Masuk Daftar
My Getplus

Gotong Royong dalam Menghadapi Pandemi

Indonesia berulang kali dilanda pandemi. Gotong royong menjadi solusi dalam menghadapi masa sulit itu.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 15 Nov 2020
Orang-orang mengantre di depan pegadaian Surabaya untuk memperoleh bantuan pada masa resesi tahun 1930. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

Selama masa pandemi banyak orang menanggung kesulitan hidup. Dari kehilangan pekerjaan, pemotongan pendapatan, sampai kerugian usaha. Sejumlah orang berinisiatif untuk mengurangi kesulitan sesamanya. Salah satu yang fenomenal adalah konser amal Didi Kempot Covid-19. Hasilnya dana Rp7,8 miliar terkumpul dan disalurkan kepada yang membutuhkan.

Pada masa lalu, praktik mengatasi kesulitan bersama ini kerap tersua dalam sejarah Hindia Belanda. Misalnya terjadi saat wabah misterius sejenis tifus merebak di Jawa pada 1848. Menurut Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market, saat itu pemerintah kolonial memberlakukan karantina bagi para penderita. Segala kebutuhan mereka menjadi tanggungan pemerintah.

Pemerintah kolonial berupaya menyediakan segala kebutuhan untuk penduduk dan para tenaga medis. Contohnya dengan menyediakan selimut dan obat kina. Penduduk pun ikut membantu mencukupi kebutuhan tetangganya yang terkena penyakit.

Advertising
Advertising

Kejadian serupa terulang pada akhir dekade 1910-an. Kali ini, Hindia Belanda dilanda pandemi Flu Spanyol. Meski awalnya banyak yang meremehkan penyakit ini, pemerintah dan masyarakat akhirnya bergerak bersama untuk mengatasi pandemi. Pemerintah mulai mengatur kegiatan masyarakat selama pandemi. Salah satunya kewajiban memakai masker.

Di masyarakat, cara-cara kultural dilakukan untuk pencegahan pandemi. Ini terjadi karena informasi tentang Flu Spanyol belum tersebar luas dan jelas. Cara kultural itu antara lain dengan menggelar doa bersama dan arak-arakan. Penyelenggaraan itu dilakukan dengan melibatkan banyak orang. Tanpa bayaran sepeserpun.

Meski cara-cara itu justru bisa memperparah penyebaran, contoh ini menegaskan adanya keinginan masyarakat untuk bergotong royong menghadapi pandemi dan masa-masa sulit.

Setelah pandemi Flu Spanyol, masyarakat Hindia Belanda diuji lagi oleh resesi ekonomi pada 1930-an. Jumlah pengangguran dan gelandangan di kota besar meningkat. Di desa-desa, petani juga kelimpungan.

Gotong Royong Pemerintah dan Masyarakat

Pemerintah kemudian bergerak mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meringankan masyarakat. Antara lain mengubah besaran pajak, membuka kursus keterampilan, dan menyalurkan bantuan langsung tunai.

Gerak masyarakat muncul lewat praktik gotong royong. Mereka saling membantu mengatasi kesulitan. Bantuan bisa dari perorangan atau lewat organisasi dan koperasi; bisa pula dari sesama pekerja kepada pekerja lain yang dirumahkan.

Di kampung, koperasi dan para pemilik warung atau toko kelontong memberikan kelonggaran kredit barang kepada penduduk yang dikenal baik. Sementara itu di kota, orang kaya kerap mendermakan sejumlah hartanya untuk para pengangguran.

“Sebenarnya, masyarakat Indonesia di perkotaan jauh lebih dermawan dalam mendukung para pengangguran, tetapi dukungan diberikan pada tingkat personal, atau komunal melalui organisasi sukarela yang tidak berhubungan dengan pemerintah,” catat John Ingleson dalam Tangan dan Kaki Terikat.

John Ingleson melanjutkan, organisasi pergerakan nasional dari berbagai paham ikut pula turun tangan menggalang dana untuk membantu masyarakat.

Guru Besar Sejarah Islam UIN Syarif Hidayatullah, Amelia Fauzia, dalam Filantropi Islam: Sejarah Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia mencatat bahwa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah getol menggalang semangat filantropi pada masa krisis melalui penyaluran zakat. Filantropi merupakan sebentuk gotong royong.

Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebut praktik gotong royong terus berkembang memasuki abad ke-20 ketika kehidupan masyarakat kian sulit. Tak hanya di desa, tapi juga di kota-kota. “Selama dua atau tiga puluhan tahun pertama abad ini, maka timbullah kesan bahwa terdapat variasi yang banyak sekali dari bentuk gotong royong seperti yang berlaku di pelbagai daerah,” ungkap Sartono dalam “Kedudukan dan Peranan Sistem Gotong Royong dalam Perkembangan Masyarakat Indonesia”, termuat dalam Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah.

Bentuk-bentuk Budaya Gotong Royong

Sartono mencontohkan bentuk-bentuk gotong royong itu antara lain slametan, sambatan, sumbangan, sinoman, dan krama atau seka. Slametan biasanya berbentuk acara syukuran bersama warga atas tercapainya panen dan peringatan hari keagamaan. Bentuk ini tersua di Jawa dan Sumatra.

Sambatan lazimnya muncul di daerah transmigrasi seperti Sumatra Selatan. Di wilayah ini tanah terhampar luas, tetapi penduduknya jarang. Mereka membentuk kelompok kecil yang disebut regu. “Ke dalam para anggota saling membantu, tetapi ke luar mereka menyediakan tenaga untuk membantu dengan ganti kerugian atau imbalan,” catat Sartono. Sambatan terdiri dari tiga jenis. Sambatan pembangunan desa, sambatan mendirikan rumah, dan sambatan pertanian.

Sumbangan menjadi praktik gotong royong paling umum pada awal abad ke-20. Sumbangan bisa dilakukan secara berkelompok atau perorangan. Saat masa sulit, di Yogyakarta organisasi berbasis Katolik dan Kristen Protestan getol menyediakan bantuan bagi kaum miskin dan penganggur terdampak.

“Di antara mereka adalah Yayasan Bantuan Kemiskinan Yogyakarta (Vereniging Jogjasche Armenzong), Yayasan St. Elizabeth (St. Elizabethvereniging), Dewan Bantuan Kemiskinan Kristen Protestan (Diaconie der Protestansche Gemeente)…” ungkap Ben White dalam “Pengalaman Tiga Resesi: Yogyakarta Masa 1930-an, 1960-an dan 1990-an”, termuat dalam Dari Krisis ke Krisis.

Organisasi tersebut bernaung dalam satu payung besar organisasi bernama Komite Umum Bantuan Kaum Miskin (Algemeene Armenscommissie) yang berdiri pada September 1935. Bantuan organisasi tersebut berupa uang tunai, pangan, dan tempat menginap gratis bagi orang-orang yang memenuhi syarat.

Sartono menyebut bahwa sinoman sebenarnya bentuk gotong royong lama di Jawa Timur abad ke-19. Berbentuk perkumpulan tradisional, sinoman memiliki anggota pengurus seperti ketua dan juru tulis. Sinoman bertujuan saling membantu terkait kematian anggota atau keluarga perkumpulan, perkawinan, khitanan, dan pembangunan rumah. Satu sinoman dapat beranggota 25 sampai 20 orang.

Gotong royong berbentuk krama atau seka muncul secara khusus di Bali pada awal abad ke-20. Salah satu contoh yang paling terkenal ialah krama subak. “Subak merupakan perkumpulan penggarap sawah yang mendapat air dari satu empul (bendungan) atau satu aliran air,” terang Sartono. Jenis krama lain meliputi krama desa, krama banjar, dan seka kelompok kesenian (gong, barong, joged janger).

Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Tadjuddin Noer Effendi, dalam “Budaya Gotong Royong Masyarakat dalam Perubahan Sosial Saat Ini” Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol. 2 No. 1, Mei 2013, menyebutkan, gotong royong terus tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Kebiasaan ini tak lekang dihantam pandemi atau krisis ekonomi. Perubahan sosial dan ekonomi masyarakat tak menggerus gotong royong.

Tadjuddin menyatakan kebertahanan gotong royong menghadapi zaman karena “gotong royong suatu paham yang dinamis, yang menggambarkan usaha bersama, suatu amal, suatu pekerjaan atau suatu karya bersama, suatu perjuangan bantu-membantu.” Karena itulah, gotong royong tak hanya menjadi milik masyarakat perdesaan atau dunia pertanian. Ia juga kaprah dilakukan oleh masyarakat perkotaan.

Gotong Royong Kaum Buruh

Serikat buruh tak ketinggalan pula ambil peran mempraktikkan gotong royong. Ini tampak dalam laku lampah Perserikatan Pekerja Pegadaian Hindia (PPPH). Serikat ini memiliki jumlah anggota yang besar dan termasuk serikat buruh terbesar di Hindia Belanda. Mereka memiliki 3.000 anggota. Dari jumlah itu, hampir setengahnya mengalami pemecatan pada masa krisis.

Dalam masa krisis, PPPH meminta para anggota yang masih bekerja untuk menyisihkan uang bagi korban resesi. Dari penggalangan dana itu, PPPH menyalurkan bantuan sebesar 30 gulden kepada anggotanya yang di-PHK selama 1931.

Tapi jumlah bantuan merosot menjadi 7,5 gulden untuk tiap orang memasuki 1932. Penyebabnya penerimaan dana sumbangan dari anggota PPPH berkurang akibat resesi berkepanjangan. Resesi menyulitkan anggota lainnya untuk mengeluarkan dana sumbangan.

Selain membantu para anggotanya sendiri, PPPH menjalin kerja sama dengan serikat buruh dan organisasi lainnya untuk memudahkan ekonomi orang-orang di luar PPPH. “Membuat undian kooperatif yang terorganisir dan mengadakan malam kebudayaan, serta pertandingan sepakbola untuk membantu para pengangguran,” tulis John Ingleson.

Di Bangka, para buruh Tambang Timah Bangka atau Bangka Tin Winning Bedrijft (BTW) berkebangsaan Eropa dan Indo berbuat serupa PPPH. Mereka mengumpulkan bantuan keuangan dan material untuk sesama pekerja Eropa dan Indo yang di-PHK. Caranya dengan menggelar berbagai pertunjukan hiburan di kota-kota di Bangka.

“Upaya ini sangat berhasil sehingga bisa menggalang bantuan bagi orang Eropa yang menganggur di Batavia dan para korban bencana alam di Jawa,” catat Erwiza Erman dalam “Antara Lada dan Timah: Pengalaman Krisis di Bangka” termuat dalam Dari Krisis ke Krisis.

Selain itu, para pekerja yang masih berpenghasilan mencoba bersama-sama menerapkan laku prihatin atau hidup sederhana sebagai bentuk solidaritas dalam masa sulit.

Hal berbeda ditempuh oleh Pekerja Serikat Seluruh Indonesia (PSSI) di Surabaya pada 1931. Mereka tidak menyalurkan dana bantuan secara langsung untuk para penganggur, melainkan menggunakan dana tersebut untuk membuka lapangan kerja baru. Pembukaan itu hasil bahu-membahu antar anggota serikat dengan kemampuan berbeda.

“Para ketua perserikatan mengakui bahwa skema tersebut hanya dapat membantu sejumlah kecil pengangguran di perkotaan, namun merupakan bagian penting dalam kerja bantuan mereka,” sebut John Ingleson.

Gagasan Gotong Royong Sukarno-Hatta

Bersamaan dengan masa resesi itu, Sukarno menulis dua artikel berjudul “Demokrasi Politik dan Demokrasi-Ekonomi” dan “Sekali lagi tentang Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi”. Dia mengemukakan gagasan dan sistem demokrasi dan ekonomi yang bertumpu pada semangat gotong royong. Bukan pada persaingan sesama rakyat jelata.

Dua artikel tadi menjadi bentuk kritik atas kapitalisme yang kala itu telah dianggap sebagai biang kerok resesi ekonomi. Kelak semangat gotong royong ini kembali diulang oleh Sukarno dalam pidato di sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Semangat gotong royong ini dijembarkan secara luas di berbagai macam bidang seperti politik, sosial, dan budaya melalui penggalian terhadap sejarah dan tradisi bangsa.

Selama masa resesi itu pula, Mohammad Hatta juga berupaya mengembangkan praktik gotong royong di bidang ekonomi. Dia menulis gagasan tentang sistem ekonomi koperasi di koran Daulat Ra’jat pada 1933. Dalam pandangan Hatta, sistem ekonomi kapitalisme mempunyai banyak celah dan merugikan orang. Salah satunya resesi ekonomi. Karena itu, Hatta melihat kembali sistem ekonomi yang bertumpu pada asas gotong royong, tradisi turun-temurun yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia.

Resesi ekonomi di Hindia Belanda berangsur hilang sejak 1937. Tapi tak semua wilayah mengakhiri resesi pada waktu bersamaan. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, kesukaran ekonomi masih tetap berlangsung. Jepang pun berupaya meraih simpati rakyat dengan menyentuh akar tradisi, yaitu mempropagandakan gotong royong. Namun, Jepang gagal karena melakukan penindasan sehingga menimbulkan antipati rakyat.

Melalui sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, Sukarno berpidato tentang Pancasila yang intinya adalah gotong royong. Pidato ini juga menjadi ikhtiarnya mengembalikan makna gotong royong yang sesuai sejarah dan tradisi bangsa Indonesia. Gotong royong untuk mewujudkan kemakmuran bersama sekaligus menjadi solusi ketika menghadapi masa sulit.

TAG

historial gotong royong bpip

ARTIKEL TERKAIT

Arus Sejarah Baterai Penopang Mobil Listrik Lika-liku Mobil Listrik yang Menggelitik Gotong-Royong, "DNA" Orang Indonesia Awal Mula Munculnya Air Mata Buaya Mutiara yang Hilang Tokio Jokio, Film Animasi Propaganda AS Masa Perang Dunia II Kisah Pemalsu Lukisan-lukisan Terkenal Ramalan-ramalan Tjokrokario Sebelum Ahmad Albar Sukses di Indonesia Di Balik Lagu “Nuansa Bening”