Masuk Daftar
My Getplus

Cap Go Meh Bagian dari Kebudayaan Nusantara

Cap Go Meh bukan hanya milik komunitas Tionghoa, tapi sudah menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 04 Mar 2018
Perayaan Cap Go Meh di kawasan Pecinan Glodok, Jakarta Barat, 4 Maret 2018. Foto: Risa Herdahita Putri/Historia.

SEJAK pagi warga berkerumun di sepanjang Jalan Kemenangan III, kawasan Pecinan Glodok, Jakarta Barat. Suara musik pengiring Barongsai dari kejauhan sudah terdengar ramai. Ini adalah hari ke-15 sejak Tahun Baru Imlek 16 Februari 2018. Pada hari ini warga keturunan Tionghoa merayakan Cap Go Meh. Perayaan ini, menurut Ketua Dewan Pembina Panitia Cap Go Meh Glodok 2018, Charles Honoris adalah hari terakhir dari perayaan Tahun Baru Imlek.

Saat Cap Go Meh, seperti biasanya, warga sudah siap berjajar di pinggir jalan. Mereka menantikan arak-arakan karnaval budaya yang dimulai pukul 14.00 WIB. Paling tidak ada seratus dewa yang diarak dengan tandu (Joli) untuk membuka Karnaval Budaya Cap Go Meh Glodok 2018. Ketika arak-arakan dewa itu melintas, bau dupa langsung memenuhi udara. Beberapa warga pun berebut ingin menggapai tandu dewa demi mendapat berkah.

“Selain Barongsai dan arak-arakan Joli yang menjadi ciri khas Cap Go Meh, ada tarian Gemufamire, Sisingaan, Reog Ponorogo dan juga marching band dari Remaja Masjid Istiqlal yang sangat bersemangat memeriahkan acara,” ujar Charles dalam siaran pers yang diterima Historia, Minggu (4/3).

Advertising
Advertising

Rangkaian pesta Cap Go Meh ini berakhir pukul 18.00 WIB di seputaran Jalan Gadjah Mada dan Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Karnaval menempuh rute sekitar 3,5 km. Dimulai dari depan LTC Glodok Jalan Hayam Wuruk, putar balik di Harmoni, masuk ke Jalan Gadjah Mada sampai titik akhir di depan Hotel Novotel.

Sebenarnya, sudah ratusan tahun pesta Cap Go Meh menghibur warga Jakarta. Sejak dulu perayaan dilakukan di jalan raya di Glodok, Pancoran, Senen, dan Jatinegara.

Tradisi Cap Go Meh datang bersama dengan orang Tionghoa yang bermigrasi besar-besaran sekira 300-400 tahun lalu dari daratan Tiongkok. Pun Glodok sudah sejak lama telah menjadi kawasan Pecinan. Sejarawan Alwi Shahab dalam Betawi Queen of the East, mengatakan sejarah lahirnya Glodok dimulai pada 1741, saat VOC mengeluarkan peraturan tentang pendirian sebuah kampung yang dihuni orang Tionghoa.

Meski begitu, menurut antropolog dan ahli folklor James Danandjaja, perayaan Cap Go Meh yang kini berkembang tak lagi sama. Seiring perkembangannya unsur lain dari Nusantara berbaur dengan kebudayaan yang dibawa dari Tiongkok itu.

“Ini tak mengherankan karena orang Betawi keturunan Cina sudah lama datang ke Batavia,” tulisnya dalam “Perayaan Imlek dan Pesta Capgome,” yang terbit dalam Bunga Rampai Seni Pertunjukkan Kebetawian.

Paling tidak, sekira 80 tahun lalu, perayaan Cap Go Meh di Jakarta lebih meriah lagi. Semua jenis pertunjukkan rakyat Betawi dikeluarkan. Berbagai jenis wayang ditampilkan, misalnya Wayang Cokek. Wayang ini ditarikan empat perempuan berbaju kurung beraneka warna. Ditambah lagi pertunjukkan magis nini towok, boneka dari kayu dengan gayung batok kelapa sebagai kepala, diberi pakaian, dan dapat menari setelah diberi mantra.

Malam ke-14 dan ke-15 selalu menjadi klimaks dari pesta Cap Go Meh. Dikeluarkanlah naga Tiongkok, Liangliong, selain Barongsai dan Cungge yaitu tandu-tandu berhias yang berisi anak-anak kecil dengan kostum tokoh-tokoh mitologi atau legenda Tiongkok kuno.

“Liangliong, Barongsai, Cungge, selain berpawai di jalan raya, mengamen pula di rumah-rumah orang kaya dan opsir Tionghoa. Dari sana mereka mendapat hadiah berupa uang dalam jumlah lumayan,” tulis James.

Tradisi ini hampir punah karena sempat dilarang. Dalam Robinhood Betawi, Alwi Shahab menulis, Walikota Sudiro melarangnya pada 1954. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, giliran Gubernur Ali Sadikin yang melarang.

“Pada masa pemerintahannya (Sudiro, red.), musik tanjidor dilarang beroperasi di Jakarta. Padahal tanpa itu perayaan Imlek dan Cap Go Meh kehilangan pamornya,” catat James.

Namun, tetap ada yang tak banyak berubah. Perayaan ini, di Jakarta khususnya, bukan cuma milik masyarakat keturunan Tionghoa. Dulu, mereka yang ambil bagian dalam perayaan Cap Ho Meh adalah orang Jawa, Sunda, Bugis, Arab, dan Belanda.

“Budaya Cap Go Meh bukan hanya milik komunitas Tionghoa, tapi sudah menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara. Kebudayaan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika,” kata Charles. Menurutnya, kebhinekaan itu terlihat dari para peserta karnaval yang berasal dari beragam latar belakang komunitas, profesi, suku, adat dan agama.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Jalan Radius Prawiro Sebagai Pengikut Jesus Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Peran Radius Prawiro dalam Lobi-lobi Internasional Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Radius Prawiro Hapuskan SIAP yang Menghambat Pembangunan Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I) Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak Presiden Korea Selatan Park Chung Hee Ditembak Kepala Intelnya Sendiri