Perhimpunan Indonesia (PI), semula bernama Indische Vereeniging, didirikan mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1908. Perkumpulan pergerakan kemerdekaan pertama yang menyandang nama Indonesia ini memiliki bendera merah-putih dengan kepala kerbau yang bengis di tengahnya.
Arnold Mononutu, anggota pengurus PI, menerangkan bahwa lambang PI itu ditetapkan pada periode kepemimpinan Herman Kartowisastro (1921-1922). Dalam rapat, seorang anggota menanyakan alasan pemilihan “kerbau”. Semaun, bekas pemimpin Partai Komunis Indonesia yang diasingkan ke Belanda yang hadir dalam rapat itu, menjelaskan bahwa kerbau adalah simbol kerakyatan. Ia binatang yang tenang tapi kalau diganggu dan marah bisa menyerang musuhnya dengan garang dan ganas. Begitu pula rakyat.
“Di samping itu kerbau adalah kawan baik dari kaum tani dalam mengerjakan sawahnya. Kehidupan rakyat tani hampir tak bisa dipisahkan dengan kerbau. Itulah sebabnya maka simbol yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro juga adalah kerbau,” kata Arnold dalam biografinya, Potret Seorang Patriot karya Ruben Nalenan. Simbol ini dapat dilihat pada uang kertas pecahan Rp 1.000 cetakan tahun 1975: gambar depan Pangeran Diponegoro, sedangkan gambar belakang petani dengan kerbau sedang membajak sawah.
Menurut sejarawan Harry A. Poeze, bendera merah-putih dengan kepala kerbau itu merupakan sumber ilham bagi para mahasiswa nasionalis. Di kamar Ahmad Soebardjo, yang biasa jadi tempat berdiskusi politik, bendera itu menempel di dinding.
“Sebelum menempuh tentamen atau ujian, seorang peserta mahasiswa biasa bersemadi sebentar di depan bendera itu,” tulis Poeze dalam Di Negeri Penjajah. “Kemudian dia tekankan dalam ingatan bahwa lulus dalam tentamen atau ujian itu penting bagi perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia.”
Lambang PI itu kemudian digunakan Jong Indonesia, yang berdiri di Bandung pada 20 Februari 1927. Lambang PI juga diadopsi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sukarno dan beberapa tokoh pergerakan pada 4 Juli 1927. Sukarno kemudian mengganti lambang kepala kerbau dengan kepala banteng. Alasannya, kerbau terlalu lunak untuk bangsa Indonesia yang berjuang menghadapi imperialisme dan kapitalisme Belanda.
“Banteng lebih berani lebih sigap dalam menghadapi musuh-musuhnya,” kata Arnold. Kelak, partai-partai yang berhaluan nasional dan mengklaim sebagai pewaris PNI menggunakan banteng sebagai lambang partai.
Menurut sejarawan George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, dalam Kongres Rakyat Indonesia yang dihelat Gabungan Politik Indonesia (Gapi) pada Desember 1939, banyak peserta mengusulkan memasukkan gambar kepala banteng –simbol terpenting pada bendera PNI Sukarno– ke dalam bendera merah-putih, bendera nasional. Perdebatan pun terjadi. Namun akhirnya, tulis Kahin, peserta Kongres menerima bendera yang “terdiri atas dua garis yang sama lebarnya; yang atas berwarna merah dan yang bawah berwarna putih.”
Selain merah-putih sebagai bendera nasional, Kongres itu juga secara resmi mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Soepratman sebagai lagu nasional.