Bagi orang Bekasi dan sekitarnya, Kiai Nur Ali adalah legenda. Namanya bukan saja kerap disebut orang-orang tua, para bocah di sana pun mengenal kiprahnya sebagai pejuang besar. Lelaki kelahiran Bekasi tahun 1914 ini begitu popular karena dia mantan pimpinan pejuang dan pegiat pendidikan.
“Beliau adalah pendiri Lembaga Pendidikan Islam At-taqwa, salah satu pesantren terbesar di Bekasi,” ujar Benny Rusmawa (44), anggota komunitas sejarah Front Bekasi kepada Historia.
Kebesaran nama Kiai Nur Ali sebagai seorang pejuang diakui oleh Abdullah (92), anak buah sang kiai di MPHS (Markas Poesat Hisboellah-Sabilillah). Menurutnya, kegigihan Kiai Nur Ali dan pasukannya menyebabkan dia menjadi buronan utama militer Belanda. “Tapi karena Kiai dianugerahi kesaktian oleh Allah Swt., dia selalu lolos saat akan diringkus tentara Belanda. Makanya, wajar kalau orang-orang menjulukinya sebagai Si Belut Putih,” kata Abdullah.
Kesaktian Kiai Nur Ali pernah dibuktikan oleh Mat Ali (88), anggota MPHS. Ceritanya, suatu pagi sang kiai mengumpulkan sekitar 15 anak buahnya untuk latihan melemparkan granat di lapangan Ujungmalang, perbatasan Bekasi-Karawang. Dari sebuah kursi kayu, dia memerintahkan agar granat-granat itu dilemparkan ke arahnya. Mulanya mereka ragu, namun setelah diyakinkan oleh sang kiai, tanpa berpikir lagi granat-granat itu dilemparkan. Glarrrr! Begitu granat-granat meledak, sang kiiai pun lenyap.
“Engkong pikir kiai sudah hancur berkeping-keping, eh, tahunya setelah dicari-cari, dia lagi ngaji di rumahnya,” kenang Mat Ali.
Lain Kiai Nur Ali, lain juga Haji Darip. Jagoan kelahiran Klender sekitar tahun 1886-an itu dikenal sebagai godfather, yang menurut sejarawan Robert B. Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries, berhasil memadukan kepahlawanan dengan kriminalitas. Lewat BARA (Barisan Rakyat Indonesia) yang belakangan melebur ke dalam LRDR (Lasjkar Rakjat Djakarta Raja), secara leluasa dia bisa mengembangkan bisnisnya dengan memeras orang-orang Tionghoa, Belanda dan Indo sekaligus menyalurkan hasrat patriotismenya dengan melawan militer Belanda.
Namun, soal praktik kriminalitas itu dibantah keras oleh Ahmad Khurriyani (71), putra bungsu Haji Darip. Alih-alih melakukan pemerasan terhadap orang-orang Tionghoa, Haji Darip justru banyak melindungi mereka. Tersebutlah pada akhir 1945, masyarakat Jakarta disengat semangat melawan dominasi orang asing. Tak terkecuali di wilayah Klender, Jakarta Timur. Sialnya, bukan hanya orang-orang Belanda atau Jepang saja yang jadi sasaran, orang-orang Tionghoa yang sudah hidup beranak pinak di sana, juga jadi sasaran kemarahan.
Akibatnya, banyak toko milik orang Tionghoa yang dirampok. Bahkan tak jarang, dalam insiden itu jatuh korban jiwa. Untuk keluar dari masalah itu, orang-orang Tionghoa itu lantas meminta tolong kepada Haji Darip. Bukannya membuat seruan, jagoan Klender itu malah memberikan salah satu fotonya untuk diperbanyak. Dia menyarankan kepada orang-orang Tionghoa itu untuk menempelkan gambar foto dirinya tersebut di pintu rumah dan toko mereka. Perintah itu lantas dilaksanakan.
“Alhasil, sejak itu tak ada satu pun orang yang berani lagi melakukan penggendoran dan perampokan terhadap masyarakat Tionghoa di Klender,” ungkap Khurriyani kepada Historia.
Jika Haji Darip kerja sama dengan anak-anak muda penganut nasionalisme radikal yang tergabung dalam LRDR, maka Kiai Nur Ali lebih nyaman membangun aliansi dengan tentara pemerintah. Bahkan, menurut Abdullah, hubungan Kiai Nur Ali dengan komandan TRI (Tentara Republik Indonesia) setempat, yakni Kapten Lukas Kustaryo ibarat hubungan abang dan adik.
“Kalau kami tidak punya peluru kami tak segan-segan minta ke Pak Lukas. Begitu juga jika anak-anak Siliwangi kelaparan, kami yang kasih mereka makanan,” ujarnya.
Belum jelas bagaimana hubungan antara Lukas dengan Haji Darip. Namun, selaku mitra Siliwangi, Kiai Nur Ali sendiri memilih untuk “menjaga jarak” dengan kelompok Haji Darip. Kepada anak buahnya, dia sering bilang: “MPHS berjuang karena Allah bukan untuk kaya.”
“Karena pantang bagi kami memodali perjuangan lewat cara-cara merampas dan memeras. Tapi sebagai sesama orang Indonesia, kami tak mau bentrok dengan lasykar-lasykar yang kerap melakukan itu, karena musuh kami adalah tentara Belanda,” tutur Mat Ali.