Masuk Daftar
My Getplus

Main Judi Masa Jawa Kuno

Permainan judi pada masa Jawa Kuno diatur, diawasi, dan ditarik pajak.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 28 Jul 2021
Relief Parthayajna di Candi Jago yang memperlihatkan Kurawa dan Pandawa tengah berjudi di balai-balai. (Risa Herdahita Putri/Historia.id).

Bango Samparan, seorang penjudi dari Karuman. Suatu hari, dia kalah judi, ditagih tak bisa membayar. Dia kemudian pergi bertapa di Rabut Jalu.

Di sana, dia mendengar suara dari langit yang menyuruhnya pulang ke Karuman. Kata suara itu: “Anak saya yang akan melunasi utangmu. Namanya Ken Angrok.”

Bango Samparan pun pulang. Dia berjalan semalaman sampai akhirnya bertemu anak yang dimaksud. Dia bawa pulang anak itu dan jadi anak angkat.

Advertising
Advertising

Besoknya, Bango Samparan mengajak Ken Angrok pergi ke tempat judi. Di sana, dia diajak berjudi oleh malandang. Dia menang. “Sungguh pertolongan dewa,” pikirnya.

Bango Samparan kemudian pulang bersama Ken Angrok.

Gambaran tentang perjudian itu muncul dalam Serat Pararaton. Adegan ini menjadi penggambaran kehidupan awal Ken Angrok sebelum menjadi raja di Tumapel (Singhasari).

Baca juga: Ken Angrok dan Tradisi Kurban di Nusantara

Kendati mengisahkan kejadian abad ke-13 hingga Kerajaan Majapahit, Pararaton ditulis bukan pada periode yang sama.

Dalam Masa Akhir Majapahit, arkeolog Hasan Djafar menyebut Pararaton ditulis pada masa akhir Majapahit. Patokannya adalah peristiwa gunung Meletus 1403 Saka (1481 M) yang disebutkan pada bagian akhir naskah. Berarti, Pararaton ditulis tak lama setelah 1403 Saka, yakni masa pemerintahan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya.

Perjudian seperti dilakukan Bango Samparan, tokoh dalam Pararaton, telah ada sejak masa Jawa Kuno. Tak diketahui bagaimana Bango Samparan dan teman-temannya bermain judi. Namun, dari sumber-sumber lain bisa diketahui cara berjudi orang Jawa Kuno bermacam-macam.

Contohnya, Mahabharata menceritakan perjudian terkenal antara Duryodana dari Kurawa dan Yudhistira mewakili Pandawa. Episode cerita ini tergambar dalam relief Parthayajna di dinding Candi Jago, Malang.

Baca juga: Menapak Tilas Ken Angrok

Pada relief, empat tokoh digambarkan berjudi di balai-balai. Di sisi kiri terlihat tokoh Duryodana didampingi Sengkuni. Di belakang mereka berdiri tiga anggota keluarga Kurawa. Berhadapan dengan Yudhistira yang didampingi Arjuna. Tiga anggota Pandawa lainnya berdiri di luar balai-balai.

Tak jelas alat judi yang mereka mainkan. Namun, terlihat ada bidang datar persegi panjang dengan beberapa benda kecil di atasnya. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, menafsirkan itu sebagai perjudian menggunakan dadu.

“Apabila dibandingkan dengan permainan dadu sekarang, itu mengingatkan kepada ‘lapak dadu’, tempat petaruh memasang taruhannya,” kata Dwi.

Jika relief candi mengambil kisah dari kesusastraan India menampilkan judi dadu, maka berbeda halnya dengan perjudian yang disebut dalam beberapa prasasti. Agaknya ada perbedaan antara perjudian di India dengan di Jawa pada masa kuno.

Adu Hewan

Dzulfiqar Isham dalam “Perjudian pada Masa Jawa Kuno: Sumber Prasasti Abad ke-8 Hingga ke-13”, skripsi jurusan arkeologi Universitas Indonesia tahun 2015, menunjukkan bentuk perjudian yang paling banyak disebutkan dalam prasasti adalah sabung ayam.

Lebih dari sepuluh prasasti dari era Jawa Kuno yang menyebutkan judi sabung ayam. Di antaranya Prasasti Wangwang Bangen (824 M), Prasasti Waharu Kuti (840 M), Prasasti Kancana (860 M), Prasasti Waharu I (873 M), Prasasti Telang I (903 M), Prasasti Kubu-Kubu (905 M), Prasasti Sangsang (907 M), Prasasti Kaladi (909 M), Prasasti Timbanan Wungkal (912 M), Prasasti Sugih Manek (915 M), Prasasti Harinjing B (921 M), Prasasti Sangguran (928 M), Prasasti Gulung-Gulung (929 M), Prasasti Linggasuntan (929 M), Prasasti Turryan (929 M), Prasasti Cunggrang I (929 M), Prasasti Cunggrang II (929 M), Prasasti Poh Rinting (929 M), Prasasti Jru-jru (930 M), Prasasti Waharu IV  (931 M), Prasasti Anjukladang (935 M), Prasasti Gandhakuti (1042 M), Prasasti Pupus (1100 M), Prasasti Talan (1136 M), Prasasti Tuhanaru (1323 M), dan Prasasti Pabuharan (-).

Baca juga: Perang Ayam

Sedangkan bentuk perjudian lain hanya muncul sesekali di dalam prasasti, seperti adu burung merpati dalam Prasasti Waharu Kuti, adu babi dalam Prasasti Taji (901 M) dan Padlegan I (1116 M), serta adu kambing dalam Prasasti Hantang (1135 M).

Pejabat Perjudian

Pemerintah Jawa Kuno membentuk pejabat khusus untuk mengawasi perjudian. Isham menyebutkan pejabat yang disebut malandang, lca, lěbělěb, dan taji. Malandang adalah pengawas perjudian sabung ayam. Lca adalah asistennya. Taji diperkirakan petugas yang menangani senjata pada kaki ayam (taji). Sedangkan lěbělěb adalah pengawas perjudian atau bisa juga diartikan tukang jagal.

Istilah malandang muncul pula dalam Pararaton. Malandang, menurut Dwi Cahyono, adalah bandar sekaligus pengawas judi.

Baca juga: Pejabat Pajak Menyeleweng

Ada juga yang disebut dengan juru judi atau tuha judi. Artinya pemimpin, kepala, dan pengawas perjudian. Tugasnya menjadi koordinator penarik pajak perjudian.

Juru judi termasuk pejabat abdi dalem kerajaan yang digaji oleh raja atau sebutannya mangilala drwaya haji. Jadi, ia bukan hanya bertugas menarik pajak. “Namun juga sebagai pejabat yang ditunjuk raja untuk mengurus perjudian,” tulis Isham.

Juru judi berada di urutan teratas dalam sistem perjudian di dalam kerajaan. Penyebutannya dalam prasasti biasanya bersebelahan dengan juru jalir atau kepala prostitusi. Di antaranya seperti disebutkan dalam Prasasti Kancana dan Prasasti Hring (937 M).

Baca juga: Jabatan untuk yang Berjasa

Selain diatur oleh petugas khusus, izin berjudi juga menjadi hak istimewa yang diberikan kepada seseorang, biasanya yang berjasa kepada raja atau penguasa. Misalnya disebutkan dalam Prasasti Panumbangan 1 (1140 M): “…boleh berjudi di balai-balai, boleh berjudi di tempat belajar agama,…”

Prasasti Talan (1136 M) juga menyebut: “…boleh berjudi di balai,...” Balai untuk berjudi mungkin seperti di relief Parthayajna, Candi Jago.

Kendati begitu perjudian pada masa Jawa Kuno masuk dalam daftar kejahatan versi kitab Purwadhigama (abad ke-9).

Sebagaimana dijelaskan epigraf Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, kitab ini membagi tindak pidana dan perdata kedalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara, salah satunya totohan prani dan totohan tan prani atau taruhan dan perjudian.

Baca juga: Pejabat yang Bersyahwat Tinggi

TAG

jawa kuno judi

ARTIKEL TERKAIT

Berjudi di Pacuan Anjing Pajak Judi Masa Kompeni Daud Beureueh Larang Judi di Aceh Hoegeng dan Beking Judi Pajak Kasino untuk Pembangunan Jakarta Wejangan Istri untuk Perwira Penjudi Judi Resmi di Indonesia Satu Rumpun Bahasa Susunan Pemerintahan VOC Cerita di Balik Repatriasi Arca Brahma