HARI itu, 7 Juli 1953, bertempat di Istana Cipanas yang sejuk, sebuah pesta perkawinan sederhana dilangsungkan. Meski sederhana dan tertutup, tapi buntut dari acara itu tidaklah sederhana. Pasalnya pengantin laki-laki yang menikah itu masih berstatus sebagai suami orang. Lebih pelik karena banyak orang menaruh harap padanya untuk menentang poligami.
Ya, kala itu Presiden Sukarno mempersunting Hartini, perempuan asal Ponorogo, yang usianya terpaut 23 tahun lebih muda darinya. Sebelumnya, Sukarno meminta izin pada Fatmawati, yang baru melahirkan. Tapi Fatmawati tak ingin dimadu.
“Tapi aku cinta padamu dan juga cinta pada Hartini,” kata Sukarno.
“Oo, tak bisa begitu.” Tolak Fatmawati seperti dia tulis dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno.
Pernikahan Sukarno menimbulkan kecaman, terutama dari kelompok aktivis gerakan perempuan. Organisasi Persatuan Istri Tentara (Persit) dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), misalnya, berujuk rasa menolak poligami Sukarno karena menganggap perbuatan itu merendahkan martabat perempuan. Puncaknya, Fatmawati keluar dari Istana Negara, dengan dukungan penuh Perwari.
Sejak abad ke-19, poligami sudah menjadi wacana di Indonesia. Kartini, yang pernah mengalaminya, menyebut poligami sebagai kejahatan luar biasa. Dalam surat tanggal 23 Agustus 1900 untuk sahabatnya, Stella Zeehandelaar, dia menulis: “Tidak wajarkah jika aku sendiri membenci, memandang rendah perkawinan, jika hasilnya merendahkan martabat perempuan dan menganiaya perempuan sedemikian rupa?”
Pemerintah Belanda bukannya tak peduli. Menurut sejarawan Onghokham, pemerintah Belanda mulai lebih ketat mengawasi kehidupan seksual dan perkawinan para bupati atau pejabat pemerintah sejak Gubernur Jenderal Daendels menyatakan mereka sebagai pegawai Hindia Belanda. Terlebih, sejak 1870 dan menjelang abad ke-20, Belanda makin prihatin terhadap kehidupan seksual dan keluarga pangreh praja. “Wilhelmina mulai menuntut pengendalian moral terhadap seksualitas dan korupsi yang sering bersumber dari kegiatan seksual,” tulis Onghokham dalam “Kekuasaan dan Seksualitas” yang dimuat di Prisma, Juli 1991.
“Akhirnya, kalau pemerintah kolonial mencoba menertibkan lembaga perkawinan keluarga pangreh praja, misalnya mengenai poligini atau perseliran, pengaturannya kemudian bukan sekadar berdasarkan moralitas religius melainkan kepentingan salary man,” tulis Onghokham.
Pada awal abad ke-20, Belanda membentuk sebuah tim untuk mewawancarai sembilan perempuan Indonesia, semuanya dari kalangan atas, untuk mencari tahu penyebab turunnya kesejahteraan penduduk Jawa dan Madura. Hasilnya, poligami menjadi salah satu titik tekan. Dewi Sartika menyebut poligami sebagai “penyakit gangren” dan Siti Soendari mengatakan “cinta tak dapat dibagi sama”.
Seiring kesadaran nasionalisme, isu poligami memasuki ranah politik. Pada 1928, dalam kongres perempuan pertama, poligami menjadi salah satu topik kontroversial. Saat itu Sitti Moendjijah, perwakilan dari organisasi Aisijjah, membacakan pidato yang mendukung poligami. Seketika seisi kongres resah. Terjadi perdebatan hebat. “Kendati percekcokan di antara mereka berlangsung sengit namun tak terjadi keretakan dalam gerakan,” tulis Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama.
Memasuki 1930-an, wacana poligami sempat terpinggirkan. Gerakan perempuan lebih memfokuskan perjuangan pada isu nasionalisme, kemerdekaan, dan revolusi nasional. Poligami kembali menjadi tuntutan utama gerakan perempuan pada 1950-an. Dalihnya, kenyataan bahwa setelah kemerdekaan angka perceraian akibat poligami merupakan yang terbesar, terutama di Jawa dan Madura.
Pemerintah merespon tuntutan itu dengan membentuk Komisi Perkawinan melalui Kementerian Agama pada 1950. Komisi ini menyusun rancangan Undang-Undang (UU) Perkawinan yang antara lain menyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan atas dasar suka sama suka atau tak ada paksaan, dan poligami diizinkan dengan persyaratan ketat. Saat diserahkan ke parlemen, terjadi perdebatan. Di tengah kebuntuan, pemerintah secara mengejutkan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 19 tahun 1952, yang salah satu isinya memberi tunjangan dua kali lipat bagi para pensiunan yang punya dua istri.
“Keputusan pemerintah menjadi semacam pukulan telak bagi aktivis perempuan yang saat itu tengah berjuang menentang poligami,” tulis Amelia Fauzia dan Oman Fatturahman dalam Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan Karya.
Masyumi, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Muslimat NU mendukung Keppres. Perwari menolaknya karena menganggap keputusan itu berdampak pada maraknya poligami dan memboroskan uang negara. Pada 17 Desember 1953, bertepatan dengan HUT Perwari, sejumlah organisasi melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut pencabutan Keppres dan pengesahan UU Perkawinan secepatnya.
Dalam situasi ini, pernikahan Sukarno dengan Hartini menjadi pukulan yang jauh lebih menohok bagi organisasi perempuan. Perwari mengkritik keras perbuatan Sukarno ini sebagai contoh buruk yang menggoyahkan sendi pendidikan dalam keluarga. Menariknya, Gerwani sebagai organisasi gerakan perempuan tebesar di Indonesia, yang sejak era pergerakan nasional menyuarakan emansipasi dan menolak poligami, bergeming saja. Secara politik, sebagaimana dikutip dari buku Saskia E. Wieringa Penghancuran Gerakan Perempuan, Gerwani berusaha menjaga hubungan harmonis antara Sukarno dan Partai Komunis Indonesia.
Buntut dari kecaman organisasi perempuan terhadap poligami Sukarno, membuat UU Pekawinan berjalan lambat. Gadis Arivia dalam bukunya Feminisme Sebuah Kata Hati menulis: “Perempuan Indonesia harus menunggu sampai tahun 1973 untuk mendapatkan UU Perkawinan baru yang melarang poligami.” Tapi sayangnya UU ini pun masih memuat klausul yang memungkinkan terjadinya poligami.
Pada masa Orde Baru pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur ketentuan asas monogami melalui UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Tapi, sekali lagi, UU ini memberi celah bagi seorang suami beristri lebih dari seorang “apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. UU juga mendefinisikan suami sebagai kepala rumah tangga, sementara istri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Dharma Wanita, satu-satunya organisasi resmi bentukan pemerintah, mendesak adanya peraturan untuk melindungi mereka, istri-istri pegawai negeri, terutama dalam kasus poligami dan perceraian. Muncullah Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 1983. Isinya antara lain mewajibkan pegawai negeri pria meminta izin atasan sebelum bercerai atau mengambil istri kedua. Anggota Dharma Wanita, yang merasa haknya dilanggar, dapat melapor kepada kepala Dharma Wanita di kantor suaminya agar hak-haknya dapat dibela. Pegawai negeri juga dilarang hidup bersama di luar perkawinan, dengan sanksi terberat: dipecat dengan tidak hormat.
“Di samping merupakan indikator ‘integritas’, perilaku seksual seperti poligami dan memiliki perempuan simpanan, mempunyai implikasi ekonomi yang dapat menjurus pada korupsi, yang sudah banyak terdapat dalam pemerintah. Ini lagi-lagi suatu alasan untuk mempertahankan citra yang ‘bersih’,” tulis Julia I. Suryakusuma, “Seksualitas dalam Pengaturan Negara”, yang dimuat Prisma, Juli 1991.
“Eksistensi PP 10, apapun bentuknya, memberikan hak kepada negara untuk mengatur kehidupan perkawinan dan seksual pegawai negerinya.”
PP 10 kemudian mengalami perubahan menjadi PP No 45 tahun 1990. Keberadaannya menjadi perdebatan publik ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berharap PP 45 diperluas tak hanya berlaku bagi pegawai negeri tapi juga pejabat negara dan pemerintahan, bahkan seluruh masyarakat. Kelompok perempuan menentang, termasuk meminta revisi UU Perkawinan. Kelompok Islam menutup pintu terhadap revisi apapun, memandang poligami sebagai wilayah syariat Islam yang tak bisa diutak-atik.
Poligami masih akan menjadi perdebatan.
Baca juga:
First Lady yang Tak Diakui
Ketika Srihani Jadi Ibu Negara
Hartini dan Jenderal Anti Poligami