MAYOR Maraden Panggabean, komandan Sektor IV Sub Teritorium VII Sumatera, kesal. Usulnya kepada Komandan Sub Komandemen Tapanuli Kol. (Tit.) Mr. A. Abbas tidak didengar. Nahas yang telah diprediksinya pada awal September 1948 justru mendatanginya lewat perantaraan Abbas. Sial!
Panggabean memang kerap tertimpa sial semasa Perang Kemerdekaan. Sebelum itu dia juga sial ketika diminta menemani dr. Luhut Lumbantobing, komandan resimen. Perkaranya bermula dari ditemuinya dr. Luhut oleh seorang bermarga Hutapea. Orang itu mengatakan kepada Luhut bahwa ada sepasukan bekas anak buah Liberty Malau di Divisi Banteng Negara hendak keluar dari kemiliteran menyusul akan diadakannya Re-Ra. Komandan pasukan itu menyatakan mereka akan menyerahkan persenjataan kepada pemerintah namun dengan imbalan sejumlah uang.
Mendengar pemaparan itu, Luhut langsung menyanggupi. Setelah mendapatkan Rp.10 juta dari gubernur militer, dia langsung mengajak Panggabean, orang bermarga Hutapea tadi, dan Gamal Lumbantobing ke tempat yang telah ditentukan, semak-semak sekitar Rumah Sakit Tarutung.
“Sampai di tempat tersebut, tiba-tiba sekeliling kami terdengar bunyi grendel senapan yang dikokang (mendorong peluru ke dalam kamarnya sehingga siap untuk ditembak) diikuti oleh suatu peringatan komando supaya jangan bergerak. Uang diambil, soal senjata yang mau diserahkan tidak disinggung, betul-betul merupakan suatu perampokan,” kata Panggabean dalam otobiografinya, Berjuang dan Mengabdi.
Toh, Panggabean akhirnya bisa selamat. Namun, kesialan yang menimpanya tidak berhenti sampai di situ. Pada awal September 1948, dia diminta Mr. A. Abbas menemaninya ke Markas Komando Sumatera di Bukittinggi untuk mengajukan tambahan dana bagi pasukan-pasukan di Tapanuli. Alih-alih menjalankan perintah, Panggabean malah memberi usul.
“Saya mengatakan kepadanya, bahwa lebih banyak manfaatnya jika saya tidak ikut, melihat suasana yang sangat tegang di Tapanuli pada waktu itu. Saya katakan bahwa saya pernah bertugas di Front Medan Area dan mengenal praktik laskar-laskar dalam soal lucut-melucuti,” kata Panggabean.
Namun, Abbas menolak usul itu dan menyatakan dengan yakin bahwa keadaan akan baik-baik saja selama Panggabean ikut dengannya ke Bukittinggi. Dengan terpaksa, Panggabean menuruti perintah Abbas.
Hingga sekembalinya mereka berdua ke Padangsidempuan, bentrok antar-laskar bersenjata memang tidak terjadi. Namun, sekira subuh tanggal 10 September, Panggabean dibangunkan dari tidurnya oleh suara rentetan tembakan. “Suara tembakan itu datang dari asrama Batalion I TNI (di bawah Kapten Koima Hasibuan) yang jika ditarik garis lurus hanya berada 500-600 meter dari rumah saya,” kata Panggabean.
Dia yang gagal mengadakan hubungan dengan batalyonnya karena saluran telepon telah diputus, langsung berlari ke rumah Abbas yang terletak di sebelah rumahnya. “Saya melaporkan bahwa praduga dan keprihatinan saya sewaktu kami mau berangkat ke Bukittinggi, nyatanya benar. ‘Kita akan hancur,’ saya serukan dengan kesal,” kata Panggabean. Abbas hanya terdiam mendengarnya.
Sejurus kemudian, sebuah truk mendatangi rumah Abbas. Tuan rumah dan Panggabean pun langsung digelandang beberapa personil Polisi Militer di bawah pimpinan Kapten Payung Bangun itu ke dalam truk untuk dibawa ke Sipogu, sekitar 25 kilometer dari Sipirok. Bersama 37 orang lain, Abbas dan Panggabean ditawan di bangunan bekas sekolah Gereja Advent.
Mereka menerima perlakuan buruk di sana. “Makanan yang diberikan sekadar cukup untuk tidak mati dan disodorkan begitu saja ke dalam kamar,” kenang Panggabean. Siksaan verbal maupun fisik kerap mereka terima.
Lebih dari itu, kata Panggabean, “Para penjaga kami betul-betul perampok yang mengambil apa saja yang berharga yang ada pada kami. Saya sudah menduga bahwa hal demikian akan terjadi, maka sejak ditangkap, cincin tanda pertunangan yang biasa saya pakai di jari manis tangan kiri, lekas-lekas saya copot dan saya masukkan di lipatan pinggang celana saya. Yang lain, jam tangan, pulpen, gigi mas (untung tidak ada pada saya), boleh saja diambil dan memang diambil.”