Masuk Daftar
My Getplus

Dirikan Media, Cara Murba Tangkis Komunis

Untuk menghadapi komunis yang makin eksis, duet Chairul Saleh dan Hasjim Ning mendirikan media. Berumur pendek.

Oleh: M.F. Mukthi | 19 Nov 2019
Hasjim Ning dan Presiden Sukarno meninjau maket Hotel Banteng (kini Hotel Borobudur). (Repro Pasang Surut Pengusaha Pejuang).

SUATU hari, Hasjim Ning, pengusaha nasional berjuluk "Raja Mobil Indonesia" sekaligus kepoanakan Bung Hatta, kedatangan seorang dari Angkatan Darat (AD). Orang itu mengajak Hasjim mendirikan media untuk mengisi kekosongan media-media non-komunis pasca-pembredelan oleh pemerintah pada awal 1960-an. 

Hilangnya media-media non-komunis membuat banyak pihak, terutama AD selaku lawan politik PKI, khawatir terhadap semakin menguatnya media-media kiri. Oleh karena itu AD getol mengajak berbagai pihak untuk mendirikan media baru guna mengimbangi media-media kiri.

Namun, Hasjim tak bisa memenuhi ajakan tersebut. “Menerbitkan surat kabar penuh mengandung risiko,” kata Hasjim dalam otobiografi berjudul Pasang Surut Pengusaha Pejuang.

Advertising
Advertising

Pendirian Hasjim baru goyah ketika suatu hari dia didatangi sahabatnya, Waperdam III Chairul Saleh. “Barulah ketika Chairul Saleh membicarakannya, hatiku tergerak,” sambung Hasjim.

Baca juga: Misi Pengusaha Sebelum Supersemar

Penjelasan panjang-lebar Chairul yang merupakan tokoh Murba membuat Hasjim tertarik untuk membuat media cetak. Namun, Hasjim yang buta tentang pers, bingung siapa orang yang bisa dipercayainya untuk memimpin.

“Tengku Sjahril bisa. Ia tidak terlibat menentang Bung Karno. Ia dipecat dari Antara karena bertentangan dengan Djawoto,” jawab Chairul.

Mendengar nama yang disebutkan Chairul, Hasjim pun lega. Tengku Sjahril merupakan orang yang sudah dikenal Hasjim secara pribadi. Hasjim pun mengundang yang bersangkutan beberapa hari kemudian. Namun, Sjahril tak bisa memberi kepastian saat itu juga apakah bersedia memimpin media yang akan didirikan Hasjim. Dia meminta waktu untuk memikirkan lebih masak. Beberapa nama yang dikenalnya dekat, seperti Marthias Dusky Pandoe, mantan wartawan Abadi, lalu diajaknya bergabung.

“Sekitar tahun 1961 saya diajak Tengku Sjahril (mantan Ketua PWI Pusat) mendirikan surat kabar Semesta. Beliau datang sendiri ke rumah saya di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Tengku Sjahril berusaha menampung beberapa wartawan surat kabar yang diberangus. Saya diangkat jadi redaktur pelaksana,” ujar Marthias Dusky Pandoe dalam memoar berjudul Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas.

Bersama Pandoe dan lain-lain, Sjahril kembali ke rumah Hasjim beberapa waktu kemudian sekaligus membawa konsep. Konsep itu matching di kepala Hasjim.

“Setelah aku serahkan modal kerja sebagaimana yang aku janjikan, tak lama kemudian terbitlah surat kabar mereka itu. Semesta namanya. Kepada Tengku Sjahril aku pun memberinya sebuah sedan Fiat, agar ia kelihatan representatif sebagai pemimpin redaksi. Dan aku juga menyerahkan sebuah mobil van, yang akan dapat digunakan macam-macam keperluan redaksi dan administrasi oleh Marthias Pandoe,” kata Hasjim.

Berbagai cara dilakukan para awak yang bekerja keras mengembangkan Semesta. Antara lain dengan mengajak kenalan-kenalan untuk mengirimkan tulisan. “Saya ingat Buya Mansjur Daud Datuk Palimo Kayo, mantan Duta Besar RI untuk Irak, kami minta mengisi Mimbar Agama setiap hari Jumat di Semesta. Dalam tulisan sekali seminggu itu beliau menggunakan nama samaran Abu Zaim,” kata Pandoe.

Sementara Semesta berjalan, Chairul kembali mendatangi Hasjim. Dia minta Hasjim membuat sebuah media baru lagi khusus untuk di Sumatera Barat. “Orang Minangkabau telah mati kutu semenjak PRRI telah dikalahkan. Kepala mereka harus ditegakkan lagi. Di sana mesti ada koran yang antikomunis,” kata Chairul, dikutip Hasjim.

Baca juga: Tinju Chairul Hampir Mendarat di Wajah Aidit

Kali ini Hasjim langsung tertarik, namun dia tak tahu siapa yang akan menjalankannya. Beberapa hari kemudian, empat “orang” Chairul, yakni Darmalis (Antara); Syaifullah Alimin dan M. Hamidy (dinas penerangan angkatan laut), dan Marthias Pandoe (Semesta), bertandang ke rumah Hasjim membawa konsep-konsep yang akan digunakan untuk media baru itu.

Hasjim terpikat dengan konsep yang mereka paparkan. Dana untuk modal pun langsung dikeluarkannya. “Surat kabar itu namanya Aman Makmur dan diterbitkan pada tahun 1963,” kata Hasjim.

Chairul Harun, mantan redaktur Sinar Masa, dipercaya menjadi pemimpin redaksi. Harun Zain (Gubernur Sumbar 1966-1977) diikutsertakan dengan menjadi penasehat.

Seperti Semesta, tulisan-tulisan di Aman Makmur dibuat oleh para penulisnya dan para kontributor. Novelis AA Navis dan wartawan Rosihan Anwar merupakan di antara kontributor yang rutin mengirim tulisan. Rosihan menggunakan nama pena Muttaqa’id –berarti orang yang sedang berdiam diri– di media tersebut.

Dalam waktu singkat, Aman Makmur tumbuh pesat. Popularitasnya melesat di kalangan pembaca lokal.

Sementara roda kehidupan Aman Makmur bergulir lancar, Semesta punya jalan beda. “Nasib buruk menimpa harian Semesta. Menteri Penerangan Orde Lama Achmadi menggunakan tangan besi memberangus surat kabar ini selama-lamanya,” tulis Pandoe.

Seperti di Semesta, para awak Aman Makmur juga terus bersiasat dalam menjalankan roda medianya lantaran tujuan utama pendiriannya memang politis. “Selain mengelola surat kabar kami selalu menghubungi para cendikiawan, mahasiswa, terutama dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang memang kini diyakini antikomunis,” kata Harun Zain dikutip buku yang dieditori Abrar Yusra, Tokoh Yang Berhati Rakyat: Biografi Harun Zain. Aman Makmur juga mendukung Barisan Pendukung Sukarnoisme, organisasi bentukan Murba untuk melawan komunis, yang diketuai Adam Malik.

Baca juga: Murba Dukung Demokrasi Terpimpin, Tan Malaka Jadi Pahlawan Nasional

Balutan permainan politik dengan output kritik-kritik pedas terhadap pemerintah yang hampir selalu muncul di artikel-artikelnya membuat Aman Makmur akhirnya tercium lawan politik. “Orang-orang PKI menciumnya, hingga dilontarkan pulalah tuduhan bahwa Aman Makmur korannya PSI (Partai Sosialis Indonesia), partai politik musuh buyutan PKI,” sambung Harun.

Pada Maret 1965, Aman Makmur akhirnya menyusul Semesta. “Setelah terbit beberapa tahun, tangan Achmadi jua yang memberangusnya. Alasannya kami anti-Nasakom (nasionalis-agama-komunis), tegasnya antikomunis. Ketiga unsur politik ini sangat berkuasa waktu itu,” tulis Pandoe.

TAG

murba hasjim ning chairul-saleh adam-malik

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Chairul Saleh Ogah “Memijat” Sukarno Masuk Desa Tanpa Busana Karena Diserang Belanda Chairul Saleh dan Laut Teritorial Indonesia Tentara Rakyat Ikut Murba Jejak Langkah Sang Pengikut Tan Malaka Murba Dukung Demokrasi Terpimpin, Tan Malaka Jadi Pahlawan Nasional Spionase Paman Sam Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan