RUMAH Pemakaman Kowloon di Maple Street, Hong Kong dan sekitarnya disesaki lautan manusia pada 25 Juli 1973. Tiga ratus aparat kepolisian mengerahkan penjagaan ekstra ketat saat sekira 30 ribu pelayat berdesakan untuk masuk demi melihat kerabat, sahabat, hingga idola mereka, Bruce Lee, yang terbujur kaku di peti mati terbuka.
Di sekitar peti mati itu ada keluarga dan kerabat terdekat, anak dan istri: Linda, Brandon, dan Shannon Lee, serta ibunda Grace Lee dan kakak-adik Bruce. Mereka, yang berpakaian putih tradisional upacara pemakaman, meratap. Hampir semua masih tak percaya lima hari sebelumnya Bruce mengembuskan nafas terakhirnya.
Pada 20 Juli 1973 malam, aktris Betty Ting Pei panik saat mendapati Bruce tergolek tak sadarkan diri di lantai sebuah apartemen di Beacon Hill Road, Hong Kong. Betty mendatangi apartemen itu karena Bruce sudah ditunggu dua koleganya, Raymond Chow dan George Lazenby, di Hotel Miramar untuk mendiskusikan film Game of Death.
“Sebelumnya pada tengah hari, Bruce dan Raymond sudah bertemu dengan Betty di apartemen itu hingga Bruce didera sakit kepala. Setelah Chow pergi, Betty memberinya sebuah pil (Equagesic, red.) dan Bruce beristirahat. Tapi sampai jam sembilan malam, Bruce tak muncul juga. Betty yang panik memanggil ambulans untuk dibawa ke Rumahsakit Queen Elizabeth,” tulis Bruce Lee: Fighting Spirit.
Baca juga: Bruce Lee dalam 10 Fakta (Bagian I)
Nahas, nyawa Bruce tak tertolong. Ia dinyatakan meninggal karena cerebral edema atau penumpukan cairan di jaringan otak yang mengakibatkan pembengkakan otak. Itu bukan kali pertama Bruce kolaps karena cerebral edema. Pada Mei sebelumnya, ia pun mengalaminya saat masih dalam produksi film Game of Death. Namun nyawanya masih terselamatkan.
Setelah upacara tradisional di Hong Kong, Linda memutuskan membawa jenazah suaminya ke Seattle, Amerika Serikat. Dengan diongkosi Warner Bros., Linda sekeluarga dan jenazah Bruce diterbangkan ke Amerika untuk dimakamkan di Lake View Cemetery pada 31 Juli 1973. Meski tak seramai di Hong Kong, pemakamannya dihadiri beberapa praktisi beladiri dan selebritis Hollywood, termasuk Taky Kimura, Dan Inosanto, Steve McQueen, dan James Coburn sebagai pengusung jenazahnya.
“Di Seattle lebih damai dan tenang. Saya pikir masa-masa paling bahagia baginya adalah di Seattle dan saya berniat kembali ke sana untuk tinggal dengan anak-anak kami,” kata Linda dikutip Matthew Polly dalam Bruce Lee: A Life.
Baca juga: Sang Aktor Laga Telah Tiada
Meski mati muda, nama Bruce Lee beserta warisan yang ditinggalkannya tak hilang ditelan zaman. Pada 1993 namanya diabadikan di Hollywood Walk of Fame. Enam tahun kemudian, nama Bruce juga jadi praktisi beladiri pertama yang masuk di daftar Martial Arts Hall of Fame dan di tahun yang sama, majalah Time menyertakan namanya sebagai satu dari 100 tokoh paling berpengaruh di abad ke-20. Bahkan Presiden UFC Dana White pada 2004 menyebut Bruce Lee sebagai “Bapak Beladiri Campuran”.
Pengakuan-pengakuan itu muncul dari kiprah Bruce Lee mengubah wajah sinema, khususnya film laga, dan beladiri modern. Namun di luar itu ada pula 10 kisah yang mengikuti kehidupannya, sebagaimana yang diungkapkan di bagian pertama. Berikut enam dari 10 di antaranya:
Duel Kontroversial
Long Beach International Karate Championship, medio Agustus 1964. Di sela kejuaraan itu, Bruce unjuk kebolehan latih tanding dengan seorang karateka. Di antara keriuhan penonton yang berdecak kagum, seorang biksu cum master kungfu shaolin, Wong Jack-man, merespon sebaliknya. Bruce menantangnya namun Wong menolak pertarungan terbuka.
Adegan di atas terdapat di film Birth of the Dragon (2016). Duel keduanya pun terjadi beberapa hari berselang di sebuah basement tertutup yang hanya disaksikan segelintir orang di Oakland. Jurus-jurus wing chun Bruce Lee yang sedikit dimodifikasi dengan gerakan anggar dan tinju acap dipatahkan Wong.
Setelah membuka pikiran dan jiwanya, Bruce bisa mengimbangi Wong dan duel kontroversial itu berakhir tanpa pemenang. Meski begitu, yang tergambar dalam film itu jauh dari kenyataan sesungguhnya.
Baca juga: Jalan Berliku Judoka Krisna Bayu
Duel keduanya terjadi bukan di rubanah sebuah gedung, melainkan di Jun Fan Gung Fu Institute di pecinan Oakland. Wong datang dari San Francisco untuk menyatroni Bruce guna menuntutnya berhenti mengajarkan kungfu pada non-Cina.
“Wong Jack Man datang ke sekolah (beladiri) Bruce bersama lima orang lainnya menjelang malam. Di antaranya praktisi tai chi, David Chin dan Chan Keung. Chin yang memperkenalkan Wong dan ketika Chin menyampaikan aturan pertarungan, Bruce menyela: ‘Kalian datang untuk menantang saya dan sekarang kalian yang ingin menetapkan aturan?’” ungkap Charles Russo dalam Striking Distance: Bruce Lee and the Dawn of Martial Arts in America.
Bruce meradang dan menuntut pertarungan tanpa aturan. Duel sengit pun tersaji antara kedua petarung yang sangat berbeda gaya. Tak sampai 10 menit kemudian, Bruce memenangkan duel.
“Setelah terkena tendangan belakang, Wong tersungkur. Bruce berada di atasnya terus-menerus melontarkan pukulan dan berteriak dalam bahasa Kanton: ‘Menyerah?’ Wong tak punya banyak pilihan. Chin yang menyaksikan: ‘dari situ, dia (Wong) bilang menyerah dan kami menghentikan pertarungan. Segalanya berjalan…tak lebih dari tujuh menit,’” imbuh Russo.
Be Water, My Friend
“Be water” atau “jadilah seperti air” jadi filosofi Bruce Lee jika bicara beladiri. Beladiri semestinya tak terkungkung batasan apapun. Eksplorasi beladiri terhadap seseorang tak boleh terbentur doktrin-doktrin tertentu. Sifatnya harus seperti air yang bisa beradaptasi di situasi apapun.
“Kosongkan pikiran, jadilah tanpa bentuk, seperti air. Jika Anda tuang air ke cangkir, airnya menjadi cangkir. Jika Anda tuangkan ke botol, airnya jadi botol. Anda tuangkan ke teko teh, airnya jadi teko teh. Air bisa mengalir, atau air bisa jatuh. Jadilah air,” kata Bruce dikutip Matthew Polly dalam Bruce Lee: A Life.
Filosofi Bruce ini, lanjut Polly, adalah seseorang harus bereaksi dengan sesuai di segala situasi. Membuka pikiran dan hati untuk membebaskan diri dari belenggu batasan jurus maupun aliran tertentu agar bisa bertarung dengan lebih praktis, efisien, dan fleksibel. Filosofi tersebut melahirkan jeet kune do –berarti “Cara Memotong Pukulan”– pada 1967 sebagai filosofi bertarungnya.
Baca juga: Melacak Jejak Pencak Silat
Hal itu juga berkelindan dengan duel kontroversialnya dengan Wong Jack-man pada 1964. Bruce menang meski tak bisa memecundangi Wong secepat yang ia mau.
“Setelah pertarungan, Bruce terduduk di anak tangga dan dia bilang bahwa dia kecewa pada diri sendiri karena pertarungannya berlangsung terlalu lama, bahwa dia tak bisa langsung mengalahkan Wong,” kenang Linda, dikutip Russo.
Jeet Kune Do punya metode inti, yang bisa berbeda-beda untuk setiap orang. Bagi Bruce, inti metodenya tetap wing chun, namun beberapa gerakannya ia ubah agar lebih praktis dan efisien. Itu dijelaskannya saat tampil memerankan Li Tsung di episode pertama serial Longstreet (1971). Dalam adegan, Li Tsung mengajarkan Jeet Kune Do pada bintang utama Mike Longstreet (diperankan James Franciscus).
“Dalam bahasa Kanton, namanya jeet kune do, (artinya) cara meng-intercept pukulan…atau bisa juga tendangan.’ Untuk menggapaiku, kau harus bergerak ke arahku. Seranganmu jadi kesempatan bagiku untuk meng-intercept. Dalam kasus ini, aku menggunakan senjata terpanjang: tendangan samping, terhadap target terdekat, yaitu dengkulmu. Tapi aku tak bisa mengajarimu. Aku hanya bisa membantumu mengeksplor dirimu sendiri, lain tidak,” kata Bruce di adegan itu.
Pengaruh dalam MMA Modern
Bruce Lee diakui punya pengaruh dalam mengubah wajah beladiri modern. Founder dan Presiden UFC Dana White sampai menyebutnya “Bapak Beladiri Campuran Modern” atau MMA.
“Konsep beladiri campuran dipopulerkan di Barat oleh Bruce Lee lewat sistem jeet kune do. Lee percaya bahwa: ‘petarung terbaik petinju, karakteka, atau judoka, melainkan petarung yang bisa beradaptasi dengan gaya apapun, menjadi tanpa bentuk, untuk mengadopsi gaya individu sendiri dan tak mengikuti sistem-sistem gaya itu sendiri.’ Dana White yang menyebut Bruce ‘Bapak MMA’ mengatakan, ‘jika Anda melihat cara Bruce berlatih, bertarung, dan menuliskan banyak hal, dia mengatakan gaya yang sempurna adalah tanpa gaya. Ambil sesuatu dari semua hal, ambil yang berguna dan buang yang tak berguna’,” tulis Ralph Fischer dalam Jeet Kune Do: Bruce Lee’s Legacy.
Hampir semua petarung MMA, baik di pentas UFC atau ajang-ajang serupa, kini mengikuti jejak Bruce soal adaptasi terhadap lawan. Seorang petarung dengan basic karate, misalnya, ketika menghadapi petarung ber-basic gulat atau jiu-jitsu mesti bisa beradaptasi untuk mengubah gaya bertarungnya dan begitupun sebaliknya.
“Dia membuat pernyataan berani dan cepat ketika pertamakali datang ke Amerika. Seseorang yang baru belajar gulat dan tinju selama setahun bisa mengalahkan praktisi beladiri yang sudah belajar 15 tahun. Itu yang membuat banyak orang heran,” tutur master jiu-jitsu Eddie Bravo, dilansir Bleacher Report, 5 April 2012.
Baca juga: Khabib Nurmagomedov Sang Elang Dagestan
Hal senada dilontarkan praktisi dan analis MMA Paul Lazenby. “Jeet kune do adalah attitude di mana Anda membangun gaya Anda menggunakan apapun yang berguna bagi Anda. Pemikiran itulah yang jadi pijakan MMA modern.”
Gimmick provokasi tapi kemudian respek terhadap lawan yang sudah tak berdaya, lalu upaya membentuk otot-otot tubuh para petarung MMA juga dipengaruhi Bruce Lee. Beragam latihan angkat beban penting bagi Bruce untuk mempertajam setiap serangan-serangan cepatnya agar lebih efektif.
“Saya ingin tangan, kaki, dan tubuh saya menjadi alat pertukaran (pertarungan). (Kekuatan) tangan dan kaki harus rutin dipertajam dan ditingkatkan agar lebih efisien,” kata Bruce.
Mengubah Wajah Industri Film Laga
Tanpa Bruce Lee, mungkin penikmat film laga takkan mengenal Jackie Chan, Sammo Hung, Jet Li, Tony Jaa, atau Iko Uwais. Film-film mereka punya formula yang mengikuti tren yang pintunya dibuka lebar oleh Bruce lewat film-filmnya: The Green Hornet (1966-1967), film The Big Boss (1971), Fist of Fury (1972), Way of the Dragon (1972), Enter the Dragon (1973), dan Game of Death.
Serial The Green Hornet, misalnya, mempelopori aksi-aksi kungfu di Hollywood yang kala itu nyaris belum dikenal. Meski mengenakan kostum ketat, Bruce yang memainkan karakter sidekick bernama Kato tetap bisa menampilkan gerakan-gerakan kungfu secepat kilat. Itu memaksa kameramen beradaptasi dengan Bruce dan melahirkan teknik pengambilan gambar baru.
“Mulanya, itu sangat konyol. Anda hanya bisa melihat pemeran lain berjatuhan di depan saya. Bahkan ketika saya mencoba memperlambat (gerakan), gambar yang ditunjukkan dari kameranya blur,” ujar Bruce, dikutip Linda Lee dalam The Bruce Lee Story.
Baca juga: Tujuh Petinju Beralih Pejabat (Bagian I)
Guna menyiasati teknologi kamera yang kemampuannya terbatas, Bruce mengusulkan teknik pengambilan gambarnya menggunakan mode slow-motion bersamaan dengan Bruce memperlambat gerakannya. Hasilnya pun menakjubkan. Saat serialnya mulai ditayangkan pada 9 September 1966, The Green Hornet memukau para penonton dari generasi muda dan perlahan menumbuhkan minat akan seni beladiri dari Asia, khususnya kungfu.
Setelah mudik ke Hong Kong pada 1971, di mana Bruce berkesempatan membuat film sendiri dengan dirinya sebagai pemeran utama, ia bikin gebrakan bagi jagat perfilman Hong Kong. Perfilman Hong Kong, khususnya yang melibatkan aksi kungfu, kala itu masih didominasi alur- cerita wuxia atau cerita tradisional yang lazimnya alih wahana dari seni opera. Bagi Bruce, film-film bertema wuxia memperlihatkan gerakan beladiri yang berlebihan. Adegan-adegan loncatan tinggi, terbang akrobatik di udara, gerakan menyerang dan reaksi korban semua “lebay” dan tidak realistis. Gaya bertarungnya sama sekali tak praktis dan realistis berdasarkan filosofi Jeet kune do. Maka Bruce Lee mendobraknya dengan film The Big Boss.
“The Big Boss jadi angin segar bagi industri film Hong Kong. Filmnya punya storyline yang berbeda, adegan pertarungan yang menggelitik, dan soundtrack yang menyentuh hati. Filmnya menunjukkan tokoh yang tak sempurna dalam situasi sehari-hari di dunia modern. Saat dirilis pada Oktober 1971, filmnya meledak dan nama Bruce Lee mulai dikenal luas,” tulis Abhishek Kumar dalam The Life and Times of Bruce Lee.
Baca juga: Tujuh Petinju Beralih Pejabat (Bagian II – Habis)
Di film Fist of Fury, selain tetap menampilkan adegan pertarungan yang praktis dan realistis, Bruce mulai memperkenalkan alur cerita yang mematahkan stereotip “orang Cina adalah pesakitan Asia”. Tak hanya meledak dan ditiru film-film laga negara lain, Fist of Fury hingga kini bahkan tercatat sudah tujuh kali remake atau dibuat sekuelnya dengan aktor-aktor berbeda.
Sedangkan di film Way of the Dragon, untuk pertamakali Bruce Lee mengombinasikan action dan komedi situasi. Film Enter the Dragon mempurnakannya dengan pengembangan background medan pertarungan yang tadinya di permukaan datar, jadi lebih beragam konturnya. Plot cerita Enter the Dragon pun menjadi pionir. Tak hanya diikuti beberapa game console, seperti Mortal Kombat, tapi juga film-film laga sampai sekarang semisal The Raid. Tokoh utama film dalam misinya harus melewati beberapa petarung di beberapa level tertentu sebelum berhadapan dengan “raja terakhir”.
Terakhir, di film Game of Death yang tak sempat dirampungkan, Bruce kembali menyempurnakan kombinasi action dan komedinya. Bruce tak hanya bermain komedi tapi juga pada ekspresi. Formula-formula itu kemudian diikuti para penerusnya, di antaranya Jackie Chan dan Jet Li, saat film action Hong Kong berbalut komedi mulai booming pada 1990-an.
Gimmick Ikonik
Mengapung seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah. Gimmick ikonik petinju legendaris Muhammad Ali itu jadi inspirasi buat Bruce Lee menciptakan pergerakan lincah yang kemudian melahirkan gimmick baru yang melekat padanya.
“Bruce Lee menyerap teknik-teknik pertarungan jalanan kaum Afrika-Amerika seiring belajar footwork kondang Muhammad Ali (melalui televisi). Menurutnya, tujuan utamanya untuk berinovasi pada gaya bertarungnya. Toh keduanya petarung yang jenius dan bisa membebaskan diri mereka dari batasan-batasan yang menghalangi improvisasi,” catat Heike Raphael-Hernandez dan Shannon Steen dalam AfroAsian Encounters: Culture, History, Politics.
Baca juga: Pencarian Islam Muhammad Ali
Selain gaya rambut “Beatles Mopstyle”, Bruce dalam ingatan publik lekat dengan tracksuit kuningnya yang mencolok. Beberapa orang menyebut pemilihan kostum yang dipakai di film Game of Death itu punya muataan politis terkait stereotip orang Asia Timur yang berkulit kuning. Namun faktanya, sebagaimana yang diungkapkan salah satu petinggi rumah produksi Golden Harvest, Andre Morgan, alasan pemilihan kostumnya tak sepelik itu.
“Lee saat itu diberi pilihan tracksuit hitam dan kuning. Dalam skenario, ada adegan di mana lawan Lee yang diperankan Kareem Abdul-Jabbar, menendang dadanya. Kru memutuskan memilih kostum kuning karena kalau kostum hitam, jejak kakinya takkan terlihat. Jadi itu keputusan (kru) wardrobe. Sesederhana itu,” aku Morgan kepada South China Morning Post, 27 November 2015.
Gimmick lain yang juga banyak ditiru orang adalah gaya jempol mengusap hidung. Soal ini juga sesederhana kebiasaan Bruce mengusap ingusnya karena sejak lama ia mengidap rhinitis (radang lapisan lendir hidung).
“Suami saya sebenarnya punya rhinitis. Ketika kambuh, dia selalu mengusapkan jempol untuk meredakan rasa gatalnya. Seiring waktu hal itu jadi kebiasaan (gimmick),” kenang Linda lagi.
Sisi Gelap Kesehatan
Selain rhinitis, diam-diam Bruce Lee punya masalah kesehatan yang berujung pada cerebral edema. Di balik fisiknya yang jadi body goal banyak orang, Bruce punya kondisi medis yang membuatnya juga ketergantungan ganja. Maka ketika jenazahnya diotopsi, ditemukan zat cannabis (ganja) dalam sistem pencernaannya kendati dipastikan bukan itu yang jadi penyebab kematiannya.
Bruce mengenal ganja sejak awal 1970-an, dari aktor kondang Steve McQueen. Bruce rutin “nyimeng” atau melahap brownies ganja untuk mengurangi rasa nyeri pada punggungnya. Sejak 1969, Bruce menderita sakit punggung akibat latihan rutin. Selain itu, ganja juga mengurangi paranoianya akibat insecure dan menderita kegelisahan tak menentu semenjak namanya kondang pada 1970-an.
“Setelah dikenalkan dengan ganja oleh Steve McQueen, Bruce mulai mengonsumsinya selama ia di Los Angeles. Bob Wall juga bilang bahwa Bruce selalu menghisap ganja dan membawa setoples brownies ganja di sela-sela produksi Enter the Dragon,” tulis Bruce Thomas dalam Bruce Lee: Fighting Spirit.
Baca juga: Pelaut yang Menaklukkan Hollywood
Ganja bukan faktor utama penyebab kambuhnya cerebral edema Bruce. Polly menyebut, faktor penentunya adalah operasi pengangkatan kelenjar keringat di bagian ketiak pada akhir 1972. Bruce melakukan operasi itu hanya karena keringat di bawah ketiaknya tak tampak bagus di kamera.
Operasi itu ternyata berkibat fatal baginya. Bruce jadi lebih mudah terserang heat stroke atau sengatan panas saat menjalani latihan beladiri atau proses syuting, terutama jika suhunya sedang tinggi. Heat stroke-lah yang mendorong Bruce kolaps pada 10 Mei, dua bulan sebelum wafat, kala menjalani proses dubbing untuk film Game of Death.
“Pada 20 Juli 1973 merupakan hari terpanas di bulan itu di Hong Kong. Di apartemen Betty Ting Pei, Bruce sempat mendemonstrasikan adegan kungfu di film Game of Death,” tulis Polly.
Setelah itu, Bruce terserang heat stroke dan bikin kambuh pembengkakan otaknya. Itu diperparah oleh konsumsi pil Equagesic –mengandung zat aspirin dan meprobomate– yang diberi Betty sebelum Bruce istirahat. Dampaknya Bruce mengalami reaksi alergi pil itu sehingga memperparah pembengkakan otaknya hingga nyawanya tak tertolong. Dalam laporan otopsi, tim dokter menyatakan reaksi alergi itu menyebabkan otak Bruce membengkak 13 persen dari 1.400 gram menjadi 1.575 gram.
Baca juga: Pencak Silat Warisan Mataram Menembus Zaman