kuburannya hanya berselang beberapa meter dari makam Panglima Besar Jenderal Soedirman. Atas jasa-jasanya, pada Hari Pahlawan 10 November 1961, Presiden Sukarno menganugerahkan Bintang Gerilya.
Nyonya Supiyah Pelindung Pasukan Republik
Nyonya Supiyah menerima Bintang Gerilya karena telah menyelamatkan satu peleton pasukan Republik berjumlah 27 orang di Nongkojajar, Malang, dari bahaya maut.
A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Perang Gerilya Semesta menceritkan, setelah bergerilya dari Agustus hingga November 1946 di daerah Tengger, peleton Sumarjono dari Kompi Sujono Gaplek beristirahat di desa yang menjadi pangkalannya. Pada 22 November 1946 pukul 05.30 tiba-tiba desa tersebut didatangi kurang lebih satu kompi tentara Belanda.
Baca juga: Ketika Pedagang Ikut Berjuang
“Dengan tenang Nyonya Supiyah menyambut komandan pasukan tersebut. Sembari menggendong anaknya yang masih berumur 2 tahun, Nyonya Supiyah mengatakan bahwa di desa itu tak ada tentara sama sekali,” tulis Nasution.
Nyonya Supiyah kemudian memberikan isyarat kepada peleton Sumarjono agar meloloskan diri melalui belakang rumah. Rumah-rumah di pegunungan daerah Tengger, sebagian besar di belakangnya ada jurang. Dengan turun ke jurang, peleton Sumarjono pun selamat dan dapat melanjutkan perjuangan.
Ho Wan Moy dari Palang Merah hingga Mata-mata
Ho Wan Moy, yang kemudian berganti nama menjadi Tika Nurwati, merupakan perempuan asal Jawa Tengah yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan sejak usia 13 tahun. Sebelum memberanikan diri terjun ke kancah pertempuran, perempuan yang dipanggil “Amoy” oleh tentara Republik ini, harus mengalahkan trauma dan ketakutan setelah seorang laki-laki mengancam membunuhnya karena ia seorang Tionghoa.
Ahmad Najib Burhani dalam Dilema Minoritas di Indonesia menyebut selama revolusi fisik, Ho Wan Moy bertugas sebagai anggota Palang Merah Indonesia dan Laskar Wanita Indonesia. Awalnya ia menjadi penunjuk jalan bagi pejuang dari Jakarta ke tempat-tempat persembunyian tentara di pegunungan Banjar. Lalu ia belajar merawat pejuang yang terluka. Ia kemudian menangani logistik para tentara sekaligus menjadi mata-mata.
Baca juga: Menjebak Antek Belanda via Asmara
Dua hari sekali Ho Wan Moy menempuh perjalanan sejauh 20 km melewati gunung terjal dengan berjalan kaki untuk membeli bahan makanan. Pada awalnya semua isi gudang beras dan singkong milik ibu serta neneknya disumbangkan untuk para gerilyawan. Namun, ketika persediaan sudah habis, ia sembunyi-sembunyi belanja ke kota dengan risiko ditangkap Belanda.
Atas keberanian serta jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, Ho Wan Moy menerima Bintang Gerilya dan Bintang Veteran. “Ia ikut melahirkan Indonesia dengan darah dan air mata. Ia adalah Srikandi Indonesia,” kata teman-temannya sesama veteran.