SEBUAH undangan dari aktivis perempuan India datang kepada Siti Sukaptinah (Nyonya Sunaryo Mangunpuspito) saat Perang Kemerdekaan masih berkecamuk. Undangan itu berisi permintaan agar Sukaptinah hadir dalam All Indian Women’s Congress yang diselenggarakan di Madras, November 1947.
Sukaptinah bingung. Di satu sisi dia ingin datang untuk mengabarkan kemerdekaan Indonesia yang baru berumur dua tahun supaya mendapatkan pengakuan dari negara lain. Di sisi lain, dia tak punya modal. Jangankan paspor, uang pun tak ada. Berkunjung ke luar negeri di tengah situasi krisis menjadi hal yang agak muskil dilakukan.
Tapi tekad Sukaptinah kadung membara. Bermodal kenekatan, dia akhirnya mengepalai keberangkatan delegasi Indonesia ke India. Sukaptinah ditemani Utami Suryadarma dan Sulianti Soekonto. Dalam rombongan itu hadir pula Herawati Diah, wartawan Harian Merdeka yang ditugaskan meliput.
Mereka semua menumpang pesawat Kalingga Airlines milik Bijayananda (Biju) Patnaik, pengusaha dermawan India kepercayaan Jawaharlal Nehru. Patnaik kerap mengemban misi rahasia bolak-balik terbang ke Yogyakarta untuk membawakan obat-obatan juga bantuan lain untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kebetulan, kala itu Patnaik di Yogyakarta untuk menemui Sukarno.
Baca juga: Jasa Patnaik untuk Republik
Informasi tentang rencana kepulangan Patnaik ke India didapat dari suami Utami, Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Soeriadi Suryadarma. Sukaptinah, kala itu merupakan anggota Badan Pekerja Komisi Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), langsung melobi sekretariat negara untuk menjadi perantara agar rombongan Korps Wanita Indonesia (Kowani) bisa menumpang pesawat Patnaik. Lobi Sukaptinah berhasil.
Pesawat bertolak ke India pada akhir 1947. Saat transit di Singapura, rombongan disambut Mr. Oetojo Ramelan, kakak Utami, yang menjadi anggota perwakilan RI di Singapura. Utami menceritakan dalam memoarnya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air, selama di Singapura mereka mengurus siaran radio luar negeri dan mengadakan konferensi pers dengan para wartawan Singapura untuk memberitakan kemerdekaan Indonesia.
Setelah menyelesaikan tugas, Sukaptinah dan rekan-rekannya cuci mata ke pusat perbelanjaan di Arab Street dan Change Aley. Mereka keasyikan jalan-jalan lantaran lama tak melihat barang mewah dan pernak-perik lucu. Alhasil, keempat perempuan itu terlambat sampai lapangan terbang. Muka masam Patnaik dan kru yang marah langsung menyambut mereka.
Sesampainya di New Delhi, mereka langsung menggunakan kesempatan untuk menemui Mahatma Gandhi guna memperbincangkan kemerdekaan Indonesia. Baru setelah itu mereka terbang ke Madras, India Selatan. Di Madras, Sukaptinah dan rekan-rekan menginap di rumah Swaminatham yang juga peserta kongres.
Baca juga: Utami Mendobrak Kungkungan Adat Jawa
Sebagai Ketua Kowani dan kepala delegasi Indonesia, Sukaptinah menceritakan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang menarik simpati peserta kongres. Dalam kongres itu delegasi Indonesia berkenalan dengan tokoh perempuan India, seperti aktivis buruh dan ketua kongres Shrimati Anusuyabai Kale, penulis kenamaan Avabai Bomanji Wadia, dan pengacara perempuan Mithan Jamshed Lam. Mereka saling tukar pikiran, terlebih soal politik perempuan. Sukaptinah yang sudah malang-melintang dalam gerakan perempuan sejak era kolonial menemukan kesamaan perjuangan dengan perempuan India.
Gerak dalam Politik
Sepakterjang Sukaptinah dalam gerakan perempuan terkenal sejak era kolonial. Selain aktif di berbagai organisasi, seperti mengikuti kongres perempuan sejak pertama diadakan, Sukaptinah ikut membidani beberapa organisasi perempuan seperti Istri Indonesia. Sukaptinah ikut membubarkan Fujinkai dan menggantinya dengan Perwani yang merupakan fusi dari beberapa organisasi perempuan.
Di pemerintahan, Sukaptinah pernah duduk di Dewan Kota Semarang (Gemeente Raad Semarang) sebagai wakil perempuan dari Parindra. Setelah dari Parindra, Sukaptinah bergabung dengan Masyumi pada 1946, persis setelah pindah dari Jakarta ke Yogyakarta bersama rombongan presiden. Ia masuk anggota Pengurus Besar (PB) Muslimat Masyumi, diketuai Zainab Damiri yang kelak menjadi perempuan pertama di DPRD DIY.
Keaktifan Sukaptinah di Masyumi, tulis Sri Sjamsiar Issom dalam tesisnya “Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito Sosok Wanita Pergerakan Indonesia (1928-1956)” terus berlanjut hingga ia naik menjadi ketua PB Muslimat Masyumi. Pada 1950 ia menjadi anggota DPRS dan menjadi wakil ketua panitia Rancangan Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran. Pada pemilu 1955, Sukaptinah mencalonkan diri sebagai wakil perempuan dari Masyumi untuk pemilihan anggota DPR. Ia terpilih sebagai satu-satunya perempuan yang duduk di DPR plus menjadi anggota Dewan Konstituante.
Baca juga: Sukaptinah Berjuang Agar Bangsa dan Kaumnya tak Dijajah
Ketika UU Perkawinan yang adil dibahas di parlemen, sikap Sukaptinah berubah. Jika di masa kolonial dia bergabung dan menjadi ketua Istri Indonesia yang menentang poligami, di parlemen dia tampak mendukung. Dukungan itu terlihat kala Komisi Nikah Talak dan Rujuk tak kunjung menggolkan RUU perkawinan yang adil. Nyonya Sumari, anggota DPR dari fraksi PNI, maju membawa usulan tentang hukum pernikahan yang menolak keras poligami. Usulan itu ditentang Sukaptinah.
Perubahan sikap Sukaptinah, seperti ditulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, lantaran ia datang dari golongan Islam. Menurut Saskia, perempuan yang tergabung dalam organisasi Islam sayap perempuan cenderung berada di posisi pro poligami. Hal ini lantaran induk organisasi mereka yang dikuasai kaum laki-laki mengambil posisi pro sehingga sayap perempuannya mau-tak-mau harus mengekor. Secara pribadi, beberapa anggota organisasi Islam sayap perempuan menolak poligami secara diam-diam atau memilih tak bersuara.
Keaktifan Sukaptinah dalam tiga lembaga di kota yang berbeda membuatnya harus bolak-balik Yogyakarta-Jakarta-Bandung. Anak dan suaminya tinggal di Yogyakarta, kerja-kerja DPR dilakukan di Jakarta, sementara Konstituante di Bandung. Perjalanan Sukaptinah dari kota ke kota itu berakhir di masa Demokrasi Terpimpin ketika Sukarno membubarkan Masyumi dan PSI serta menekan simpatisannya. Karena partainya dibubarkan, otomatis Sukaptinah keluar dari DPR. Sukaptinah juga disingkirkan dari kepengurusan Kowani, seperti halnya Maria Ullfah.
Baca juga: Perkawinan Anak yang Tak Kunjung Hilang
Sukaptinah kembali ke Yogyakarta dan tetap aktif dalam gerakan perempuan, antara lain dengan mendirikan Wanita Islam –organisasi perempuan independen yang bukan sayap organsasi– pada 1962. Sukaptinah juga membidani kelahiran Badan Musyawarah Wanita Islam Yogyakarta (BMWIY), semacam forum kerjasama antar organisasi perempuan Islam di Yogyakarta.
Atas jasanya dibidang politik dan gerakan perempuan, pemerintah menganugerahinya Bintang Mahaputra paa 1993, dua tahun setelah Sukaptinah meninggal. Penerimaan anugerah itu diawakili Indiarto, anak Sukaptinah.