Masuk Daftar
My Getplus

Air Mata Sukarno Berpisah dengan Bendera Pusaka

Bendera Pusaka Merah Putih tidak ditemukan ketika Soeharto akan menjadi inspektur upacara HUT RI untuk pertama kalinya.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 20 Agt 2017
Presiden Soeharto menyerahkan duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan reproduksi naskah Proklamasi kepada gubernur seluruh Indonesia untuk dikibarkan setiap upacara HUT RI. Penyerahan tersebut secara simbolis melalui para Panglima Kowilhan pada Agustus 1969. Foto: Sekretariat Negara RI.

Pejabat Presiden Soeharto akan menjadi inspektur upacara HUT RI untuk pertama kalinya pada 17 Agustus 1967. Dalam rapat SUAD (Staf Umum Angkatan Darat), Men/Pangad Letjen TNI Maraden Panggabean menekankan agar diadakan persiapan sebaik-baiknya untuk menyukseskan upacara tersebut. Perhatikan segala detail dari pelaksanaan upacara itu, terutama mengenai Bendera Pusaka Merah Putih yang dikibarkan setiap HUT RI di depan Istana.

Panggabean meminta stafnya memeriksa Bendera Pusaka di Istana Negara dan Istana Merdeka. Namun, setelah dicari di setiap laci dan lemari, Bendera Pusaka tidak ditemukan. Begitu pula di Sekretariat Kepresidenan.

“Masalah ini tiba-tiba tersebar luas dan menimbulkan beberapa macam pendapat aneh dan menghebohkan,” kata Panggabean dalam memoarnya, Berjuang dan Mengabdi.

Advertising
Advertising

Panggabean kemudian meminta izin kepada Soeharto untuk menemui Sukarno di Istana Bogor. Saat itu, Sukarno menjadi tahanan kota. Ketika bertemu, Panggabean menyinggung Bendera Pusaka yang tidak ditemukan. Wajah Sukarno berubah, pandangannya tajam dan menerawang. Dia menarik napas panjang dan bertanya, “selama ini saya sendiri yang menyimpannya. Apa TNI AD sanggup menyelamatkannya?”

Panggabean merasa bahwa Sukarno masih menaruh curiga terhadap TNI AD. “Atas nama TNI AD saya memberikan jaminan bahwa Bendera Merah Putih dan khususnya Bendera Pusaka Merah Putih akan dijaga, diamankan dan dipertahankan oleh TNI AD,” kata Panggabean.

Sukarno mengatakan bahwa Bendera Pusaka akan disimpan di suatu tempat yang sudah disediakan. Dia bersedia menyerahkannya dengan syarat bendera itu harus disimpan di tempat yang sudah disediakan itu. Dia juga meminta agar dapat pindah ke Jakarta karena di Bogor terlalu lembab sehingga dia sering terkena flu.

Panggabean meneruskan permohonan Sukarno itu melalui telepon kepada Soeharto. Soeharto menyetujuinya dan menunjuk rumah Sukarno di Slipi, yaitu Wisma Yaso yang ditempati istrinya, Ratna Sari Dewi. Sukarno dan Panggabean pun berangkat ke Slipi.

Esok harinya, Panggabean mengunjungi Sukarno di Wisma Yaso. Mereka berangkat menuju Monumen Nasional. Sesampainya di sana, mereka memasuki ruangan bawah tanah dan berhenti di salah satu bagian. Sukarno menunjuk pada suatu tempat dan mengatakan bahwa ruangan itu dipersiapkan untuk Bendera Pusaka.

“Setelah tiba kembali di Slipi, Bendera Pusaka yang ada di dalam kotaknya diserahkan beliau kepada saya. Kemudian Bendera Pusaka beserta kotaknya saya serahkan kepada Pejabat Presiden Jenderal Soeharto,” kata Panggabean.

Rachmawati Sukarnoputri menjadi saksi penyerahan Bendera Pusaka. “Sore itu ada suatu peristiwa yang sangat penting dan mempunyai nilai sejarah. Tanpa kusadari aku menjadi saksi ketika bapakku menyerahkan Bendera Pusaka yang dijahit ibuku Fatmawati kepada tamu-tamunya,” kata Rachmawati dalam Bapakku Ibuku Dua Manusia yang Kucintai dan Kukagumi.

Tamu-tamu jenderal itu tak hanya Panggabean. Rachmawati melihat Brigjen TNI M. Jusuf, Brigjen TNI Amirmahmud dan Mayjen TNI Basuki Rahmat. Mereka duduk di bagian tengah ruang depan Wisma Yaso.

“Sekilas kutangkap garis-garis kesedihan luar biasa pada wajah bapakku tatkala dia masuk untuk mengambil bendera itu. Kulihat sekali bapak mengusap matanya. Bapakku menangis,” kata Rachmawati. “Aku terhenyak melihat peristiwa itu. Agaknya, Bendera Pusaka itu adalah satu-satunya harta yang sangat dihargai, dimuliakan dan diagungkan bapakku. Bapak sangat menghormati nilai sejarah Bendera Pusaka itu.”

AKBP Sidarto Danusubroto, ajudan Sukarno, mengungkapkan bahwa Sukarno mengajukan syarat agar keempat Panglima Angkatan menghadap untuk menerima Bendera Pusaka. Kesempatan tersebut akan digunakan Sukarno untuk menyampaikan hal-hal penting berkenaan dengan langkah-langkah pemerintah Soeharto yang sangat memojokkan Sukarno, membatasi kebebasan pribadi dan keluarganya, dan meniadakan segala hal yang berkaitan dengan Sukarno.

Berbeda dengan keterangan Rachmawati, Sidarto mengingat bahwa tidak semua panglima hadir, hanya Men/Pangal Laksamana Mulyadi dan Men/Pangak Inspektur Jenderal Polisi Sutjipto Yudodiharjo, sedang lainnya diwakilkan. Sukarno mengajak mereka ke Monas, tempat Bendera Pusaka akan disimpan.

“Sesudah pertemuan tersebut tetap tidak ada perubahan perlakuan terhadap Bung Karno. Beliau tetap dibatasi pergerakannya dan harus selalu minta izin setiap kali ada kegiatan keluar,” kata Sidarto dalam biografinya, Dari Ajudan sampai Wakil Rakyat.

Harian Kompas, 18 Agustus 1967, melaporkan bahwa “Mulanya tampak keengganan pada diri Bung Karno untuk menyerahkan Bendera Pusaka itu. Tapi akhirnya setelah melalui proses yang berbelit-belit Bendera Pusaka itu berhasil diambil dari tangan Bung Karno karena desakan keempat Panglima Angkatan.”

Bendera Pusaka diserahkan kepada Soeharto untuk dikibarkan terakhir kalinya pada upacara kemerdekaan 17 Agustus 1967. Bendera Pusaka kemudian disemayamkan di Monas. Mulai tahun 1968, yang dikibarkan adalah duplikatnya. Pada 5 Agustus 1969, Soeharto menyerahkan duplikatnya dan reproduksi naskah Proklamasi kepada gubernur seluruh Indonesia untuk dikibarkan pada setiap upacara peringatan kemerdekaan.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Duka Atim dan Piati Picu Kemarahan PKI Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia Runtuhnya Kesultanan Banten Filantropi Tjong A Fie Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik ADARI Klaim Bung Karno Nabi Memindai Sejarah Barcode dan QR Code