PADA 28 April 2013, di Kota Oxford, dibuka kantor Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tak ayal pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa memanggil Duta Besar Inggris di Jakarta untuk meminta klarifikasi. Peristiwa ini, sekali lagi, seakan jadi bukti nyata bahwa perjuangan rakyat Papua untuk menuntut kemerdekaan terus berlanjut di berbagai tempat.
Tanggal pembukaan kantor OPM agaknya sengaja berdekatan dengan tanggal 1 Mei 2013, mengambil momen yang oleh sebagian faksi politik di Papua saat ini diperingati sebagai “50 Tahun Aneksasi Papua”.
Pada 1 Mei 1963 Otoritas Pemerintahan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA) menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia sesuai amanat Perjanjian New York. Upacara penyerahan berlangsung di di Kota Baru, Papua Barat. Pemerintah Indonesia diwakili Sudjarwo Tjondronegoro. Sekretaris Jenderal PBB U Than mengirimkan utusannya, CV Nawasimhan.
Satu maklumat yang masih tersisa dari Perjanjian New York, pemerintah Indonesia harus melaksanakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua selambat-lambatnya pada 1969. Maka, pada 22 Agustus 1968, Sekjen PBB mengutus wakilnya, Dr Fernando Ortiz Sans, ke Irian Barat untuk mempersiapkan dan mengatur jalannya peristiwa bersejarah bernama Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) –ada juga yang menyebutnya Tindakan Pemilihan Bebas.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Mula-mula dibentuklah Dewan Musyawarah Pepera (DMP) beranggotakan 1.025 orang, mewakili sekitar 800.000 penduduk Papua. Pepera dilaksanakan secara bergiliran di delapan kabupaten di Irian Barat. Pertama di Merauke pada 14 Juli 1969, terakhir di Jayapura pada 2 Agustus 1969.
Hasil Pepera, diumumkan pada 2 Agustus 1969, menetapkan Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia. Tak lama kemudian, pada 19 November 1969, Majelis Umum PBB melakukan pemungutan suara untuk rancangan resolusi yang disampaikan bersama oleh Indonesia dan Belanda. Hasilnya, 84 suara mendukung, tidak ada yang menolak, dan 30 suara abstain.
“Besarnya jumlah yang abstain mengherankan karena kebanyakan berasal dari negara-negara Afrika yang meskipun secara umum mendukung kembalinya wilayah itu ke Republik Indonesia, keberatan pada fakta bahwa prinsip ‘satu orang, satu suara’ tidak tercakup di dalam Pepera,” tulis Ester Yambeyabdi dalam tesisnya Papua Barat dalam Perundingan Indonesia-Belanda (1954-1963).
Baca juga: Papua di Tangan Soeharto
Resmi sudah Irian Barat jatuh ke tangan Indonesia. Namun demikian, sebagian rakyat Papua meragukannya. Banyak yang mengatakan Pepera penuh kecurangan, dan karenanya tidak sah jadi dasar. Menurut Amirudin Al Rahab dalam Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme, sebagian rakyat Papua menganggap Papua sudah jadi negara berdaulat sebelum ada penyerahan pemerintahan dari UNTEA ke Indonesia. Itu ditandai dengan pembentukan Nieuw Guinea Raad (Dewan Papua) pada 25 Februari 1961.
Mereka juga tidak mengakui Perjanjian New York karena tak melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua. Pemerintah Indonesia membubarkan dan melarang semua organisasi sosial dan politik, termasuk Dewan Papua yang menjadi simbol kedaulatan Papua.
Pemerintah Indonesia juga dinilai mengintimidasi orang-orang Papua. Hal ini terungkap ketika Ketua Pelaksana Pepera Sudjarwo Tjondronegoro berceramah di depan mahasiswa di Universitas Cendrawasih pada tanggal 18 Juli 1968. “Dalam pidato itu ia menjelaskan bahwa memang akan ada Kegiatan Pemilihan Bebas, tetapi bahwa tidak akan ada mereka boleh memilih lain daripada untuk Indonesia,” tulis Pieter Droogleever dalam Tindakan Pilihan Bebas.
Baca juga: Papua di Antara Bung Besar dan Sang Jenderal
Dalam PBB Annex I, A/7723, dokumen yang diungkapkan perwakilan PBB Ortiz Sanz tentang kecurangan-kecurangan Pepera, terungkap adanya pengerahan kekuatan militer dalam upaya menjamin kemenangan Indonesia.
Masalah kemiskinan dan ketertinggalan juga membuat rakyat Papua merasa ditinggalkan oleh pemerintah pusat. Jika melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Papua berada di peringkat terbawah dari seluruh provinsi di Indonesia. Otonomi khusus yang diberikan pemerintah pusat pun dianggap belum dapat memecahkan masalah Papua. Belum lagi kekerasan dan pelanggaran HAM yang kerap terjadi.
Tak heran jika muncul banyak perlawanan di berbagai tempat di Papua. Ada yang menuntut perhatian lebih dari pemerintah, ada pula yang terang-terangan minta merdeka.