“Kalau politik otaknya partai, maka sastra dan seni adalah hatinya partai,” kata Aidit.
“Kau yakin bahwa sastrawan dan politisi itu bisa kerjasama?” tanya Utuy.
“Kau sendiri yakin tidak, bahwa kita bisa kerjasama?” jawab Aidit.
Utuy tertawa lalu mereka berjabat tangan. Perbincangan itu tampaknya menandai bergabungnya Utuy Tatang Sontani, seorang dramaturg besar Indonesia, dengan PKI. Namun, baru enam bulan bergabung badai G30S menerpa.
Utuy Tatang lahir di Cianjur pada 13 Mei 1920. Ayahnya seorang saudagar batik yang kemudian alih profesi menjadi jurutulis. Utuy sempat masuk ke sekolah desa, kemudian pindah ke sekolah Schakel dan mendapat pelajaran bahasa Belanda. Namun, di sekolah ini Utuy justru mendapat hinaan “inlander!” dari kepala sekolah Belanda.
“Sejak itu aku pun tak sudi datang lagi di sekolah. Terus tak datang lagi, sampai akhirnya dinyatakan keluar,” kenang Utuy dalam memoarnya Di Bawah Langit Tak Berbintang.
Baca juga: Sontani, Pelopor Pelarian dari Kamp Boven Digul
Setelah lima bulan tak sekolah, Utuy masuk ke Taman Siswa Cianjur yang baru didirikan. Pada masa ini, ketika usianya 15 tahun, Utuy untuk pertama kalinya mengirim karangan ke suratkabar Sinar Pasoendan di Bandung. Karangan itu dibuatnya untuk mengambil hati gadis pujaannya yang juga tetangganya sendiri.
Pada karangan tersebut, Utuy menggunakan nama samara Sontani, terinspirasi dari nama Digulis yang menjadi pelopor pelarian dari pembuangan Digul. Kisah Sontani itu dibacanya dari buku Pelarian dari Digul yang diberi oleh paman si gadis. Nama itu kelak melengkapi namanya menjadi Utuy Tatang Sontani.
Pada 1937, ketika Utuy telah pindah ke Bandung, ia menulis Mahala Bapa dan Tambera. Keduanya dalam bahasa Sunda. Tambera menceritakan perlawanan rakyat Banda terhadap Belanda pada awal abad ke-17, dan dimuat dalam suratkabar Sipatahoenan. Tambera sukses dan digarap ulang dalam bahasa Indonesia pasca-kemerdekaan (terbit 1949).
Menurut Harry Aveling dalam “Man and Society in The Works of The Indonesian Playwright Utuy Tatang Sontani” yang termuat dalam Southeast Asia Paper No. 13 (1979), Tambera sebenarnya memiliki kecerobohan karakterisasi dan ketidakpastian beberapa plot. Tentu bertentangan dengan kesuksesan buku ini.
“Meski demikian, temanya, kebebasan individu dalam masyarakat yang berpotensi korup, menjadi dasar dari seluruh tulisan Sontani,” tulis Harry.
Baca juga: Jejak Sutradara Kotot Sukardi
Pada masa pendudukan Jepang, Utuy menulis sajak-sajak berbahasa Indonesia untuk majalah kebudayaan Panca Raya di Jakarta. Sajak-sajaknya ini membuat Utuy diundang dalam konferensi kebudayaan Gunseikanbu di Jakarta. Utuy kemudian bekerja untuk Putera (Pusat Tenaga Rakyat) cabang Priangan di Bandung. Hampir setiap minggu, sajak dan artikelnya dimuat di suratkabar Cahaya.
Putera mempertemukan Utuy dengan orang yang kelak menjadi sahabatnya: D.N. Aidit. Aiditlah yang mendorong Utuy menyelesaikan Tambera versi bahasa Indonesia. Aidit juga menjadi role model Utuy untuk mengembangkan tokoh Kawista dalam Tambera, tokoh pemberontak Belanda yang keras dan radikal.
Persahabatan Utuy dan Aidit berlanjut hingga Aidit memimpin PKI. Sekira awal 1965, Aidit mengajak Utuy bergabung dengan partai palu arit itu.
Utuy sebenarnya sejak awal 1960-an sudah karib dengan anasir kiri. Menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku, Utuy telah tercatat dalam Konferensi Nasional Lembaga Sastra Indonesia (Lestra) di Medan pada 22-25 Maret 1963. Dalam konferensi yang diramaikan sastrawan-sastrawan besar seperti Bakri Siregar, Pramoedya Ananta Toer hingga Joebaar Ajoeb itu, Utuy turut memberikan sambutan.
Dalam satu acara pada Agustus 1965, Utuy berjumpa Aidit dan ditanyai tentang penyakit lever yang dideritanya. Utuy ditawari Aidit berobat ke Tiongkok ditemani istri. Utuy setuju. Dia berangkat sekira tanggal 27 September tanpa didampingi istri karena satu permasalahan. Tiga hari kemudian, tragedi berdarah G30S terjadi. Utuy terbaring di rumahsakit dan tentu tak bisa pulang ke tanah air ketika sembuh kelak.
Utuy cukup dikenal di antara para sastrawan Tiongkok seperti Yang Mo dan Cin Cing-mei. Karya-karyanya telah tersebar di Tiongkok. Iapun kerap mendapat undangan pertemuan sebagai delegasi PKI di luar negeri.
Namun, nasib berubah. Tak sampai setahun, Revolusi Kebudayaan Mao dilancarkan. Para eksil harus meninggalkan Peking dan tinggal di tangsi-tangsi militer. Mereka dipaksa mempelajari buku-buku pemikiran Mao Tse Tung.
Baca juga: Alkisah Cenderamata Lekra
Revolusi Kebudayaan membuat Utuy muak. Menurutnya, orang-orang menjadi gila karena Mao. Utuy marah ketika mendengar kabar bahwa sahabatnya, Cin CIng-mei, dan pengarang-pengarang lama Tiongkok digasak revolusi.
“Tak kusadari lagi kata-kata apa yang kuucapkan saking marahnya. Bahwa yang akan terjadi di seluruh Tiongkok nanti tak akan ada nama lain yang boleh dikenang di hati orang selain Mao Ce-tung dan bahwa di langit Tiongkok nanti tak akan ada bintang-bintang yang boleh gemerlapan selain satu-satunya matahari merah di siang hari, itulah sebenarnya yang ingin ku katakan,” ungkap Utuy.
Sekira tujuh tahun Utuy harus hidup di bawah bayang-bayang Mao. Menurut keterangan Vilen Sikorsky seperti dilaporkan bbc.com, pada Oktober 1973 kondisi kesehatan Utuy memburuk. Ia kemudian mendapat izin untuk berobat ke Belanda menumpang kereta Trans-Siberia. Ketika melewati Moskow, Utuy memilih untuk turun.
Utuy tinggal di Moscow atas bantuan para penulis Uni Soviet. Ia kemudian juga menjadi pengajar bahasa Indonesia dan literatur di Institut Asia dan Afrika di Universitas Negeri Moscow. Utuy menetap di Moskow hingga meninggal dunia pada 17 September 1979.
Meski sohor karena roman Tambera, Utuy juga terkenal sebagai seorang dramaturg. Sejak 1948 ia telah produktif menulis naskah drama, antara lain: Suling (1948), Bunga Rumah Makan (1948), Awal dan Mira (1951) Manusia Iseng (1953), Sangkuriang-Dayang Sumbi (1953), Sayang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Sang Kuriang (1955, 1959 & 1962), Selamat Jalan, Anak Kufur (1956), Di Muka Kaca (1957), Saat Yang Genting (1957), Si Kabayan (1959), Segumpal Daging Bernyawa (1961). Utuy juga menulis kumpulan cerita Orang-Orang Sial (1948-1950).
Baca juga: Sudharnoto, Seniman Lekra Pencipta Lagu Garuda Pancasila
Pada periode yang tampaknya dipengaruhi realisme sosialis-nya Lembaga Kebudayaan Rakjat (LEKRA), Utuy menggubah drama Si Sapar (1963) dan Si Kampeng (1964). Dua drama ini, oleh Ajip Rosidi dalam pengantar memoar Utuy, diolok sebagai propaganda murahan.
Menurut Harry Aveling, Si Sapar dan Si Kampeng ditulis dengan gaya yang agak berbeda dari karya Sontani sebelumnya. Dua lakon ini menganalisis masyarakat dalam konteks konflik kelas.
Si Sapar berkisah tentang Sapar si pengayuh becak. Sementara Si Kampeng bercerita mengenai seorang anak idiot dan tuan tanah yang telah menipu penduduk desa. Keduanya berbicara mengenai sosialisme meski ada kritikan yang mempertanyakan apakah keduanya benar-benar termasuk karya realisme sosialis.
Meski demikian, dalam Si Kampeng, misalnya, Harry Aveling menyebut bahwa, “Sontani telah berhasil memisahkan kebusukan manusia dan menempatkannya dalam satu kelas yang mengeksploitasi.”