Masih segar dalam ingatan kita aksi Menteri Sosial Tri Rismaharini ingin "membuang" pegawai lalai ke Papua. Belum lama ini, Risma kembali jadi sorotan publik karena mengamuk saat memimpin rapat di Gorontalo. Sekonyong-konyong, Risma beranjak dari tempat duduknya menghampiri salah seorang peserta rapat dari dinas sosial lalu meluapkan kemarahan sambil menudingnya dengan pulpen.
“Kamu tak tembak ya,” hardik Risma kepada petugas Program Keluarga Harapan (PKH) itu.
Risma berang karena data penerima bantuan sosial tidak sesuai dengan data Kementerian Sosial. Buntut dari kemarahan Risma, kepala Dinas Sosial Gorontalo dipecat. Meski niatnya baik, cara Risma dinilai tidak patut. Gubernur Gorontalo dikabarkan tersinggung dengan Risma yang memarahi pegawainya.
Baca juga: Membuang Orang Pergerakan ke Papua
Kerap meledak-ledak dan kesulitan mengontrol emosi seakan identik dengan karakter Risma. Hal ini sudah teramati sejak Risma menjabat walikota Surabaya. Perangai Risma seperti itu tidak pelak memantik kontroversi. Ada yang menganggapnya wajar dan bisa diterima. Namun, sebagian kalangan merasa sikap Risma berlebihan, bahkan perlu menjalani terapi emosi.
Pejabat temperamental juga pernah bikin Wakil Presiden Moh. Hatta tercengang. Sosok yang dimaksud Bung Hatta ialah Amir Sjarifuddin. Di masa revolusi, Bung Hatta dan Amir berkolega dalam pemerintahan. Di masa awal kemerdekaan, Hatta menjadi wakil presiden sementara Amir menjabat menteri penerangan yang pertama.
Rekanan dalam pemerintahan berlanjut sampai tahun 1948. Hatta tetap menjadi wakil presiden sementara Amir menjabat sebagai perdana menteri merangkap menteri pertahanan. Namun, Amir gagal mempertahankan kabinetnya setelah Perjanjian Renville. Setelah mengembalikan mandat kekuasaan, Amir berada di luar pemerintahan sebagai oposisi. Amir kemudian memimpin Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang kemudian membawanya terlibat dalam Peristiwa Madiun. Sementara itu, Hatta menggantikan Amir sebagai perdana menteri dan membentuk Kabinet Hatta I. Keadaan demikian menyebabkan Amir dan Hatta saling berhadap-hadapan sebagai lawan politik.
“Amir adalah salah seorang pemimpin yang sulit saya analisa sifat-sifatnya. Ia suka marah-marah,” tutur Bung Hatta kepada Zainul Yasni dalam Majalah Sari Pers, November 1976.
Baca juga:
Kisah Bung Amir Sjarifuddin dalam Pelarian
Sifat-sifat Amir itu, kata Hatta, kerap dimanfaatkan rekan-rekan Amir dari kelompok PKI seperti Tan Ling Djie. Amir kerap diprovokasi sehingga mempengaruhi kestabilan emosinya. “Bila Amir dikritiknya (Tan Ling Djie) sebagai kurang radikal, Amir marah-marah, bahkan sampai memukul istrinya di rumah,” ujar Hatta.
Telaah yang hampir senada dikemukakan Abu Hanifah, sahabat Amir Sjarifuddin di masa muda. Dalam Prisma, 8 Agustus 1977, Abu Hanifah mengatakan, Amir menjadi tertekan dan gugup sejak kedatangan Musso dari Moskow. Sejak kedatangan Musso, gerakan FDR semakin radikal yang mengarah pada pemberontakan.
“Ia terus-menerus dalam ketegangan, tensi-tensi, mungkin karena senantiasa dalam tekanan,” ungkap Abu Hanifah. Tekanan itu, menurut Abu Hanifah, adalah perasaan, bahwa dengan kedatangan Musso dan beralihnya aliran perjuangan kaum sosialis radikal Indonesia yang menjurus kepada komunisme.”
Menjelang Peristiwa Madiun pada September 1948, seperti disimpulkan sejarawan Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak, keseimbangan batin Amir tampak terganggu. Kehadiran Musso sangat membebani dirinya. Ini cocok dengan kepribadian Amir: brilian dan sangat ambisius, juga emosional, tidak sabar, dan gampang goyah. Dalam kegamangan itu, Amir kemudian terjerumus dalam pemberontakan yang gagal sekaligus mengakhiri riwayatnya.
Baca juga:
Detik-detik Terakhir Hidup Amir Sjarifuddin
Namun, Bung Hatta sendiri meragukan Amir sebagai seorang komunis. Menurut Hatta, Amir adalah seorang intelektual yang figurnya sukar ditebak. Amir, lanjut Hatta, seorang terpelajar yang tahu komunis (anti Tuhan) dan seorang Kristen (ber-Tuhan). Menghadapi Bibel, ia Kristen. Menghadapi politik dan masyarakat, ia komunis.
“Bagaimana orang semacam itu menganalisanya, saya tidak tahu. Terserahlah kepada psycholoog, ahli ilmu jiwa,” pungkas Hatta dalam Sari Pers.