GELARAN final Piala Presiden yang dijuarai Persija Jakarta akhir pekan lalu (18/2) menyisakan polemik. Saat penyerahan piala oleh Presiden Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan "dilarang" Paspampres mengikuti seremoni. Usut punya usut ternyata penghalangan tersebut bersifat teknis lantaran nama Anies Baswedan tak tercantum dalam protokoler. Ketua panitia, Maruara Sirait lantas meminta maaf atas kealpaan tersebut.
Perlakuan serupa juga pernah dialami Gubernur Jakarta periode 1966-1977, Ali Sadikin. Dia pernah dilarang menghadiri perayaan pembukaan Pekan Raya Jakarta (PRJ). Padahal, PRJ terselenggara kali pertama atas inisiatif Ali Sadikin tatkala dirinya memimpin Jakarta. Tak cukup sekali. Berkali-kali Ali Sadikin dihalang-halangi menghadiri undangan atau hajatan dari koleganya.
“Orang yang sudah mengundang saya memohon agar undangan yang sudah diberikan dianggap saja tidak ada dan karena itu, ia memohon maaf. Belakangan ada juga yang mengatakan tetap mengharapkan kehadiran saya, tetapi jamnya (waktunya) ditentukan,” ungkap Bang Ali dalam kumpulan wawancara Pers Bertanya Bang Ali Menjawab. “Bahkan kalau pada daftar undangan ada nama saya, sedangkan pejabat penting akan menghadirinya, pasti dicoret oleh pihak tertentu. atau pengundang sendiri yang membatalkannya.”
Sebagai warga kota utama, seyogianya Ali Sadikin diperkenankan menjadi tamu undangan acara-acara pemerintah. Namun sejak 1980, dirinya dikenakan larangan resmi, termasuk menghadiri hari-hari nasional. Kedutaan asing juga diminta untuk tidak mengundang Ali Sadikin. Bahkan untuk menunaikan ibadah haji pun dipersulit.
“Saya juga tidak boleh keluar negeri, tidak boleh dapat kredit. Itulah pencekalannya,” tukas Ali dalam Forum Keadilan, 29 Oktober 1992.
Dibunuh secara Perdata
Persekusi terhadap Ali Sadikin merupakan buntut kritiknya terhadap pemerintah dalam Petisi 50. Petisi bermula ketika Presiden Soeharto melontarkan pidato bernada otoriter saat rapat pimpinan ABRI di Pekan Baru, 27 Maret 1980. Dalam pidatonya, Soeharto mengatakan akan menculik anggota MPR yang ingin mengganti UUD 1945 ataupun Pancasila. Soeharto juga menegaskan angkatan bersenjata untuk berpihak kepada penguasa lewat persekutuan dengan Partai Golkar.
Menanggapi pidato Soeharto, Ali Sadikin bersama para jenderal purnawirawan dan tokoh sipil lainnya menggagas Pernyataan Keprihatinan. Pada 5 Mei 1980, pernyataan yang ditandatangani oleh 50 orang itu rampung dan diteruskan ke DPR. Isinya berupa koreksi atas kelakuan menyimpang yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Di tengah masyarakat mereka kemudian dikenal sebagai kelompok Petisi 50.
“Soeharto geram,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam. “Sengatan berbisa” disemprotkan kepada 50 orang tokoh tersebut. Kehidupan mereka dibuat sengsara. “Jangankan berbisnis, untuk mengunjungi resepsi pernikahan yang dihadiri Presiden Soeharto pun mereka dilarang,” tulis Asvi dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?: Tragedi Bapak Bangsa Tragedi Indonesia.
Ali Sadikin mengenang rupa-rupa kebengisan penguasa saat itu. Usahanya diberangus melalui hambatan pengajuan kredit. Selain itu, orang-orang yang terlibat Petisi 50, namanya dicoret dari social list.
Tak hanya menimpa Ali seorang, keluarganya pun ikut kena imbas. Pada 1986, pihak imigrasi hampir mencekal keberangkatan Ali Sadikin ke negeri Belanda untuk mendampingi istrinya yang dirawat disana. Salah satu putra Ali Sadikin juga tidak berhasil memperoleh pinjaman bank untuk modal usaha karena identitasnya sebagai anak Ali Sadikin.
Siapa di balik pencekalan Ali Sadikin? Menurut Ali, semua karena ulah Sudomo, junior nya semasa di Angkatan Laut. Sudomo pernah mengatakan bahwa cekal bukan perintah presiden. “Jadi, Sudomolah sumber semua kekacauan ini, walaupun secara politis yang lain ikut bertanggung jawab,” kata Ali Sadikin dilansir majalah Detik, 14-20 Juli 1993.
Sebagaimana dicatat pakar politik militer Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, Laksamana Sudomo yang menjabat Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) berperan dalam aksi pencekalan. Sudomo secara polos dan terbuka mengumumkan bahwa dialah yang mencekal Ali Sadikin dan para anggota Petisi 50 agar tak berkesempatan berada bersama Soeharto dalam suatu acara. Selaku Pangkopkamtib, Sudomo menjatuhkan hukuman “mati secara perdata” kepada mereka
Akibat hukuman tersebut, Ali Sadikin, keluarganya, dan teman-temannya tidak bisa berbisnis. Pangkopkamtib melarang semua bank melayani mereka yang tercatat sebagai oposisi Petisi 50. Koran, radio, dan televisi juga dilarang mengumumkan pernyataan mereka yang oleh Sudomo dinilai hanya akan mengganggu kenyamanan Presiden Soeharto .
Sekian tahun setelah Sudomo meninggal, sebagaimana dikutip Salim Said dari seorang mantan petinggi Angkatan Laut, terkuak informasi mengenai tindakan Sudomo. Menurut sumber itu, Soeharto memerintahkan untuk menangkap Ali Sadikin. Namun Sudomo berhasil membujuk Soeharto agar tidak menangkap Ali Sadikin.
“Karena tindakan demikian itu bertentangan dengan tradisi Angkatan Laut,” tulis Salim. “Jalan tengahnya, pencekalan serta pembunuhan secara perdata.”
Pencekalan terhadap Ali Sadikin berlangsung selama hampir dua dekade. Kadar pencekalan berangsur berkurang setelah Sudomo tak lagi duduk dalam kabinet (1993). Kendati hak-hak sipilnya masih tetap dibatasi dalam beberapa hal tertentu. Kebebasan penuh sebagai warga negara baru tercapai seiring tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998.