KABAR kedekatan Sukarno dengan Hartini tidak lepas dari perhatian pemerintah. Kawan seperjuangan Sukarno masa pergerakan Ali Sastroamidjojo, waktu itu menjabat perdana menteri, berusaha mencegah terjadinya skandal. Ali menyarankan agar Sukarno menjalin hubungan secara diam-diam, agar tak menjadi gosip nasional. Sukarno tak ambil pusing. Toh, pada akhirnya dia tetap memperistri Hartini.
“Hubungan awal mereka pakai inisial nama Srihana dan Srihani untuk bersurat. Hubungan Bung Karno dan Hartini lantas di blow up ke publik oleh suratkabar Indonesia Raya,” ujar Arifin Suryo Nugroho, penulis buku Srihana-Srihani: Biografi Hartini Sukarno, kepada Historia. Berita ini menjadi isu panas selama sebulan lebih di Indonesia Raya.
Kedudukan Hartini terjepit dalam masalah-masalah keprotokolan dan pertemuan resmi. Dia tak bisa mengiringi Sukarno ke podium atau duduk bersama para menteri beserta istrinya. Pun Sukarno tak dapat memaksakan kedudukan demikian untuknya. Juga Hartini tak diperbolehkan memasuki Istana di Jakarta.
“Tetapi di Bogor Hartini berkuasa, dan dari sini ia dapat banyak mengontrol siapa-siapa yang boleh bertemu dengan Sukarno, tulis John David Legge dalam Sukarno: Biografi Politik.
Didekati PKI
Menurut Legge, Hartini merupakan pendamping terpenting Sukarno selama era Demokrasi Terpimpin. Sejak 1955, Hartini telah berkembang secara politik. Semula dia hanya berada di belakang layar. Menjelang dekade 1960-an, Hartini berusaha keras melayani Sukarno sebaik-baiknya, menjadi istri sekaligus teman politiknya.
Kadangkala Hartini muncul berpidato secara mendadak dalam pertemuan-pertemuan resmi. Lebih penting lagi, dia mengembangkan jalinan hubungan pribadinya dengan pemimpin-pemimpin partai maupun kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan sendiri.
“Mereka yang ingin sering bertemu Sukarno lebih senang mengusahakannya lewat Hartini,” tulis Legge.
Howard Jones dalam tugas diplomasinya merasa terbantu apabila melibatkan Hartini untuk mendekati Sukarno. Duta Besar AS ini bahkan berhasil membujuk Sukarno menampilkan untuk pertama kali Hartini ke tengah-tengah pergaulan Jakarta dan dengan faktual sebagai first lady. Juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia, Ganis Harsono mengatakan itu adalah keberhasilan Jones yang gemilang selama kariernya di Indonesia.
Baca juga: Menggantikan Fatmawati tak serta merta menjadikan Hartini sebagai Ibu Negara
Akan tetapi Jones bukanlah satu-satunya orang yang mengerti Sukarno. Aidit dan Njoto, pemimpin PKI, tak tinggal diam. Mereka cepat berusaha pula mengambil hati Sukarno dengan mengangkat Hartini sebagai ketua kehormatan atau pelindung koonferensi-konferensi yang diilhami oleh PKI. Dan tak lama kemudian Hartini secara resmi diundang untuk berkunjung ke Pnom Penh, Hanoi, Peking, dan berbagai ibukota negara-negara Eropa Timur. Di semua tempat itu, Hartini diperlakukan sebagai the first lady Indonesia. Sejak kunjungan ini dan selanjutnya, Hartini kian dekat dengan Gerwani.
“Di saat inilah Presiden Sukarno merasa langsung terjepit antara Jones dan Ketua PKI Aidit. Pendeknya, antara Washington dan Moskow-Peking,” ujar Ganis dalam Cakrawala Politik Era Sukarno.
Tak hanya itu. Rosihan Anwar mencatat, Sukarno pernah kelimpungan ketika Hartini datang dari Bogor ke Jakarta menghadiri Kongres Wanita Perti di Gedung Pemuda. Kongres tersebut hendak memaklumatkan resolusi untuk menyatakan Hartini sebagai Ibu Negara.
“Mendengar hal itu, Sukarno langsung ke tempat kongres, mengambil Hartini dari sana dan menyuruh mengantarkannya balik ke Bogor,” kata Rosihan dalam Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesia Jilid 5.
Baca juga: Gara-gara menikah dengan Hartini, Sukarno konflik dengan AH Nasution
Menurut Arifin, Hartini tak mempunyai peran politik yang cukup banyak karena Bung Karno memang membatasinya. Sukarno lebih memerlukan sosok Hartini sebagai istri dan sama sekali tak berkenan menariknya ke arena politik. Hal ini bisa dilihat menjelang akhir kekuasaan saat Sukarno banyak menghabiskan waktunya di Istana Bogor.
“Memang setelah lengsernya Bung Karno, Bu Har banyak dituduh sebagai orang yang dekat dengan negara kiri,” ujar Arifin. “Tapi semua itu karena Bu Har hadir dalam episode politik Demokrasi Terpimpin Bung Karno yang kebijakannya lebih banyak menjalin dengan negara-negara kiri seperti Tiongkok dan Soviet untuk menyikapi peta politik saat itu.”
Baca juga: Kisah memalukan seorang diplomat menyediakan perempuan untuk Sukarno