PADA suatu hari, beredarlah pesan di Blackberry Messenger (BBM) sendal-sepatu cap buaya yang sedang ngetren dan digandrungi masyarakat ada kalimat lafaz Allah. Tulisan itu dikamuflase pada logo cap buaya (bukan merk sebenarnya) yang berada di lapisan telapak sepatu. Barangsiapa yang menggunakan sendal atau sepatu cap buaya itu, sama saja dengan menginjak-injak kalimat suci Allah. Naudzubillah...
Pesan BBM itu melesat cepat, menyebar kemana-mana dan sudah pasti membuat bulu kuduk merinding. Bagaimana bisa, nama Allah yang mahasuci itu ada di telapak sedal-sepatu. Ibu-ibu rumah tangga ketakutan. Sebagian merasa berdosa karena membelikan anaknya sendal-sepatu durhaka itu. Mereka yang terlanjur beli, buru-buru membuangnya atau minimal: menghapus logo buaya.
Pertanyaannya, siapakah pelaku biadab pengkamuflasean kalimat suci Allah itu pada logo cap buaya? Produsennya? Atau pegawai pabrik yang iseng?
Sekarang mari berpikir jernih. Sendal cap buaya itu dipasarkan di Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dari 230 juta rakyatnya, 83 persen menganut Islam. Pendeknya, rakyat yang banyak itu adalah pasar dan pasar yang banyak itu beragama Islam. Sebuah kebodohan jika potensi meraup untung yang besar itu dirusak oleh akrobat logo yang bakal membangkitkan kemarahan orang banyak.
Tapi namanya gosip, makin digosok makin sip, isu terus menjalar. Saya sendiri belum pernah melihat apa pengaruh kabar burung itu pada penjualan sendal-sepatu cap buaya. Mestinya turun, karena bagaimana pun, ngeri juga memakai sendal-sepatu yang mendatangkan dosa itu. Kalau sudah begitu, apa lagi urusannya kalau bukan persaingan dagang.
Itu soal logo produk dagang, erat kaitannya dengan urusan untung-rugi. Tapi di negeri ini, urusan logo, walaupun tak ada sangkut paut dengan urusan dagang bisa juga diambil untungnya. Misalnya logo Palang Merah.
Baca juga: Anggota DPR pernah berencana mengubah lambang PMI menjadi Bulan Sabit Merah
Beberapa waktu lalu media massa nasional diramaikan oleh kunjungan kerja Badan Legislasi DPR RI ke Denmark dan Turki. Tujuan mereka mempelajari lambang Palang Merah dan menjajaki kemungkinan ganti lambang Palang Merah Indonesia. Kabarnya, anggota dewan yang terhormat yang sedang menggodok rancangan Undang-Undang Palang Merah terbagi dalam dua arus pendapat. Sebagian tak setuju karena logo palang merah tendensius, mengacu ke agama tertentu. Sementara kelompok lain menilai lambang bulan-sabit merahlebih cocok dengan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim.
Sebegitu seriusnya pekerjaan mengganti lambang itu, maka harus diselenggarakan studi banding ke Denmark dan Turki. Dananya lumayan besar, Rp1,2 milyar. Kalau saja mau, uang segitu besarnya bisa dibayarkan kepada perusahaan jasa desain logo di dalam negeri untuk hasilkan logo alternatifyang bisa menengahi perselisihan pendapat kedua kelompok. Karena toh, kata Sukarno, ini negeri “semua untuk semua, bukan untuk golongan Islam saja atau golongan Kristen saja.”
Baca juga: Anggota PMI mempertaruhkan jiwanya demi menyelamatkan banyak nyawa
Apalah artinya sebuah lambang karena kehadiran organisasi tersebut tak lain dan tak bukan untuk kemanusiaan belaka. Kemanusiaan, melebihi sekedar lambang, melampaui logo. Karena toh tak mungkin juga jika pada suatu hari ada seorang nenek terserempet mobil dan pertanyaan yang terlontar sebelum menolong, “Wahai nenek apakah gerangan agamamu?”
Studi banding anggota DPR RI soal logo itu membuat kita berkaca, apakah sebenarnya kita ini bangsa kulit? Bangsa yang punya kapasitas membicarakan kulit tanpa pernah menyentuh isi. Seringkali kita dihebohkan oleh perkara-perkara yang seolah-olah tampak besar tapi sebenarnya jauh panggang dari api.
Tapi, seandainya semua lambang palang itu diasosiasikan dengan pikiran yang syak, maka susahlah kita semua. Karena konsekuensinya kita harus mengganti pula simbol “tambah” dalam pelajaran matematika. Jika dulu: 1 + 1 = 2, maka sekarang 1 C 1 = berapa? Untuk memecahkan pertanyaan tersebut, mari kita cari negara lain sebagai pembanding. Kemana? Yang jelas bukan ke Tiongkok!
Baca juga: Perempuan ini satu-satunya yang menandatangani pendirian PMI