DULU, waktu Jenderal M. Jusuf mejabat Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), figurnya amat populer. Ke mana dia pergi, banyak orang suka melihatnya. Tentu saja kepopulerannya masih di bawah daripada Soeharto. Meski begitu, ada yang menduga kepopuleran Jusuf agak mengkhawatirkan.
“Walaupun tidak bisa dibuktikan, tetapi mulai banyak laporan yang masuk ke telinga Presiden bahwa Menhankam/Pangab sedang berusaha mencari dukungan masyarakat untuk suatu tujuan atau ambisi politik tertentu. Sebagaimana banyak intrik politik di Indonesia, sumber informasi dan bisik-bisik itu tidak pernah diketahui dengan jelas, tetapi celakanya, justru masuk langsung ke Presiden sendiri,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam biografi Jusuf berjudul Jenderal M. Jusut Panglima Para Prajurit.
Soeharto yang seperti raja Jawa jelas peka terhadap fenomena apapun yang bisa mengusik kekuasaannya. “Soeharto dikabarkan mulai agak cemas,” kata Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Baca juga: M. Jusuf Kerjai Solichin GP Saat Tertidur
Terlebih, pada 1980 Soeharto baru saja mendapat “perlawanan” dari para pensiunan jenderal dan intelektual yang tergabung dalam Petisi 50. Bagi Soeharto, siapapun yang melawan dirinya dianggapnya melawan Pancasila. Era 1970-an dan 1980-an adalah masa-masa kuatnya Soeharto. Sikap paranoid Soeharto akan adanya orang yang menyaingi dirinya tentu mempengaruhi langkah-langkahnya.
Dengan banyaknya “mata” yang dimilikinya, Soeharto tentu memanfaatkan betul “mata-mata”-nya untuk mengawasi siapapun yang bisa mengancam kekuasaanya, terlebih bila ancaman itu datang dari orang paling punya power setelah dirinya. Salah satu “mata” yang paling diandalkannya adalah bekas bawahannya di Kostrad yang paling dipercayainya, yakni Leonardus Benjamin “Benny” Moerdani.
Di lain pihak, Benny –yang merupakan salah satu bawahan paling diandalkan oleh Jusuf– pula yang paling dicurigai sejumlah perwira muda. Dalam Konflik dan Integrasi TNI-AD, Kivlan Zen menyebut gamblang nama Benny dalam isu popularitas Jusuf yang mengusik Soeharto itu.
“Ketua G1/Hankam merangkap Asisten Intelijen ABRI Letnan Jenderal Benny Moerdani diisukan melaporkan kepopuleran Jenderal M Jusuf kepada Soeharto.”
Baca juga: Gebrakan Anti Korupsi Ala Jenderal Jusuf
Sebagai orang intel, Benny tentu harus kritis terhadap Jusuf. Benny memang menempatkan empat prajurit baret merah Kopassandha (kingi Kopassus) untuk mengawal Jusuf. Sebagai orang yang ditugaskan sebagai pejabat intelijen oleh presidenya, Benny wajib memberi laporan kepada Soeharto selaku panglima tertinggi ABRI.
M. Jusuf tentu paham tugas Benny. Bahkan, Jusuf sendirilah yang kerap “mengingatkan” Benny soal melapor itu dengan kalimatnya yang khas, “Kau laporkan ini kepada Pak Harto, Ben.”
Hubungan antara Jusuf dengan Benny amatlah karib bak hubungan Moerdani dengan Soeharto. Jusuf amat senang dengan kecerdasan dan kecekatan Benny yang menurutnya, suka belajar. Hubungan itu sudah berjalan sejak era akhir 1950-an. Oleh karena itu, ketika keduanya berkantor di tempat yang sama, Jusuf senang dan hampir selalu mengandalkan Benny, bahkan dalam urusan kecil semisal minta dicarikan nama untuk ajudannya.
Baca juga: Kala M. Jusuf Nyaris Direnggut Maut
Hubungan harmonis itu bahkan terus berlanjut hingga ketika Jusuf sudah out dari Medan Merdeka Barat (baca: Kemhankam). Keduanya masih kerap berkomunikasi. Bahkan, Jusuf masih diberi akses khusus untuk menghubungi Benny di mana dan kapan pun.
Namun, tetap saja banyak perwira muda mencurigai Benny yang tertutup namun punya kekuasaan besar. Terlebih ketika beredar isu popularitas Jusuf untuk kepentingan politis. Mereka pun menduga isu tersebut berasal dari Benny.
“Benny Moerdani juga melaporkan tindak-tanduk Jenderal M Jusuf kepada Soeharto, yang menyebutkan bahwa Jusuf menggalang kekuatan internal untuk menjadi presiden RI,” kata Kivlan.
Jusuf bukan tak tahu isu tersebut. Namun dia menanggapinya dengan santai. “Kalau kau mempunyai niat baik, buat apa kau takut kegiatanmu dilaporkan kepada siapa pun,” katanya kepada publik, dikutip Atmadji.
Baca juga: M. Jusuf Membohongi Presiden Filipina
Pada akhirnya, Jusuf terkena getah isu tersebut. Dalam sebuah rapat informal di kediaman Presiden Soeharto, Jusuf dibuat kaget sekaligus disudutkan ketika Mendagri Amirmachmud memintanya mejelaskan isu tersebut kepada Soeharto dengan bahasa yang menuduh. Jusuf berang. Sambil menggebrak meja, dia mengatakan “Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah Bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan tugas itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa.”
Sejak saat itu, hubungan Jusuf dan presidennya pun dingin. Selain tak pernah mau menghadiri rapat di Bina Graha, Jusuf jarang melapor kepada Soeharto lagi. Dan yang pasti, jabatan di kemiliterannya pun selesai begitu masa tugas kabinet habis. Jadi “konflik” antara Jusuf dan Benny itu rupanya kepentingan daripada Soeharto sendiri.
“Konflik interpersonal antara Jusuf dan Moerdani dapat diartikan sebagai sikap mendua yang ditunjukkan oleh Soeharto terhadap Jusuf. Pada satu sisi ia mengangkat Jusuf menjadi Panglima ABRI sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa dan pengabdiannya, namun di sisi lain Soeharto tidak sepenuhnya mempercayai Jusuf,” catat Donny Alamsyah Sheyoputra dalam Sebelas Azas Kepemimpan TNI dan Menejemen Interpesonal Perwira Tinggi TNI AD 1970-1990.*