PADA 1959, Jean Jacques Dozy, seorang geolog anggota Ekspedisi Colijn yang pernah melakukan pendakian ke Puncak Cartenz pada 1936, kedatangan seorang tamu. Si tamu tadi bertanya kepadanya tentang keadaan Papua yang pernah dikunjunginya.
“Katanya Anda pernah mengunjungi New Guinea (nama Papua saat itu, red.) dan menemukan badan bijih (ore body) ini. Seberapa besarnya?” tanyanya pada Dozy, sebagaimana dikutip dari buku Grasberg karya George A. Mealey.
Pertanyaan tamunya membuat Dozy terhenyak. “Kagetnya serasa seperti sedang ditodong pistol tepat di dada,” kata dia. Bagaimana tidak, setelah 23 tahun lamanya, baru ada orang bertanya demikian kepada Dozy. “Baiklah,” kata Dozi melanjutkan, “ini menyerupai sebuah dinding tebing, tingginya kira-kira 75 meter dan begitu juga panjangnya.”
Baca juga: CIA Menggulingkan Sukarno demi Emas di Papua
“Oh..oh,” ujar tamunya. Menurut Dozy, setelah pertemuan itu, tamu tadi langsung terbang menuju Papua, untuk membuktikan apakah omongan Dozy bohong atau jujur. Dan ketika kembali, dia menemui lagi Dozy dan mengatakan, “(Ternyata) itu lebih besar dari yang pernah Anda bilang.”
Tamu yang dimaksud Dozy adalah Forbes. K. Wilson, yang bekerja sebagai manajer eksplorasi sulfur di Freeport. Kelak bertahun kemudian Forbes jadi petinggi di Freeport. Sebelum bertemu Dozy, Forbes sudah terlebih dahulu mencari informasi tentang Ekspedisi Colijn. Dalam catatan hariannya, Dozy membuat sketsa gundukan batu hitam aneh yang berdiri menyembul pada ketinggian 3500 meter, di pedalaman Papua. Di bawah skesta itu, Dozy membubuhkan tulisan “Ertsberg” yang artinya “gunung bijih”. Dari sana Forbes mengendus kekayaan bumi Papua.
Baca juga: Menguak Sisi Lain Freeport
Sebelum informasi itu ditemukan oleh Forbes, laporan Dozy hanya disimpan di perpustakaan Leiden. Setelah membuktikan temuan Dozy, pihak Freeport tak bisa begitu saja melakukan kegiatan eksploitasi di Irian Jaya (nama Papua saat itu). Terlebih karena kebijakan pemerintahan Sukarno menutup kemungkinan masuknya modal asing ke Indonesia.
Peluang baru muncul saat terjadi peristiwa G30S 1965 yang bermuara pada kejatuhan Sukarno. Dua bulan setelah kup militer itu CEO Freeport Langbourne Williams menelepon Forbes. Dia mendapat kabar baik dari dua eksekutif Texaco bahwa negosiasi Ertsberg akan segera dimulai. Pemerintah Soeharto, kendati belum resmi, mereka anggap jauh lebih bersahabat dengan Amerika ketimbang Sukarno.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Sukarno
Williams yakin, negoisasinya bakal mulus lantaran salah satu eksekutif Texaco, Julius Tahija, punya koneksi kuat dengan Soeharto, yang punya kans kuat untuk naik ke puncak kekuasaan. Julius Tahija adalah mantan tentara yang dekat Sukarno namun berubah menjadi penentangnya.
Sejatinya, pada April 1965 Freeport sudah mendapat lampu hijau untuk menambang di Ertsberg. Namun negosiasi tak kunjung selesai lantaran pemerintahan Sukarno tak mau begitu saja kekayaan alam Indonesia dikelola oleh kelompok bisnis asing. Ketika perubahan politik sudah menunjukkan akhir dari kekuasaan Sukarno, terlebih mendapat pinjaman senilai 60 juta dolar dari lembaga-lembaga dana Amerika, kekuasaan, langkah Freeport kian mantap untuk mengesploitasi kekayaan alam di Papua.
PADA April 1967, tiga bulan sesudah pemberlakuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967, Freeport Sulphur Incorporated menandatangani sebuah kontrak karya untuk mengeksplorasi dan menambah cadangan emas dan tembaga di Irian Jaya.
Baca juga: Papua di Tangan Soeharto
Penandatangan itu, “membuat Freeport Sulphur perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah baru dan satu-satunya perusahaan yang menandatangani kontrak di bawah kondisi yang luar biasa seperti itu,” tulis Denise Leith dalam The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia.
Penandatangan itu terbilang unik dan berani. Selain penandatangannya dilakukan ketua presidium kabinet Ampera Jenderal Soeharto, bukan oleh presiden, wilayah konsesinya (Irian Barat), masih dalam sengketa.
Menurut persyaratan kontrak itu, Freeport memperoleh masa bebas pajak selama tiga tahun serta konsesi pajak sebesar 35 untuk tujuh tahun berikutnya dan pembebasan segala macam pajak atau royalti selain lima persen pajak penjualan.
Baca juga: UU PMA, Legislasi Sarat Kontroversi
“Namun segera setelah kontrak ‘generasi pertama’ ini ditandatangani, pemerintah menyadari bahwa kontrak itu perlu direvisi agar memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia,” ujar Mohammad Sadli, yang ketika itu menjabat menteri pertambangan, dalam buku Pelaku Berkisah dengan editor Thee Kian Wie.
Sadli kelak menjadi anggota tim penasehat ekonomi Presiden Soeharto. “Karena itu kontrak-kontrak ‘generasi kedua’ dibuat lebih restriktif dan kurang menguntungkan investor asing, termasuk untuk perusahaan Kanada, Inco, yang menambang nikel di Soroako, Sulawesi Selatan.”
Undang-Undang PMA, produk hukum yang baru diciptakan di masa transisi kepemimpinan nasional, menjadi salah satu langkah pemerintahan Soeharto untuk menarik modal asing demi memulihkan perekonomian nasional. Dan Freeport, salah satu koorporasi internasional pertama yang ketiban rezeki dari peralihan kekuasaan Sukarno ke Soeharto.*