PADA 17 Januari 1948, Perjanjian Renville rampung. Dengan ditandatangani perjanjian tersebut oleh pihak Indonesia dan Belanda, maka otomatis berlaku pula secara praksis semua poin-poin yang telah disepakati. Termasuk penarikan kekuatan-kekuatan militer Republik dari Jawa Barat.
Baca juga: Berjudi di Atas Renville
Sebagai penganut “Indonesia Merdeka 100%”, sisa-sisa pengikut LR (Lasjkar Rakjat) tentu saja tak menerima ketetapan yang dianggap merugikan Republik tersebut. Alih-alih ikut hijrah, mereka justru membentuk Divisi 17 Agustus sebagai pengisi kekosongan kantong-kantong Republik yang ditinggalkan Divisi Siliwangi.
“Pada 17 Agustus 1948, secara terbuka mereka malah mendirikan apa yang disebut sebagai Pemerintah Republik Jawa Barat (PRJB),” ujar Cribb.
Selain LR, PRJB dibidani oleh tiga komponen perjuangan lainnya. Masing-masing Hizboellah (Masjumi), Satuan Pemberontak 88 (unsur Divisi Siliwangi yang ditanam di Jawa Barat) dan Barisan Banteng (PNI). Menjelang terjadinya Perjanjian KMB pada Desember 1949, PRJB bubar, menyusul ikut bergabungnya Satuan Pemberontak 88 dan Barisan Banteng ke kubu pemerintahan Sukarno-Hatta dan hengkangnya Hizboellah ke kubu gerakan Darul Islam .
Baca juga: Pencipta Neraka di Barat Jawa
Sementara itu di Jawa Tengah, para pelarian LR dari Karawang mengkonsolidasikan diri dalam suatu aliansi taktis bernama Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Bersama Divisi Siliwangi (bekas musuhnya di Jawa Barat), mereka termasuk kekuatan utama yang ikut menghancurleburkan kekuatan Front Demokrasi Rakjat (FDR) dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada September 1948.
Dua bulan setelah Insiden Madiun 1948, Tan Malaka, Iwa Kusumasumantri, Achmad Soebardjo, Roestam Effendi dan Muhammad Yamin lantas mendirikan Partai MURBA (Musyawarah Rakyat Banyak). Tentu saja, tanpa banyak pertimbangan, LR menyatakan diri sebagai bagian dari partai baru tersebut.
“Terlebih saat itu masanya partai politik lumrah memiliki onderbouw-onderbouw bersenjata, seperti Masyumi dengan Hizboellah-nya atau PNI dengan Barisan Bantengng-nya,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Hingga berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949, unsur-unsur LR tetap memilih jalur politik tanpa kompromi dengan bergerilya di hutan-hutan Jawa Barat bagian selatan serta Banten selatan. Menurut Hadidjojo, situasi tersebut menyebabkan Murba yang merupakan partai politik resmi ada dalam posisi sulit.
“Terpaksa saat itu Murba “memutuskan” hubungan secara sementara dengan mereka yang ada di hutan, walaupun kami yakin tentara tahu soal itu…” ujar putra Maroeto Nitimihardjo, tokoh Murba.
Dalam karyanya mengenai Partai Murba yang hendak terbit, sejarawan Harry A.Poeze menyebut Partai Murba memilih tampil secara legal tapi menaruh simpati besar kepada LR yang menentang RIS. Namun belakangan, dalam kritik internal, para pimpinan LR dipersalahkan karena terlalu lama menempuh perjuangan bersenjata, dengan ‘kembali masuk hutan’ serta membiarkan ilegalitas minded masih bercokol dalam pola pemikiran mereka. Juga banyak di antara tokoh terkemuka mereka, terutama di Jawa Barat, masih memilih hidup ‘semi ilegal’ ketimbang mengabdi kepada Partai Murba dalam koridor hukum. Diantaranya adalah Chaerul Saleh dan Tjetje Soebrata.
Baca juga: Membentuk Tentara Rakyat
LR lantas menyulap dirinya menjadi lasykar Bamboe Roentjing (BR) dan melakukan perlawanan gerilya hingga RIS bubar pada 17 Agustus 1950. Sejarah mencatat, salah satu pasukan terakhir BR pimpinan Camat Nata menyerah di kaki Gunung Sanggabuana, Purwakarta pada Maret 1954. Kendati demikian, ada sebagian pasukan yang tak mau turun gunung dan menjadi gerombolan liar.
Pada awal 1956, setiba di Indonesia setelah “tugas belajar” di Bern, Swis, Chaerul Saleh berkunjung ke Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia A.H. Nusution. Dalam pertemuan itu, ia berjanji akan berusaha mengajak mantan anggota-anggotanya turun gunung dan tunduk pada kekuasaan pemerintah.
Beberapa bulan kemudian, Chaerul mengorganisasi reuni LRDR yang dihadiri Presiden Sukarno. Dalam kesempatan itu, Sukarno memuji darmabakti LR, sedangkan Chaerul berjanji akan berusaha sebaik-baiknya untuk menciptakan lapangan kerja dan pengurangan hukuman bagi para mantan anggota LR yang sudah tertangkap.
Dalam kongres besar pada pergantian tahun, terbentuklah Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Dalam pimpinan kongres, Chaerul duduk sebagai ketua II. “ Itulah awal pengangkatan Chaerul Saleh menjadi menteri urusan veteran pada 1957,” tulis Poeze.