Masuk Daftar
My Getplus

Mula Dokter Masuk Bisnis Kecantikan

Sebelum 1970-an, perawatan kecantikan belum melibatkan dokter. Kini, klinik kecantikan bertaburan dengan melibatkan dokter.

Oleh: Nur Janti | 28 Mar 2018
Ilustrasi perawatan di klinik kecantikan. Foto: Pinterest.

MELIHAT kulit temannya halus, Helen Kristin Dewi Siregar menanyakan temannya cara merawat kulit. Dia kemudian ikut-ikutan merawat kulit di klinik kecantikan. “Awalnya rutin sebulan dua kali, facial atau peeling. Kalau sudah enam bulan nggak perlu. Pakai krim saja, tapi tiap dua bulan kontrol, “ kata Helen.

Melakukan perawatan kulit di klinik kecantikan sudah dilakukan Helen sejak akhir 2016. Ketika kulitnya sedang berjerawat¸ Helen menjalani perawatan laser. Perawatan ini ditangani langsung oleh dokter kulit di klinik langganan Helen di Kemanggisan, Jakarta Barat.

Apa yang Helen lakukan tak dilakukan oleh orang-orang di tahun 1950-an. Kala itu klinik kecantikan belum ada. Pilihan untuk merawat kulit terbatas pada ramuan tradisional, produk-produk kosmetik, dan salon kecantikan.

Advertising
Advertising

Ramuan tradisional masih diproduksi secara rumahan. Perekonomian masih sangat lemah, pabrik kosmetik belum ada di Indonesia. Kosmetik-kosmetik yang ada, produk luar negeri. Pembelinya pun masih terbatas pada kelas menengah-atas karena terhitung barang langka dan mewah. Sementara, produk kosmetik dalam negeri belum muncul. Merek kosmetik dalam negeri pertama, Viva, baru keluar pada 1960-an.

Begitu masuk era Orde Baru, tulis Jean Couteau dalam The Entrepreneur Behind The Science of Beauty, pertumbuhan ekonomi meningkat dibarengi kenaikan jumlah kelas menengah. Daya beli masyarakat meningkat. Produk-produk kosmetik dalam negeri bermunculan. Kesadaran orang untuk merawat kulit meningkat. Perawatan dilakukan antara lain dengan membeli kosmetik.

“Jaman dulu mulanya dari salon kecantikan, setelah itu mereka mendirikan pabrik, baru bikin kosmetik. Martha Tilaar dulu mulanya dari salon di Menteng,” kata Sjarif Wasitaatmadja, dokter kulit sejak 1970-an, kepada Historia.

Sjarif pernah menjadi asisten dr. Retno Iswari Tranggono selama 10 tahun. Retno merupakan penggagas berdirinya subbagian kosmetik dan bedah kulit (kini dikenal dengan dermatologi kosmetik) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Subbagian ini mulai dirumuskan sejak 1967 dan diresmikan pada 1 April 1970.

“Di situ dokter mulai ikut di dunia kecantikan. Kami melakukan pertemuan dengan Ikatan Ahli Kecantikan Wijaya Kusuma. Saya baru ikut tahun 1970-an sebagai asisten Ibu Retno. Kami membangun citra kenapa dokter harus berada di situ (perawatan kecantikan, red.),” kata Sjarif.

Perawatan kecantikan, lanjut Sjarief, tidak mungkin lepas dari unsur kedokteran. Kosmetik atau zat lain yang dioles ke kulit pasti akan berpengaruh pada kulit. Beberapa zat bahkan mempengaruhi fungsi dan struktur kulit. Oleh karena itu, dokter seharusnya ikut campur untuk mengawasi efek samping dan kebergunaan zat dalam perawatan kulit.

Mulanya, kehadiran dokter dalam perawatan kecantikan mendapat penolakan dari para ahli kecantikan. Pengobatan jerawat yang semula dipencet, misalnya, kemudian dilarang oleh para dokter. “Mereka juga perlu saran dari kami (dokter, red.). Saya ingat pertemuan dengan Wijaya Kusuma, kami dikecam. ‘Buat apa ngobatin jerawat harus begitu?’. Kalau kita kan harus pakai antibiotik dan lain-lain,” kenang Sjarif.

Penolakan itu tak berlangsung lama. Perawatan kulit yang melibatkan ahli medis mulai diterima dan menjadi pilihan. Pada 1980-an klinik kecantikan bermunculan. Sebagian merupakan pengembangan dari salon kecantikan, sebagian lain pengembangan dari praktik dokter kulit.

Saking banyaknya pendirian klinik kecantikan, Departemen Kesehatan (Depkes) sampai mengeluarkan Pedoman Penyelenggaraan Klinik Kecantikan tahun 2007. “Depkes mengatur karena terlalu banyak klinik kecantikan muncul. Sama Depkes dibenerin. Harus ada syaratnya, tidak hanya sekadar ada dokter untuk memenuhi syarat jadi klinik,” kata Sajrif.

Masuknya dokter dalam lini kecantikan kemudian mengubah pola perawatan kulit di Indonesia. Namun, itu tak menghapus orang yang memilih tetap merawat kulit dengan cara tradisional atau ke salon kecantikan. “Kulit orang sekarang bagus-bagus,” kata Sjarif.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Paris Palsu di Masa Perang Dunia I Susu Indonesia Kembali Ke Zaman Penjajahan Sebelum Jenderal Symonds Tewas di Surabaya Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Perjuangan Pasangan Sutomo dan Sulistina dalam Masa Revolusi Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah