Masuk Daftar
My Getplus

Jilbab Terlarang di Era Orde Baru

Ketika memakai jilbab dianggap sebagai sikap melawan oleh rezim Orde Baru.

Oleh: Hendi Jo | 28 Feb 2018
Empat siswi SMA 68 Jakarta dikeluarkan dari lingkungan sekolah gara-gara memakai jilbab. (Majalah Panji Mas).

Hari-hari Rani di bulan Januari tahun lalu berlangsung penuh gairah. Hampir setiap waktu, perempuan muda berparas cantik itu membuka situs-situs internet yang mengajarkan pemakaian jilbab sesuai mode yang sedang trendi. Tujuannya: supaya ia bisa tampil menarik dan terpilih sebagai salah satu pemenang kontes jilbab nasional yang disponsori oleh sebuah perusahaan pencuci rambut terkemuka di Indonesia.

"Kalau udah menang kan jadinya aku dikenal banyak orang dan bisa bikin bangga keluarga," kata mahasiswi semester awal di sebuah perguruan tinggi negeri itu.

Apa yang tengah dilakukan Rani mustahil terjadi sekitar 30 tahun lalu. Alih-alih mengadakan kontes, sekadar memakai jilbab pun adalah sesuatu yang terlarang bagi para siswi dan sebagian mahasiswi kala itu.

Advertising
Advertising

"Pemerintah Orde Baru menganggap kemunculan pemakaian jilbab sebagai wujud sikap oposan terhadap mereka," tulis Alwi Al Atas dan Fifrida Desliyanti dalam Revolusi Jilbab. Benarkah?

Demam Jilbab

Reideologisasi (baca: repolitisasi) Islam usai kekuasaan Presiden Sukarno tumbang (1967), mengalami tantangan dari pemerintah Orde Baru. Sedapat mungkin, pemerintah Orde Baru memberangus simbol-simbol ideologis yang terkait dengan Islam. Salah satunya dengan membonsai peran partai-partai politik Islam sehingga terkontrol secara efektif.

"Pemerintah Orde Baru meragukan itikad baik tokoh-tokoh Islam jika diberi keleluasaan politik," ungkap Abdul Qadir Djaelani, eks aktivis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).

Terjegal di panggung politik formil, geliat reideologisasi Islam justru semakin marak di kampus-kampus (terutama di perguruan-perguruan tinggi negeri terkemuka seperti ITB dan UI). Atas prakarsa Imaduddin Abdurrachim, tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Bandung, pada 1974 diselenggarakan kegiatan LMD (Latihan Mujahid Dakwah).

"Oleh Imaduddin, LMD benar-benar diproyeksikan untuk membentuk kader-kader Islam yang militan dalam mentransformasikan ideologi Islam di masa depan," tulis Nurhayati Djamas dalam Gerakan Kaum Muda Islam Masjid Salman.

Baca juga: Membuka Bab Sejarah Jilbab

Pada angkatan pertama, sekitar 50 orang mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi digembleng di Ruang Serba Guna ITB. Setelah melalui test IQ dan wawancara ketat, para mahasiswa yang lolos seleksi di masukan ke base camp di Mesjid Salman. Selama tujuh hari tujuh malam peserta dilarang berinteraksi dengan dunia luar. Selanjutnya mereka diajak untuk menghapal sekaligus mengkaji Al-Qur’an dan Hadits (termasuk soal kewajiban muslimah untuk mengenakan jilbab).

Pengaruh LMD bak virus cepat menjalar ke berbagai kampus di seluruh Jawa. Di Institut Pertanian Bogor (IPB), para mahasiswa Islam mendirikan Badan Kerohanian Islam (BKI), walaupun belum memiliki mesjid. Di Jakarta, para mahasiswa UI memilih Mesjid Arief Rahman Hakim sebagai basis pengajian. Begitu pula di UGM muncul Jamaah Shalahuddin. Semangat Islam ideologis juga melebar ke berbagai kampus di Surabaya dan Semarang.

Baca juga: Benarkah Cut Nyak Dhien Berhijab?

Seiring menyebarnya alumni-alumni LMD ke kampus-kampus perguruan tinggi negeri, demam jilbab pun mulai melanda para mahasiswi Islam. Bahkan bukan hanya di tingkat perguruan tinggi, di sekolah-sekolah menengah atas negeri pemakaian jilbab pun mulai marak sebagai bentuk transformasi sikap keagamaan para senior kepada para juniornya lewat kegiatan OSIS (Organisasi Siswa Intra sekolah) dan ekstrakulikuler Remaja Masjid Sekolah.

Gempita revolusi Islam di Iran pada 1979 yang mendunia menambah gairah berislam kalangan anak-anak muda kampus. Fastabiqul Haq (57) masih ingat bagaimana gambar-gambar para demonstran perempuan Iran yang berjilbab hitam banyak dipajang di pintu-pintu kost mahasiswa.

"Bahkan bukan hanya sekadar memajang foto, banyak rekan-rekan mahasiswi memutuskan untuk berjilbab karena terkesan dengan gambaran militansi para muslimah Iran tersebut," ujar eks aktivis Masjid Salman ITB era 1980-an itu.

Baca juga: Berislam Ala Salman

Tahun 1980, gelombang pertama mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah (sebagian besar di Mesir) mulai berdatangan di tanah air. Menurut Rahmat Abdullah sebagian alumni Timur Tengah itu membawa “oleh-oleh” pemikiran Ikhwanul Muslimun (IM), sebuah kelompok puritan Islam yang didirikan oleh Hasan al Banna di Mesir pada April 1928. Kelompok tersebut memandang bahwa Islam bukan hanya sekadar ekspresi keagamaan namun juga sebuah sistem.

"Di dalamnya mencakup segala segi berkehidupan, termasuk cara berpakaian," ujar salah satu pendiri Partai Keadilan (cikal bakal PKS) tersebut.

Selanjutnya kata Saiful Muzani, di Indonesia ide-ide IM tersebut lantas mendapat tempat pada masjid-masjid kampus. Mereka bergerak lewat berbagai kelompok studi Islam dari kampus-kampus terkemuka sepert UI, ITB dan UGM. Salah satu ciri dari kelompok ini adalah mewajibkan pemakaian jilbab bagi para anggota perempuan.

"Bagi mereka, jilbab bukan sekadar busana biasa tetapi manifestasi dari komitmen atau keyakinan yang dalam mengenai hubungan atau pergaulan antara laki-laki dan perempuan non muhrim," tulis Saiful dalam "Di Balik Polemik Anti Pembaharuan Islam: Memahami Gejala 'Fundamentalisme' Islam di Indonesia" di Jurnal Islamika No.1 Edisi Juli-September 1993.

Represi Pemerintah Orde Baru

Tahun 1981. Seiring upaya pembonsaian terhadap peran Islam politik, pemerintah Orde Baru menjalankan aksi penumpasan besar-besaran terhadap kekuatan Islam radikal seperti Komando Jihad pimpinan Warman dan Jamaah Imran. Sel-sel kelompok tersebut dibongkar dan para anggotanya ditangkapi.

"Imbas dari pembersihan itu, kami yang aktif di masjid-masjid kampus juga ikut dicurigai pemerintah," kenang Fastabiqul kepada Historia.id.

Para pemakai jilbab tidak lepas dari kecurigaan tersebut. Pada awal 1982, seorang siswi SMAN 1 Jember bernama Triwulandari dikeluarkan dari sekolah. Alasannya: Tri melanggar ketentuan aturan pemakaian seragam sekolah dan dicurigai sebagai salah seorang anggota Jamaah Imran.

"Ia bahkan sempat dipanggil ke Markas Kodim 0824 Jember untuk diinterogasi mengenai Jamaah Imran," tulis Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti.

Pada waktu yang sama, kecurigaan terhadap siswi pemakai jilbab juga terjadi di SMAN 68 Jakarta. Salah seorang siswi berjilbab dipanggil oleh guru mata pelajaran agama Islam. Secara tersirat, sang guru menyatakan kepada muridnya itu bahwa ia "mengkhawatirkan" bahwa keputusan untuk berjilbab disebabkan motivasi politik.

"Kalau kalian berjilbab karena Allah, maka bapak tidak dapat melarang kalian. Tapi kalau kalian berjilbab karena ada unsur-unsur politik maka soal ini menjadi urusan pihak sekolah," ujar guru tersebut seperti dikutip Alwi dan Fifrida dalam bukunya.

Baca juga: Dari Hijab hingga Hijrah

Maraknya para siswi berjilbab di sekolah-sekolah mengilhami pemerintah menerbitkan sebuah aturan baru yakni SK 052/C/Kep/D.82. Itu adalah surat keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. pada 17 Maret 1982. Isinya: kebijakan baru pemerintah terkait standarisasi penggunaan seragam sekolah secara nasional.

Alih-alih membuat tertib, surat keputusan itu seolah menjadi alat pihak sekolah untuk merepresi para siswi berjilbab. Korban pun berjatuhan. Bahkan lebih massif, seperti terjadi di SMAN 3 Bandung pada pertengahan 1982: delapan siswi diancam untuk mengeluarkan diri dari sekolah karena menolak membuka jilbab. Begitu juga di SMAN 68 Jakarta. Seorang siswi bernama Siti Ratu Nasiratun Nisa dikeluarkan karena berjilbab. Kejadian serupa terjadi pula di Tangerang, Bekasi, Semarang, Surabaya, Kendari dan kota-kota lainnya di Indonesia.

Hampir satu dasawarsa, pemerintah Orde Baru tak memberikan kompromi terhadap keberadaan para siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Bagi para jilbaber, pilihannya hanya dua: terus bersekolah namun membuka jilbabnya atau terus berjilbab namun harus pindah ke sekolah swasta.

"Kami seolah menjadi duri dalam daging bagi pihak sekolah," ungkap Dian Purwita, eks jilbaber di SMAN 31 Jakarta.

Baca juga: Menyelami Sejarah Busana Muslim

Kasus jilbab menjadi semakin menasional ketika pada 1989, muncul isu “jilbab beracun”. Kala itu beredar isu bahwa ada sekelompok perempuan berjilbab yang kerjanya menebarkan racun di pasar-pasar. Situasi tersebut menyebabkan para jilbaber terpojok dan sebagian lantas menyerah untuk membuka jilbabnya. Terlebih, tulis Alwi dan Fifrida, setelah media massa memberitakan kejadian di Pasar Rawu, Serang ketika seorang perempuan berjilbab dihakimi massa karena dituduh membubuhkan racun di tempat seorang pedagang.

Namun isu “jilbab beracun” justru menjadi titik balik bagi nasib para jilbaber. Marah atas kejadian-kejadian yang memojokan itu, sebagian umat Islam bereaksi. Dengan dipelopori oleh para mahasiswa, sepanjang tahun 1990, di kota-kota besar marak terjadi demonstrasi untuk menentang peraturan pemerintah yang mendiskriminasi para perempuan berjilbab.

"Hampir tiap waktu kami turun ke jalan untuk memprotes pemerintah yang kebijakannya tidak berpihak kepada rekan-rekan kami yang berjilbab," kenang Ivan Garda (44), eks aktivis Remaja Masjid SMAN 9 Bandung kepada Historia.id.

Baca juga: Sejarah Baju Koko Masuk Islam

Lambat laun, kondisi tersebut menyebabkan kekhawatiran pemerintah akan terganggunya stabilitas negara. Mereka berpikir ulang untuk melonggarkan tekanan kepada kaum Islamis, terlebih memasuki tahun 1990, bandul kepentingan politik pemerintah Orde Baru mulai mengayun ke arah “kanan”.

Maka, pada 16 Februari 1991 ditetapkanlah SK.No.100/C/Kep/D/1991 yang intinya berisi membolehkan para siswi untuk mengenakan pakaian yang didasarkan pada keyakinannya. Menurut Alwi dan Fifrida, surat keputusan tersebut ditetapkan setelah melalui proses konsultasi antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan sejumlah institusi yang terkait dengan keamanan negara, termasuk BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).

Terbitnya surat keputusan itu tentunya mengakhiri perjuangan panjang para jilbaber untuk menetapkan hak-haknya. Secara bombastis, Panji Mas (salah satu majalah terbesar Islam saat itu) menyebut waktu keluarnya SK.No.100 sebagai "habis gelap terbitlah terang". Ya bisa jadi, karena tanpa SK tersebut adalah mustahil sebuah perusahaan pencuci rambut terkemuka di Indonesia bisa mengadakan kontes jilbab yang diikuti remaja seperti Rani saat ini.

TAG

islam jilbab orde baru

ARTIKEL TERKAIT

Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Lika-liku Hamas di Jalur Gaza Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965 Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip Soerjopranoto Si Raja Mogok Dakwah Walisongo Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker Pencarian Islam Muhammad Ali Manuskrip-manuskrip tentang Pandemi di Dunia Islam Melihat Pesona Masjid Cut Meutia