Masuk Daftar
My Getplus

Mimpi Damai di Filipina Selatan

Konflik di Filipina Selatan berakar sejak zaman kolonial Spanyol. Tak terselesaikan hingga kini.

Oleh: M.F. Mukthi | 27 Sep 2013
Moro National Liberation Front (MNLF)

MILISI Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), kelompok separatis yang berpusat di selatan Filipina, menyerang pasukan pemerintah di Zamboanga, Mindanao, Filipina Selatan, awal September lalu. Pertempuran pun pecah. Ratusan orang tewas dan disandera pasukan MNLF. Militer bereaksi dan berhasil menangkap beberapa pemberontak.

Penyerangan itu terjadi menjelang penandatanganan perjanjian damai antara pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF), pecahan dari MNLF. Selain mengakhiri konflik, poin perjanjian damai mencakup pembagian kekayaan sumber daya alam dan mineral serta pemerintahan otonom di Pulau Mindanao.

MNLF menganggap pemerintah Filipina tak menghormati perjanjian yang ditandatangani antara MNLF dan pemerintah pada 1996. Sebagai responnya, Nur Misuari, ketua MNLF, memproklamasikan kemerdekaan Bangsamoro pada Agustus 2013 dan mendirikan Bangsamoro Republik (UFSBR).

Advertising
Advertising

Bibit konflik mulai muncul saat Spanyol menguasai Filipina pada abad ke-16 dan menerapkan kebijakan transmigrasi dan Kristenisasi. “Sebuah upaya kuat memaksakan Katolik di seluruh kepulauan untuk mencegah penyebaran Islam di Asia Tenggara,” tulis Peter Chalk, “Militant Islamic Extremism in the Southern Phillipines”, dimuat dalam Islam in Asia: Changing Political Realities.

Etnis-etnis yang berhimpun menjadi bangsa Moro dan sudah lama mendiami Mindanao dan pulau-pulau lain di selatan Filipina, mulai terdesak oleh transmigran dari pulau-pulau di utara seperti Luzon dan Visays. Mereka kehilangan tanah, mata pencaharian, dan bahkan terusir dari tanah kelahiran. Mereka pun melakukan perlawanan dan berhasil meredam Kristenisasi selama tiga abad berikutnya. Spanyol hanya bisa menguasai utara dan timur Mindanao.

Setelah mengalahkan Spanyol dalam perang pada 1898, Amerika Serikat menguasai Filipina dan melanjutkan program transmigrasi agar penduduk Mindanao mendukung integrasi Filipina. Gelombang transmigran makin deras setelah Filipina merdeka pada 1946.

Pada 1969, Nur Misuari dan kawan-kawan membentuk kelompok separatis MNLF, yang kemudian menjadi induk perlawanan bangsa Moro menuntut kemerdekaan. Pertempuran demi pertempuran pecah di berbagai wilayah Mindanao. Pemerintahan Ferdinand Marcos menjawabnya dengan operasi militer.

Perjanjian damai Tripoli Agreement pada 1976 mengakhiri konflik. Perjanjian ini memaktubkan otonomi terhadap 13 provinsi dan 9 kota di Mindanao. Namun, di tubuh MNLF sendiri terjadi perpecahan. Hashim Salamat mendirikan MILF pada 1978 dan Khadaffy Janjalani mendeklarasikan Abu Sayyaf pada 1991.

Rezim Fidel Ramos tak merealisasikan Tripoli Agreement. Pertempuran kembali pecah. Sejak 1993 Indonesia memediasi perdamaian, yang menghasilkan penandatanganan perjanjian damai pada 2 September 1996, yang juga memberikan otonomi di Filipina Selatan. Pertemuan lanjutan terus digelar untuk menilai implementasi perjanjian damai. Menurut rencana, pertemuan lanjutan dihelat di Yogyakarta pada 16 September 2013, tapi gagal karena pertempuran kembali pecah.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Memindai Sejarah Barcode dan QR Code Musuh Napoleon di Waterloo Hina Diponegoro Mengisap Sejarah Vape Diangkat jadi Nabi, Bung Karno tak Sudi Frozen Food Mengubah Kebiasaan Makan Orang Masa Kini Jatuh Bangun Juragan Tembakau Bule Jalan Perjuangan Tak Berujung dalam Perang Kota Dari Penaklukkan Carstensz hingga Serangan VOC ke Kesultanan Gowa Jejak Sejarah Seluncur Es Konservator: Profesi Penjaga dan Perawat Koleksi