Masuk Daftar
My Getplus

Bunga Mawar dari The Teng Chun

Keseriusannya mendalami dunia film membuahkan JIF, perusahaan film terbesar dan termodern pada masanya.

Oleh: Darma Ismayanto | 02 Jun 2012
Ilustrasi: Micha Rainer Pali

SEBAGAI anak tertua dari pengusaha hasil bumi kaya bernama The Kim Le, The Teng Chun mestinya bisa meneruskan jejak ayahnya berdagang. Pada usia 18 tahun, dia bahkan dikirim ke Amerika untuk belajar ilmu dagang di New York. Tapi minat Teng Chun justru tercurah pada dunia film setelah, bersama Fred Young, seorang sutradara peranakan Tionghoa, belajar menulis skenario di Palmer Play Theatre.

Lima tahun tinggal di New York, Teh Teng Chun, lahir di Surabaya pada 18 Juni 1902, singgah di Shanghai. Di sana dia makin intens mendalami dunia film. Salah satu karyanya, sebuah film bisu Whell of Desteny. Balik ke tanah air pada 1930, setelah sempat menekuni profesi sebagai importir film-film Mandarin, setahun kemudian Teng Chun memproduksi film garapannya sendiri, Boenga Roos dari Tjikembang, diangkat dari roman karya Kwee Tek Hoay.

Dalam Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches, Leo Suryadinata mencatat Boenga Roos dari Tjikembang sebagai film Indonesia pertama yang hadir dengan suara. Di film ini Teng Chun memborong nyaris semua pekerjaan: produser, sutradara, penata fotografi, sekaligus penulis skenario. Sayang, film ini tak terlalu mendapat apresiasi dari media.

Advertising
Advertising

Tapi Teng Chun tak kapok; dia terus menelorkan karya sekalipun tanpa sokongan ayahnya. Muncullah Sam Pek Eng Tay (1931), sebuah cerita cinta tragis dari daratan Tiongkok. Belajar dari keberhasilan ini, dia menggarap film aksi Delapan Djago (Pat Kiam Hap) pada 1933. Setahun berselang, Teng Chun terjun ke produksi film horor dengan Ouw Peh Tjoa (Doea Siloeman Oeler Poeti en Item). Waktu itu Teng Chun bergeliat di bawah bendera Cino Motion Picture, dan cerita filmnya mengambil banyak cerita legenda Tiongkok.

Pada 1940, Teng Chun mendirkan Java Industrial Film Company (JIF), yang menjadi bukti masa keemasan karier Teng Chun. Leo Suryadinata menulis, JIF adalah perusahaan film terbesar dan termodern di Hindia Belanda. JIF produktif memproduksi film seperti Lima Siloeman Tikoes tahun 1935, Pan Sie Tong tahun 1935, Tie Pat Kai Kawin tahun 1935, Ouw Phe Tjoa II (Anak Siloeman Oelar Poeti) tahun 1936, dan Hong Lian Sie tahun 1937.

Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900-1950; Bikin Film di Jawa menuliskan, JIF adalah salah satu perusahaan film yang dapat terus bertahan, meski dunia perfilman sedang krisis. Ini karena manajemen yang baik. Teng Chun menerapkan suatu dasar finansial yang sehat dengan mencegah biaya produksi film melebihi bujet. Hal ini meminimalkan risiko bila terjadi kerugian.

Sejak menekui dunia film, hingga tahun 1940 Teng Chun menyadari permasalahan dunia perfilman  tanah air adalah penonton pribumi. Jika kaum intelektual suka film Eropa, masyarakat kalangan bawah penikmat setia film dalam negeri atau dalam istilah Misbach lebih menyukai sesuatu yang berbau “aksi, fantasi, lagu-lagu merdu, dan apa-apa yang menggemparkan.”

Untuk itu dibikinlah anak perusahaan JIF, Jacatra Pictures dan Action Film, untuk memproduksi film kelas bawah. Film-film macam Srigala Item (1941) dan Singa Laoet (1941) garapan sutradara Tan Tjoei Hock, seorang Tionghoa peranakan, box office. JIF sendiri kemudian berganti nama jadi The New JIF yang memproduksi film kelas satu.

Untuk memantapkan langkah JIF, pada 1940 Teng Chun menarik orang panggung macam Ferry Cock dan Dewi Mada dari Dardanella. Ferry Kock adalah salah satu “Lima Besar” bintang Dardanella, sedang Dewi Mada tersohor sebagai pemain dan penari kabaret. Selain familiar di mata publik, mereka sudah teruji dalam seni peran. Ini juga merupakan strategi jitu untuk mengangkat mutu film dan menarik penonton. Dalam perkembangannya, makin banyak orang Dardanella bergabung. Antara lain Astaman, Ali Yugo, M. Rasjid Manggis, dan Tan Tjeng Bok. JIF makin produktif. Antara 1940 hingga akhir 1941, perusahaan ini menghasilkan 15 judul film.

Pada masa pendudukan Jepang, JIF terpaksa dibubarkan. Jepang dengan sistem sensornya, memilih menyatukan seluruh perusahaan film dalam Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). Setelah situasi politik mulai mereda, pada 1949, bersama sohibnya, Fred Young, Teng Chun kembali mendirikan perusahaan film Bintang Surabaja –diambil dari nama kelompok sandiwara milik Fred Young. Sukses, tapi gemerlapnya kemudian memudar akibat krisis. Bintang Surabaja akhirnya menghentikan produksi sejak 1962.

Teng Chun –mengganti namanya jadi Tahjar Idris pada 1967– lalu menjadi guru privat bahasa Inggris hingga akhir hayatnya. The Teng Chun meninggal dunia pada 25 Februari 1977.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Mimpi Pilkada Langsung Jurus Devaluasi dan Deregulasi Radius Prawiro Mobil yang Digandrungi Presiden Habibie Jenderal Belanda Tewas di Lombok Jusuf Muda Dalam Terpuruk di Ujung Orde Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru Hilangnya Pusaka Sang Pangeran Cerita Presiden RI dan Mobil Mercy-nya Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor