Balapan MotoGP di Sirkuit Mandalika di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 20 Maret 2022, ditunda karena hujan deras. Pawang hujan perempuan, Rara Istiati Wulandari, masuk paddock menunjukkan kemampuannya menghalau hujan. Hujan akhirnya reda, balapan pun bisa dimulai. Hasilnya, Miguel Oliveira keluar sebagai juara.
Balapan telah selesai, namun pawang hujan jadi perdebatan warganet. Ada yang menganggap pawang hujan sebagai syirik dan memalukan, sedangkan yang membela menyebutnya sebagai budaya dan kearifan lokal.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), “pawang” adalah “orang yang memiliki keahlian istimewa yang berkaitan dengan ilmu gaib, seperti dukun, mualim perahu, pemburu buaya, penjinak ular”. Sedangkan “pawang hujan” adalah “orang yang pandai menolak hujan”.
Pawang hujan merupakan keahlian lama yang bertahan hingga sekarang karena masih banyak orang yang meminta bantuannya untuk menyukseskan berbagai acara, mulai dari acara hajatan hingga ajang berskala internasional. Bukan hanya sekarang di ajang MotoGP, dulu penyelenggara acara pertandingan Muhammad Ali lawan Rudi Lubbers di Gelora Bung Karno pada 20 Oktober 1973 juga menggunakan pawang hujan.
Baca juga: Tinju Kiri Ali di Jakarta
Lalu Katar
Karena MotoGP diselenggarakan di NTB, ternyata di sana pernah ada pawang hujan terkenal, yaitu Lalu Katar. Pensiunan pegawai kehutanan ini memulai profesi sebagai pawang hujan pada 1969.
Kanti W. Walujo dalam Dunia Wayang: Nilai Estetis, Sakralitas, dan Ajaran Hidup menyebutkan bahwa kisah Lalu Katar menjadi pawang hujan terkenal dimulai di Karang Sukun, Mataram, pada 1976. Pada waktu itu, dalang Lalu Nasib sedang mempergelarkan wayang Sasak. Tiba-tiba hujan turun dengan lebat sampai air masuk ke panggung. Banyak pawang hujan yang dikerahkan, namun tidak berhasil. Lalu Satria Utaman, SH. kemudian menyuruhnya menjadi pawang. Setelah membuat api bakar, dia menghadap ke awan sambil mengisap rokok dan mengucapkan doa-doa yang diambil dari ayat-ayat suci al-Qur’an. Dia berhasil menghentikan hujan.
Lalu Katar pun menjadi pawang hujan terkenal. “Kalau ada acara-acara penting di NTB yang dihadiri Bapak Presiden [Soeharto], dia selalu dipanggil,” tulis Kanti. Dia mendapat imbalan Rp200.000 untuk acara-acara resmi yang diselenggarakan instansi pemerintahan. Sedangkan kalau dimintai tolong oleh tetangga yang punya hajat, dia hanya menerima Rp10.000 sampai Rp15.000.
Lalu Katar mengatakan, tugas menjadi pawang hujan cukup berat karena harus mampu memindahkan awan hitam yang mengandung air hujan untuk dijatuhkan ke laut. Apalagi kalau ada lawan yang sengaja ingin menggagalkannya.
Baca juga: Roh Gunung dan Wabah Penyakit di Lombok
“Selama jadi pawang hujan, dia pernah mengalami kegagalan ketika dirusak oleh pawang hujan lainnya sekitar sembilan tahun yang lalu (tahun 1990-an, red.) di Lembar, Lombok. Sejak saat itu kalau sedang bertugas sebagai pawang hujan, dia selalu sembunyi,” tulis Kanti.
Lalu Katar punya pantangan pada saat sedang mengendalikan hujan yaitu tidak boleh mencuci pakaiannya sendiri. Selain itu, dia harus menghindari perbuatan “ma-lima” (main, madon, maling, madat, dan mabuk).
“Kira-kira 10 tahun yang lalu dia main-main dengan gadis-gadis yang sedang berjualan, padahal dia sedang bertugas. Apa yang terjadi? tiba-tiba datanglah hujan. Sejak itu, dia harus ingat dengan pantangan tersebut, dan harus jauh dari keramaian orang-orang,” tulis Kanti.
Kanti menyebut bahwa Lalu Katar ketika mengendalikan hujan memanjatkan doa-doa yang diambil dari ayat-ayat suci al-Qur’an. Doa yang dibaca ada yang berbahasa Jawa, bahasa Kawi, dan bahasa Arab. Ini sepertinya menunjukkan bahwa pawang hujan melakukan sinkretisme. Contoh dari pawang hujan ini adalah Mbah Soeroto.
Mbah Soeroto
Soeroto bin Cermo lahir sekitar tahun 1925. Dia adalah pelopor Islam di kampungnya di Desa Manggis, Tulis, Batang, Jawa Tengah. Dia bukan kiai atau ustaz lulusan pesantren atau madrasah yang mahir berbahasa Arab dan fasih membaca kitab kuning. Dia hanya seorang petani penggarap biasa yang miskin yang mengaji kepada seseorang di desa tetangga. Setelah itu, dia menyebarluaskan ilmunya di kampungnya.
Pelafalan Bahasa Arab Mbah Soeroto jauh dari fasih. Bacaan Al-Qur’annya juga tidak menggunakan ilmu Tajwid. Tetapi karena tidak ada orang yang bisa mengaji di kampungnya, akhirnya dialah yang diangkat oleh kepala desa sebagai modin yang mengurusi masalah keagamaan di kampung.
“Walaupun ayah belajar ngaji dan ilmu-ilmu keislaman tetapi dia tidak melupakan ajaran-ajaran Jawa yang diwariskan para leluhurnya. Jelasnya, ayah saya, yang biasa dipanggil Mbah Roto atau Mbah Dongkol adalah seorang muslim kejawen tulen,” tulis Sumanto Al-Qurtuby dalam Indahnya Keragaman: Catatan dari Saudi sampai Amerika.
Baca juga: Asal Usul Kaum Abangan
Mbah Soeroto tidak hanya rajin salat, puasa Senin-Kamis, puasa Ramadan, puasa Suro (puasa pada bulan Muharam), zakat fitrah dan ajaran-ajaran Islam lain selain haji karena belum mampu, dia juga mengamalkan nilai-nilai dan falsafah kejawaan dan spiritualitas Jawa. Merawat makam para leluhur, memasang sesaji di sawah, memimpin doa slameten adalah bagian dari kegiatan hidupnya.
Sebagai orang yang dituakan di kampung, Mbah Soeroto juga sering diminta tolong oleh warga untuk mendoakan orang sakit, memberi nama bayi, bahkan menjadi pawang hujan saat orang kampung mengadakan hajatan. Tujuannya agar tidak turun hujan. Kalau cuaca terang, banyak tamu akan datang. Semakin banyak tamu yang datang berarti semakin banyak rezeki karena mereka pasti akan menyumbang.
Saat bertugas sebagai pawang hujan, Mbah Soeroto hanya makan nasi putih tanpa minum air. Karena kalau minum air, hujan bisa turun. “Menurutnya, tugas pawang hujan sebetulnya bukan untuk menghentikan hujan melainkan hanya memindahkannya agar turun di tempat lain,” kata Sumanto yang kini mengajar di King Fahd University of Petroleum & Minerals.
Baca juga: Sebut Kafir, Kiai Diadili
Bila Lalu Katar dan Mbah Soeroto tidak bisa diterima bahkan mungkin dianggap syirik karena mengandung unsur sinkretis, maka mintalah bantuan kiai.
Menurut Samsul Munir Amin dalam Karomah Para Kiai, kejadian bisa mendatangkan hujan dan menghentikan hujan bukanlah hanya pekerjaan pawang hujan. Para kiai yang telah memiliki karomah bisa melakukan itu, sekalipun tidak ditunjukkan secara obral.
Jika kita pernah mendengar bahwa Kiai Mahrus Ali Lirboyo bisa menghentikan hujan, maka Kiai As’ad, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus Situbondo, malah sebaliknya bisa mendatangkan hujan. Kejadiannya ketika Presiden Soeharto akan datang ke pesantren untuk menghadiri Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 pada Desember 1984.
“Tentu saja, kejadian ganjil tersebut bukan semata-mata dilakukan oleh yang bersangkutan, akan tetapi atas kehendak dan izin Allah karena doa sang kiai yang maqbul (terkabul),” tulis Samsul.