Masih ingat salah satu adegan dramatis dalam film Pengkhianatan G30S/PKI: seorang perwira tinggi ditembak mati oleh gerombolan penculik persis di depan anak dan istrinya. Namun sebelum tewas diberondong, sang jenderal terlebih dulu berdoa dan melawan para penculiknya. Siapakah dia?
Sosok jenderal yang digambarkan itu tak lain adalah Donald Icazus Panjaitan. Lahir di Balige, Sumatera Utara, 9 Juni 1925, Pandjaitan dikenal sebagai perwira yang mahir berbahasa Jerman. Hal itu disebabkan karena tempat dia dibesarkan adalah lingkungan Rheinische Mission Geselchaft, sebuah kelompok zending yang berasal dari Jerman.
Setelah lulus pendidikan dasar Hollandsche Inladsche School (HIS), Pandjaitan masuk sekolah menengah Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) tanpa tes. Itu terjadi karena nilai seluruh pelajaran yang pernah diikuti Panjaitan dianggap bagus.
Sejatinya, Pandjaitan ingin menempuh pendidikan lanjutan pertama di Hoogere Burger School (HBS). Namun karena orangtuanya hanya seorang pedagang kecil, keinginan itu terpaksa harus dipendam. Pandjaitan lantas memenuhi permintaan orang tuanya melanjutkan sekolah di MULO Tarutung.
Kala menjalani pendidikan di MULO itulah Panjaitan mendapatkan musibah. Sang ayah meninggal dunia lalu tak lama kemudian disusul oleh ibunya. Kendati bersedih, Pandjaitan muda memutuskan untuk terus belajar hingga selesai menempuh pendidikan di MULO Tarutung.
Tak lama dari kelulusannya dari MULO Tarutung pada 1942, Hindia Belanda diserang militer Jepang. Pada Maret 1942 Hindia Belanda secara resmi menyerah kepada Jepang. Pandjaitan yang menganggur kemudian pindah ke Riau untuk bekerja sebagai kepala pembukuan perusahaan kayu milik Jepang pada 1943.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: Ahmad Yani, Jenderal Brilian Pilihan Sukarno yang Berakhir Tragis
Ketika tentara pendudukan Jepang membutuhkan tenaga prajurit guna memenangkan Perang Asia Timur Raya dan membuka rekruitmen bagi para pemuda Indonesia untuk menjadi anggota Gyugun (paramiliter sejenis PETA di Jawa), tanpa banyak pertimbangan Pandjaitan langsung mendaftar dan diterima. Dia ditempatkan di Pekanbaru.
Usai kapitulasi Jepang terhadap Sekutu pada 14 Agustus 1945, tentara pendudukan Jepang di Sumatera membubarkan Gyugun lantas melucuti senjata para anggotanya. Mereka takut senjatanya diambilalih oleh para pemuda Indonesia. Upaya ini kemudian dilawan oleh para pemuda.
Setelah mengetahui proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan di Jakarta, Pandjaitan dan kawan-kawannya mengumpulkan kembali para anggota Gyugun dan membentuk Pemuda Republik Indonesia (PRI), yang pada Desember 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ada tiga batalyon TKR di wilayah Riau saat itu, yakni di Pekanbaru, Bengkalis, dan Indragiri. Pandjaitan diangkat menjadi komandan batalyon TKR untuk wilayah Pekanbaru.
Tak lama setelah diangkat menjadi kepala Organisasi/Pendidikan Divisi IX di Bukittinggi namun pangkatnya diturunkan menjadi kapten akibat kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (1948), Pandjaitan memimpin pasukannya melancarkan perang gerilya menyusul dilancarkannya agresi militer kedua oleh Belanda pada 19 Desember 1948. Dia terpaksa meninggalkan istrinya yang baru melahirkan di Bukittinggi.
Pandjaitan baru bertemu kembali dengan istrinya setelah Kapten Maraden Panggabean, yang istrinya merupakan adik kandung istri Pandjaitan, mempertumakannya di suatu malam di hutan yang menjadi tempat perkemahan Markas Komando Sumatera di Lubuksikaping. “Dia melompat dari tempat tidur, mengenakan pakaian dan berlari ke tempat kendaraan kami sambil berkata, ‘Mujizat Tuhan Mahabesar’,” kata Panggabean dalam otobiografinya, Berjuang dan Mengabdi.
Agresi militer kedua Belanda yang membuat seluruh jajaran tinggi pemerintah RI, termasuk Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, ditawan memaksa Syafruddin Prawiranegara membentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, 22 Desember 1948. Syafruddin lalu memanggil Pandjaitan, yang menjabat posisi Kepala Staf IX Tentara dan Teritorial Sumatera, untuk menjadi pimpinan Pusat Perbekalan PDRI pada 15 Januari 1949.
Baca juga: Jenderal Yani dan Para Asistennya
Usai Agresi Militer Belanda II, Pandjaitan dipercaya menjadi Kepala Seksi II Staf Tentara dan Teritorium Sumatera Utara. Setelah KMB (23 Agustus-2 November 1949), Pandjaitan dipindahkan ke Medan untuk menduduki posisi Kepala Seksi II Staf Tentara dan Teritorium I Sumatera Utara, kemudian wakil Kepala Staf Tentara dan Teritorium Sumatera Selatan pada Oktober 1952. Baru pada Januari 1956 Pandjaitan mendapatkan kembali pangkat mayor.
Setelah mengikuti kursus atase militer pada April 1956 dan menjadi perwira di Atase Militer (Atmil) di Bonn, Jerman Barat, pada Oktober 1956 Letkol Pandjaitan diangkat menjadi atase militer Republik Indonesia di Bonn.
Semasa menjabat Atmil, Pandjaitan melancarkan misi-misi rahasia untuk mengintip kekuatan Belanda dalam rangka sengketa Irian Barat. Salah satu misi yang dibuat Pandjaitan adalah menyusupkan warga negara Jerman Barat bernama Felix Matternich ke Belanda untuk memotret kapal-kapal perang Belanda. Upaya yang dilakukan Pandjaitan itu merupakan Operasi C alias “operasi senyap” yang dilancarkan KSAD Jenderal AH Nasution.
“Para Atase Militer di Eropa Barat, Kartakusumah di Paris, S. Parman di London dan Panjaitan di Bonn merupakan pendukung usaha ini,” kata Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama.
Baca juga: Kisah Para Deputi Jenderal Yani
Pandjaitan dan Nasution memiliki kedekatan personal. Saat Nasution mampir ke Frankfurt, Jerman dari kunjungan utamanya ke Moskow, Rusia, Pandjaitan menjamunya dan memberi perhatian personal.
“Atase Militer Letnan Kolonel Panjaitan mengingatkan saya. Katanya, ‘Saya melihat jenderal kini jauh lebih tua, dibanding waktu bertemu dulu. Saya mengharapkan agar jenderal juga memperhatikan diri jenderal,’” sambung Nasution.
Melalui konferensi pers yang disediakan Pandjaitan pula Nasution menjelaskan misinya kali itu. “Oleh Atase Militer kita dipersiapkan konperensi pers. Saya jelaskan misi saya. Kalau dengan diplomasi tak berhasil mengembalikan Irian Barat, maka APRI harus siap membebaskannya,” kata Nasution.
Pandjaitan bergaul karib dengan masyarakat setempat selama di Bonn. Dia antara lain, tulis Martin Sitompul dalam artikelnya di Historia.id berjudul “D.I. Pandjaitan Berkhotbah di Jerman”, pernah berceramah di gereja atas undangan Pendeta de Kleine, tokoh Gereja Protestan Jerman di Wuppertal-Barmen.
“Mungkin maksudnya agar masyarakat Jerman mengetahui dan bangga, bahwa ada perwira TNI yang berasal dari Tanah Batak, tempat Mission Zending bertugas menyebarkan agama Kristen di sana sejak sebelum penjajahan,” kata istri Pandjaitan, Marieke Pandjaitan br. Tambunan dalam D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: Pierre Tendean, Ajudan Tampan yang Setia Sampai Akhir
Dari Bonn, Pandjaitan lalu ditarik ke Jakarta dan diangkat menjadi perwira pembantu Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel pada Juli 1960.
Kinerja baik Pandjaitan membuatnya dipilih Menpangad Letjen A. Yani sebagai Asisten IV-nya ketika Yani naik menggantikan Nasution, 1962. Sama seperti Yani sebelumnya, pengangkatan Pandjaitan sempat mendapat pertanyaan besar dari Presiden Sukarno. Dikisahkan Marieke Pandjaitan br. Tambunan, Pandjaitan sampai dihadapkan pada presiden karena penjelasan Yani soal pilihannya itu tak bisa meyakinkan presiden.
Presiden, yang mendapatkan informasi ketidakloyalan Pandjaitan dari Biro Pusat Intelijen dan Chairul Saleh yang pada 1950-an tinggal di Jerman, bahkan memerlukan bertanya kepada pihak lain. Salah satunya Hasjim Ning, sahabatnya yang merupakan keponakan Bung Hatta, yang juga ditanyai soal rumor miring terhadap Yani menjelang pemilihannya menjadi Menpangad.
“Aku ditanyai Bung Karno pula persoalan itu, karena kebetulan pada waktu itu aku berada di Jerman Barat. Itu bohong saja, Pak. Makum, tentu ada orang yang tidak suka pada Panjaitan kalau ia menduduki pos yang penting,” kata Hasjim kepada Sukarno seperti ditulis dalam otobiografinya, Pasang-Surut Pengusaha Pejuang.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: MT Haryono, Calon Dokter yang Memilih Jadi Tentara
Pandjaitan akhirnya diangkat menjadi Asisten IV Menpangad, pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal. Jabatan itu masih dipegangnya ketika pada dini hari 1 Oktober 1965 rumahnya digeruduk pasukan Gerakan 30 September pimpinan Letnan Kolonel Untung Syamsuri yang mengklaim ingin menyampaikan perintah presiden.
Setelah rumahnya berantakan diberondong pasukan penggeruduk, Pandjaitan turun menemui mereka dengan berpakaian lengkap. Di depan garasi saat berdoa, Pandjaitan dipukul kepalanya lalu diberondong pasukan penculik.
Empat hari kemudian, saat dimakamkan di TMP Kalibata, Pandjaitan ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi dan pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (anumerta) berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 111/ Koti.
Menjelang akhir hidupnya, Pandjaitan memberi porsi waktu lebih besar untuk membaca buku-buku keagamaan. Ketika gugur, Pandjaitan telah merampungkan enam dari 12 jilid Church Dogmatics karya teolog Karl Barth.
“Hasratnya untuk memahami dogma-dogma tersebut bukan karena dia seorang yang taat beragama, tetapi juga karena keinginannya untuk membantu para pendeta memberi khotbah-khotbah di daerah gerilya selama masa perang kemerdekaan,” tulis Mardanas Safwan dalam Mayor Jenderal Anumerta DI Panjaitan.